Ada yang menyebutkan bahwa kehancuran lelaki kebanyakan disebabkan karena gagalnya mereka untuk mengelola 'Harta, Tahta dan Wanita' dengan seimbang. Bak dua sisi mata uang yang saling berlawanan, harta, tahta dan wanita sekali waktu bisa menjadi indikator kesuksesan seseorang. Di lain sisi, ia bisa menghancur-tenggelamkan kehidupan seseorang. Kuncinya ada di pengelolaan yang seimbang terhadap ketiga elemen tersebut.
Namun dalam prakteknya, rupanya ketiga dimensi itu berkelindan. Tiap entitas dari ketiga unsur itu inheren satu sama lain. Bahasa sederhananya, efek domino. Seringkali seseorang yang memiliki harta melimpah, ia akan berupaya membelanjakan hartanya untuk memanjakan wanita, entah wanita itu istri halalnya, entah istri serepannya. Begitu pula dengan tahta-wanita, tahta-harta dan sebaliknya.
Orang menjadi penguasa untuk menimbun kekayaan, mendapatkan akses tikus agar mudah meraup kekayaan dengan intstan. Orang menjadi penguasa untuk meningkatkan status sosial yang nantinya secara otomatis mendongkrak popularitasnya, serupa gula yang digandrungi oleh semut-semut wanita.
Harta, tahta dan wanita (di kalangan remaja kekinian diubah menjadi harta, tahta dan Raisa atau Isyana) adalah pangkal dari kehancuran atau kesuksesan. Dan orang beramai-ramai memperebutkan ketiganya. Demi ketiganya, segala hal dikorbankan. Harga diri, peluh keringat, bahkan tetes darahpun kalau perlu dikerahkan.
Beberapa hari lagi, Jakarta akan merampungkan saga drama pemilihan Gubernurnya. Karena Jakarta merupakan Ibu kota yang berarti secara langsung ia menjadi etalase Indonesia, maka banyak pihak yang merasa perlu urun andil atau turun tangan secara aktif dalam mewarnai hingar bingar pemilihan Gubernur DKI Jakarta, meski dalam kenyataannya mereka tidak tercatat secara resmi sebagai penduduk Jakarta.
Beragam drama dimainkan dalam skenario Pilgub Jakarta. Mulai dari kasus penistaan agama yang digawangi oleh gubernur incumbent, aksi bela agama berjilid-jilid yang dipelopori oleh kawan-kawan dari ormas islam hingga 'iklan-iklan' kecil yang sengaja disuguhkan sebagai selingan.
Melihat animo yang besar terhadap masa depan Jakarta itu, saya jadi menganggap Jakarta sebagai sesosok wanita seksi yang memikat hati tiap orang yang memandangnya. Jakarta adalah primadona yang setiap saat menggoda orang-orang untuk menjamahnya, bahkan menidurinya. Sebenarnya Jakarta lebih tepat jika dianalogikan sebagai pengejawantahan dari gabungan tiga unsur harta, tahta dan wanita. Sebab Jakarta memang menyediakan segalanya. Ia menjanjikan gelontoran harta, menawarkan kekuasaan yang masif dan sekaligus 'memproduksi' wanita-wanita aduhai. Khusus bagian wanita, kalau tidak percaya silahkan datang ke Alexis lantai 7 seperti yang dibilang oleh Pak Gubernur sebagai surga dunia. Kalau budget anda minim, tidak usah berkecil hati. Tiap malam, di sepanjang jalan Hayam Wuruk hingga Gajah Mada di Jakarta Pusat dan jalan-jalan lainnya, anda akan menemukan penampakan gadis-gadis menor melambaikan tangan menawarkan jasa kencan yang pastinya dengan harga yang lebih bersahabat dibanding tiket masuk ke 'surga Alexis lantai 7' itu. Namun saya lebih suka menganggap Jakarta sebagai wanita yang memiliki daya pikat luar biasa saja. Buktinya semua calon gubernur yang berusaha 'meniduri' Jakarta adalah lelaki. Buktinya lagi, Bu Risma tidak tertarik untuk memperebutkan kursi Jakarta.
Jakarta. Wanita yang sebenarnya sudah sangat tua itu --lahir pada tanggal 22 Juni 1527-- sudah berkali kali berganti nama. Mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Jayakarta Tokubetsu Shi hingga Djakarta sebelum sekarang lebih dikenal sebagai Jakarta. Sejak kelahirannya, Jakarta seolah sudah ditakdirkan sebagai primadona. Tak terhitung banyaknya pihak yang berupaya merenggut keperawanan Jakarta. Orang-orang Portugis, Kolonial Belanda, Fatahillah, sampai juga Dai Nippon pernah berusaha menaklukkan hati Jakarta.
Sebagai daerah pelabuhan, Jakarta (Sunda Kelapa) menjanjikan prospek ekonomi yang cerah. Waktu itu pelabuhan adalah jalur utama perdagangan. Transaksi ekonomi berputar secara masif lewat kapal-kapal yang menepi di pelabuhan. Eksploitasi ekonomi terhadap Jakarta berlangsung terus menerus hingga sekarang. Dan di mana ada segudang uang, di situ ada gerombolan orang.
Sejak statusnya naik menjadi sebuah Provinsi pada tahun 1959 --sebelumnya berstatus Kota Praja-- Jakarta menjadi magnet yang berhasil menarik konsentrasi massa. Apalagi setelah dua tahun kemudian, 1961, status Jakarta naik menjadi DKI alias Daerah Khusus Ibukota, semakin berduyun-duyunlah orang-orang yang berdatangan. Sadar bahwa konsentrasi penduduk yang berlebihan akan menciptakan iklim yang kurang sehat, Gubernur Jakarta, Bang Ali Sadikin sempat memberi label 'Kota tertutup bagi pendatang' untuk Jakarta pada tahun 1970 dengan harapan mampu meminimalisir jumlah kepadatan penduduk. Namun sayang, upaya itu kemudian mangkrak dan tidak populer di tangan kebijakan para gubernur pasca Bang Ali hingga saat ini.
Sisi baiknya, gerombolan masa yang berpindah dari desanya menuju Jakarta justru membuat Jakarta semakin beragam. Penting untuk dicatat, orang-orang yang datang ke Jakarta berangkat dari beragam suku dan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Tidak hanya dari suku-suku dalam negeri saja, dari luar negeri pun ada. Jika kita main ke Pasar Baru, kita akan menemui banyak sekali orang India yang berbisnis di bidang tekstil. Di beberapa tempat, keturunan Portugis juga disinyalir masih tersisa. Tempat-tempat peribadatan berbagai jenis agama dan aliran kepercayaan juga dibangun dengan mesra di Jakarta. Bahkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral mampu berdiri berdampingan tanpa perlu mengganggu kegiatan peribadatan satu sama lain. Asal perhatian dan semangat merawat kebhinekatunggalikaan masih tinggi, serta tidak ada upaya provokatif yang sifatnya destruktif, baik dari pihak mayoritas ataupun minoritas, saya yakin keberagaman yang tumbuh subur di Jakarta akan menginspirasi anak-anak kota lainnya di seantero nusantara.
Jika ditanya siapa yang memake-up Jakarta sehingga dari yang semula ia hanya seumpama gadis desa lugu dan penuh malu mampu bertransformasi menjadi wanita seksi menggoda dengan bedak hedonis ala megapolitan, mungkin hampir semua orang sepakat menunjuk Bang Ali Sadikin sebagai dalang di balik majunya Jakarta. Sejak memimpin Jakarta pada tahun 1966, Bang Ali gencar mempermak Jakarta. Baik dari pembangunan landmark kota, tempat wisata, penataan letak kota maupun menghidupkan kembali budaya-budaya lokal khas Betawi Jakarta yang mulai meredup seperti ondel-ondel dan lainnya. Bang Ali adalah sosok gubernur yang merakyat dan sangat dicintai rakyatnya. Meski begitu, Bang Ali tidak serta merta terbebas dari isu kontroversial. Tercatat ia pernah mengembangkan hiburan malam dan praktek perjudian dengan pajaknya digunakan untuk membangun kota Jakarta. Serta yang paling kontroversial mungkin pembangunan Kramat Tunggak sebagai tonggak pelacuran di Ibu Kota.
Sebagaimana wanita, jika terlalu banyak orang yang mengejarnya, ia juga akan menerima dampak negatifnya. Sebab cara orang untuk mendapatkan hati seorang wanita berbeda-beda. Ada yang menggunakan pendekatan persuasif, ada pula yang blak-blakan dengan tegas. Bahkan yang tidak tahu malu, ada yang sengaja menodai kesuciannya terlebih dahulu agar bisa meraih cinta sang wanita. Begitu pula Jakarta. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan gedung-gedung pemerintahan secara tidak langsung berimbas buruk terhadap 'kesehatan' Jakarta. Maka jangan heran jika tiap tahun Jakarta selalu kebagian musibah banjir. Kepadatan penduduk yang over kuota menimbulkan kemacetan di mana-mana. Kemacetan memicu emosi di kepala mendidih panas. Emosi dapat menstimulus percik-percik permusuhan.
Orang-orang di Jakarta menerapkan gaya hidup hedonis. Interaksi sosial tidak begitu penting. Asal ada uang, semua bisa menjadi teman. Inilah rupa sang primadona bernama Jakarta.
Di titik klimaks persaingan memperebutkan DKI satu yang memanas, sebuah isu yang sebenarnya sudah basi diangkat kembali. Wacana tentang upaya pemindahan Ibu Kota dibicarakan lagi. Palangkaraya digadang-gadang akan menjadi Ibu kota yang ideal bagi Indonesia. Namun perpindahan Ibu kota disinyalir tidak begitu saja akan melemahkan peran Jakarta, terutama sebagai pusat bisnis, di mana saat ini 70% perputaran uang di Indonesia berporos di Jakarta. Mungkin gedung-gedung dan kantor pemerintahan akan berdiri di Palangkaraya, namun Jakarta tetaplah Jakarta. Ia primadona yang akan tetap jaya dan gemerlap seperti sekarang.
Siapapun yang nantinya memenangi pertarungan politik untuk menduduki tahta nomer satu Ibu kota, berhati-hatilah. Jakarta adalah wanita yang tidak mudah dijinakkan. Ia liar, brutal dan semau-maunya. Tanpa keseimbangan birokrasi yang bersih, kewarasan akal berpikir dan usaha yang baik untuk tidak memecah belah keberagaman di Jakarta, mustahil Jakarta mampu diluluhkan. Alih alih mendapatkan cinta, bisa jadi mereka justru ditikam oleh kejamnya Ibu kota. Alih alih mendapatkan harta, tahta dan wanita, bisa jadi mereka justru akan binasa.
Jakarta adalah Las Vegasnya Indonesia. Ia kota yang cantik, namun juga berlumuran dosa.
Siapapun Gubernur selanjutnya, selamat datang di Jakarta!
Komentar
Posting Komentar