Langsung ke konten utama

Rumus Rindu



            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.
            Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya.
R = J x W.
R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan rindu adalah gram. J adalah jarak yang memisahkan si penanggung rindu dengan seseorang yang dirindukannya. Satuannya adalah meter. Sedangkan W adalah waktu terakhir kali bersua antara si perindu dan sosok yang dirindukan. Satuannya adalah second atau detik.
Ambil saja contoh sederhana semisal beban rindu yang musti saya tanggung dengan ibu selama sehari semalam. Saya ada di Yogyakarta. Sementara ibu saya ada di Banyuwangi. Menurut ukuran penggaris Mbah Google, jarak dari Banyuwangi ke Yogyakarta adalah 600,6 km yang berarti 600.600 dalam satuan meter. Dalam sehari semalam, ada 86.400 detik. Maka, beban rindu yang musti saya tanggung terhadap ibu saya dalam sehari semalam saja adalah 600.600 x 86.400 = 51.891.840.000 gram—lima puluh satu milyar lebih sekian ratus juta gram. Jika dikonversikan ke satuan kilogram, berarti menjadi 51.891.840 kg—lima puluh satu juta delapan ratus sembilan puluh satu ribu delapan ratus empat puluh kilogram. Ingat, itu hanya beban rindu dalam sehari. Bagaimana jika sebulan? Setahun? Silahkan saja dikalikan. Paling tidak, dari hitung-hitungan itu, kita jadi tahu mengapa Dilan mengatakan bahwa rindu itu berat, dan secara tidak langsung, ini juga menunjukkan betapa Dilan memiliki kekuatan super yang bahkan jauh melampaui kekuatan Superman.
Tinggal kita inputkan saja jarak dan waktu antara kita, selaku si perindu, dengan sosok yang kita rindukan, bisa orang tua, sahabat, kekasih dan lain-lain, maka kita dapat mengukur dan mengetahui seberapa berat rindu yang musti kita pikul.
Namun setelah melalui banyak perenungan yang dilakukan secara intens, khusyuk dan serius, pada akhirnya saya menyadari bahwa rindu bertempat tinggal di dalam dimensi metafisik. Rindu bukan materi fisikal yang mampu kita ukur dan raba. Rindu memiliki habitat di tataran batin-ruhani. Bahkan, kalau boleh berterus terang, rindu amatlah subyektif. Setiap orang memiliki pengalaman rindu yang berbeda-beda. Ada perindu yang merasa memikul beban rindu amat berat meski ia hanya terpisah lima langkah saja dari rumah sosok yang dirindukan dan setiap hari memiliki kesempatan bertatap muka dengannya. Sebaliknya, ada perindu yang merasa beban rindunya ringan-ringan saja meski bertahun-tahun tidak bertemu dan terpisah jarak ribuan kilometer dengan sosok yang dirindukan. Ini menjadi indikator bahwa rindu bersifat subyektif dan relatif. Dengan fakta ini, saya mengambil kesimpulan bahwa rindu tidak dapat diukur dengan satuan apapun. Dan secara otomatis, rumus tentang rindu yang coba saya tawarkan menjadi tidak relevan dengan sendirinya. Dengan ini, saya sekaligus mengakui bahwa dalam perihal pengilmiahan rindu, saya gagal. Tapi setidaknya saya sudah mencoba—sembari mengelus dada, menghibur diri sendiri.
Meski begitu, bagi kalian yang sedang dirundung rindu, wabilkhusus para pejuang LDR, mungkin rumus ini bisa bermanfaat sebagai bahan iseng-isengan yang bisa diterapkan saat sedang menjalani masa-masa penantian. Setidaknya, menurut hemat saya, daripada galau menanti kepastian yang tak pasti, lebih baik kalian berlatih menghitung rindu. Bagaimanapun hal ini mampu menambah kecerdasan kalian, terutama soal hitung-hitungan matematis.
Dalam perenungan selanjutnya yang lebih dalam dan lebih khusyuk lagi, dengan rumus ini, saya membayangkan berapa beban rindu yang seharusnya kita tanggung saat kita merindukan Rasulullah Saw yang notabene memiliki rentang waktu 14 abad dengan kita. Hasilnya? Silahkan anda hitung sendiri. Allahummashalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad.
Wallahua’lam.




Komentar

  1. SO DEEP.

    Lu nulis ini lagi gabut di kosan ya, Gus? HAHA.

    Lagi gabut aja bisa menghasilkan tulisan yang terselip pesan-pesan ciamik yaw!

    Selalu Menanti Tulisanmu, GUSKUH..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...