Langsung ke konten utama

Mati Tepat Waktu

    Mati adalah misteri ilahi. Manusia tidak bisa mengetahui datangnya dengan pasti. Kalau pun ada seseorang yang bisa menebak kematian, tentu itu tak lebih dari sekedar ramalan atau rabaan. Ia tidak akan mampu memastikan.

    Kebanyakan orang takut mati. Sebab kematian memutus segala hal yang pernah dikaitkan dan berkaitan dengan seseorang. Orang kaya putus hubungan dengan harta benda, orang pandai putus hubungan dengan semat gelar kepandaian, orang hidup putus hubungan dengan saudara, keluarga, kenalan, handai tolan dan segala hal yang dicintai semasa hidup di dunia. Maka kematian selalu menjelma menjadi hantu yang hampir setiap orang phobia terhadapnya.

    Kematian adalah lawan makna kelahiran. Kita tidak bisa memilih kelahiran. Tidak mampu memilih lahir kapan, di mana, dari rahim ibu yang mana, dari sperma ayah siapa. Tapi kita bisa memilih akan mati dalam keadaan seperti apa. Maka sejatinya, hidup ini adalah pilihan untuk mati yang bagaimana. Kita ingin mati dalam keadaan baik, hiduplah dengan baik. Kita ingin mati terhormat, hiduplah terhormat. Kita ingin mati tercela, silahkan hidup semau-maunya.

    Dream theater, dalam lagunya, The Spirit Caries On, dengan bijak memotifasi pendengarnya agar tidak risau jika ia harus mati esok hari. 'Jika aku mati esok hari, aku akan baik-baik saja. Sebab aku percaya, kekuatan spiritual akan mengawalku'.

    Percaya dan spiritualitas. Perhatikan dua kata itu. Apa yang muncul dibenak kita? Ya, agama. Agama adalah kepercayaan dan kekuatan spiritual yang memback up hidup kita di dunia. Setiap agama punya nilai dan norma. Setiap agama mengajarkan kebaikan. Beragamalah sebagai tabungan untuk memiliki kekuatan spiritual yang akan menenangkan saat kita mati kelak.

    Saya masih ingat betul saat itu, beberapa hari setelah hari raya Iedul Fitri, di dapur, ibu saya sedang memasak makanan, saya menghampirinya, bermaksud menyeduh kopi. Sembari mengaduk kopi, saya bilang sama ibu, "Mi, kalau hutang saya lunas, saya siap mati, kapan saja".

    Ibu saya mengernyitkan dahi. "Hush, kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Memang kamu punya hutang berapa?"

    Bukannya menjawab pertanyaan ibu, saya malah meneruskan perkataan saya sebelumnya. "Saya berhutang banyak sama ibu, sama ayah, sama orang lain. Saya hutang kasih sayang, cinta, perhatian, budi pekerti, norma, nilai, bantuan, derma, dan juga uang. Kalau saya sudah bisa melunasi semua itu, saya siap mati".

    Ibu diam saja. Saya pergi undur diri, menyangking kopi.

    Saya sedang tidak bercanda. Setiap orang ingin mati dalam keadaan baik alias husnul khotimah. Dan saya rasa, waktu ideal untuk mati adalah saat saya tidak punya hutang atau tanggungan apapun terhadap siapapun.

    Syukur jika saya bisa melunasi keburukan saya dengan kebaikan, dosa-dosa saya dengan pahala, marah saya dengan keramahan dan kebaikan Tuhan dengan kepatuhan.

    Umumnya, orang siap mati jika target dan tujuan hidupnya sudah terpenuhi. Begitu juga dengan saya. Dan saya juga menegaskan, bahwa itu menjadi cita-cita saya. Melunasi segala hal yang mereka dan kalian hutangkan pada saya.

    Daftar hutang saya sangat panjang. Hutang kepercayaan, kerinduan, kasih sayang, cinta, persahabatan, ilmu, materi, non materi dan sebagainya. Terlalu naif jika saya katakan bahwa saya mampu melunasi itu semua. Tapi saya akan berusaha untuk melunasinya dengan menyicil satu per satu.

    Saya bukan orang baik dan jauh dari baik. Namun sekurang-kurangnya, saya akan berusaha untuk itu.

    Doakanlah saya, saya juga akan mendoakan kalian. Saya selalu meminta kepada Tuhan untuk tidak mencabut nyawa saya sebelum saya bisa melunasi hutang-hutang ini. Yah, minimal hutang saya pada ibu.

    Semoga kita semua dimatikan dalam keadaan yang baik, dalam waktu yang ideal, husnul khotimah. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...