Langsung ke konten utama

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek.

Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain.

Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya.

Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring.

Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah supramanusia. Bukan sekedar manusia biasa. Memang itulah kenyataannya. Gus Miek seperti tak lepas dari kisah-kisah di luar logika. Ndak nutut kita mikirnya.

Jadi saya tidak akan membahas cerita yang berkaitan dengan karomah yang dimiliki Gus Miek. Kalau kalian berhasrat mencari cerita itu, pergi saja ke toko buku, beli buku cerita Gus Miek atau pergi ke kuburan. Tanggaplah seorang sarkub. Sebagai imbalan kesudiannya bercerita, kalian bisa memberinya beberapa batang rokok saja dengan kopinya.

Saya lebih tertarik membahas sisi manusiawi Gus Miek yang jarang dibicarakan orang. Sehebat apapun Gus Miek, beliau tetaplah seorang manusia biasa. Kakinya tetap berpijak di bumi. Tetap memiliki nafsu manusiawi seperti makan, minum dan menikah mesti dengan niatan yang mungkin berbeda dengan kebanyakan dari kita.

Dawuh Gus Miek di atas menyiratkan kepada kita bahwa setinggi apapun pangkat kita, tetap saja kita harus tahu diri. Harus proporsional. Mengerti dan sadar terhadap kedudukan. Melek diri.

Perhatikan dawuh beliau agar kita terus-menerus menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita, Gus Miek sadar bahwa manusia sering melewati batas sebagai manusia. Bahkan manusia sering merambah batas menjadi Tuhan. Mengadili seenaknya, menghukum tanpa pertimbangan, menerakakan orang lain dengan enteng, mengklaim kebenaran hanya bagi diri dan pihaknya. Belum lagi hal 'kecil' seperti sombong. Bukankah Tuhan telah menyampaikan dalam hadits qudsi bahwa sombong adalah pakaianNya? Maka hanya Tuhan yang berhak sombong.

Esensi dawuh Gus Miek sangat dalam. Sangat relevan bagi siapapun yang masih mengaku sebagai manusia. Yang jadi guru harus tahu diri, apa benar sudah mendidik muridnya sesuai ketentuanNya. Yang jadi rakyat harus tahu diri, apa sudah benar berbuat demikian dan ini itu. Yang jadi pemerintah juga harus tahu diri, apa keputusan yang dibuatnya sudah benar-benar adil, sesuai tuntutanNya. Jangan-jangan kita sudah berbuat dholim? Jangan-jangan kita sudah melewati batas? Jangan-jangan kita sudah membuat Tuhan murka?

Gus Miek tidak asal dawuh. Beliau juga menerapkan dawuhnya dalam kehidupan beliau sehari-hari. Lihat bagaimana Gus Miek begitu enggan Jantiko mantab dan Dzikrul Ghofilin, jam'iyyah yang diasuhnya untuk diiklankan dan dipromosikan. Lihat juga kewaspadaan diri beliau saat beliau bercerita bahwa saat umur 10 tahun, beliau dikunjungi banyak orang, dimintai ini itu, beliau pun curiga, jangan-jangan saya ini senang didatangi orang? Jangan-jangan saya senang dianggap keramat?

Maka pengakuan atas keteledoran diri sangat penting. Sebab kita sering tidak sadar melakukan sesuatu yang kita anggap baik padahal mengundang murka Tuhan. Sering. Sering sekali kita mendholimi diri kita sendiri. Lebih-lebih mendholimi orang lain.

Gus Miek adalah tokoh multidimensi. Tidak seperti kebanyakan kiai yang hanya menghadapi santri yang ingin mengaji. Santri Gus Miek jauh dari kesan rapi, berpakaian putih, berpeci dan bersarung. Santri Gus Miek mayoritas adalah orang-orang yang kurang mendapat kasih sayang dari sekitar. Orang-orang yang dipandang sebelah mata, orang-orang yang dianggap tuna susila, orang-orang yang tidak diterima di kehidupan sosial. Gus Miek datang dan mengayomi mereka dengan santun dan penuh kasih sayang dengan caranya sendiri. Gus Miek pun sadar betul terhadap suratan takdir yang mengirimnya untuk mengentaskan orang-orang itu dari dunia hitam. Maka saat segelintir orang menyindir jalan dakwah Gus Miek yang anti mainstream itu, beliau menanggapi dengan santai. "Kamu tanya semua orang. Orang baik, orang buruk, psk, maling, kelak kalau mati ingin masuk surga atau neraka? Pasti mereka memilih surga? Lha sekarang mana ada orang yang mau masuk ke diskotek mengentaskan mereka dari neraka ke surga?"

Gus Miek tahu diri dan proporsional dalam mematuhi takdir yang harus dijalaninya. Meski resikonya besar, beliau tetap istiqomah. Gus Miek bukannya tidak mendapat cacian. Tak sedikit orang yang mencaci maki Gus Miek. Anak kiai besar kok tiap malem minum bir. Anak kiai kok main di diskotek. Tapi apa? Gus Miek hanya menganggap itu sebagai angin lalu. Bahkan beliau juga tidak ingin dibela. "Kamu kalau ada orang menghina saya, saya tidak usah dibela. Kalau betah, dengarkan. Kalau tidak, kamu pergi saja."

Akhirnya, rujukan yang paling tepat untuk mengakhiri tulisan ini adalah ungkapan yang begitu masyhur di kalangan para sufi, "Siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya."

Mari bercermin. Jika hidup kita terasa kering, banyak uang namun masih saja ada gelisah. Mungkin kita belum benar-benar mengenal Tuhan sehingga DIA menjauh dari kita.

Bagaimana mungkin kita mengenal Tuhan? Sedangkan untuk makrifat terhadap diri kita sendiri saja kita masih buta?

Mari menjadi manusia proporsional. Yang tahu dan sadar akan kemanusiaannya. Yang tahu dan sadar akan kealpaannya. Kalau sewaktu-waktu kita gelap mata dan menerobos batas manusia kita, jadikan dawuh Gus Miek di atas sebagai rem, agar tidak kebablasan.

Robbana dholamna anfusana wa in lam taghfirlana watarhamna lanakunanna minal khosiriin.

Ya Tuhan, aku telah sering berbuat dholim pada diriku sendiri. Jika tidak karena ampunan dan belas kasihMu, pastilah aku termasuk orang-orang yang merugi.

Wallahu 'alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...