Mati adalah misteri ilahi. Manusia tidak bisa mengetahui datangnya dengan pasti. Kalau pun ada seseorang yang bisa menebak kematian, tentu itu tak lebih dari sekedar ramalan atau rabaan. Ia tidak akan mampu memastikan.
Kebanyakan orang takut mati. Sebab kematian memutus segala hal yang pernah dikaitkan dan berkaitan dengan seseorang. Orang kaya putus hubungan dengan harta benda, orang pandai putus hubungan dengan semat gelar kepandaian, orang hidup putus hubungan dengan saudara, keluarga, kenalan, handai tolan dan segala hal yang dicintai semasa hidup di dunia. Maka kematian selalu menjelma menjadi hantu yang hampir setiap orang phobia terhadapnya.
Kematian adalah lawan makna kelahiran. Kita tidak bisa memilih kelahiran. Tidak mampu memilih lahir kapan, di mana, dari rahim ibu yang mana, dari sperma ayah siapa. Tapi kita bisa memilih akan mati dalam keadaan seperti apa. Maka sejatinya, hidup ini adalah pilihan untuk mati yang bagaimana. Kita ingin mati dalam keadaan baik, hiduplah dengan baik. Kita ingin mati terhormat, hiduplah terhormat. Kita ingin mati tercela, silahkan hidup semau-maunya.
Dream theater, dalam lagunya, The Spirit Caries On, dengan bijak memotifasi pendengarnya agar tidak risau jika ia harus mati esok hari. 'Jika aku mati esok hari, aku akan baik-baik saja. Sebab aku percaya, kekuatan spiritual akan mengawalku'.
Percaya dan spiritualitas. Perhatikan dua kata itu. Apa yang muncul dibenak kita? Ya, agama. Agama adalah kepercayaan dan kekuatan spiritual yang memback up hidup kita di dunia. Setiap agama punya nilai dan norma. Setiap agama mengajarkan kebaikan. Beragamalah sebagai tabungan untuk memiliki kekuatan spiritual yang akan menenangkan saat kita mati kelak.
Saya masih ingat betul saat itu, beberapa hari setelah hari raya Iedul Fitri, di dapur, ibu saya sedang memasak makanan, saya menghampirinya, bermaksud menyeduh kopi. Sembari mengaduk kopi, saya bilang sama ibu, "Mi, kalau hutang saya lunas, saya siap mati, kapan saja".
Ibu saya mengernyitkan dahi. "Hush, kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Memang kamu punya hutang berapa?"
Bukannya menjawab pertanyaan ibu, saya malah meneruskan perkataan saya sebelumnya. "Saya berhutang banyak sama ibu, sama ayah, sama orang lain. Saya hutang kasih sayang, cinta, perhatian, budi pekerti, norma, nilai, bantuan, derma, dan juga uang. Kalau saya sudah bisa melunasi semua itu, saya siap mati".
Ibu diam saja. Saya pergi undur diri, menyangking kopi.
Saya sedang tidak bercanda. Setiap orang ingin mati dalam keadaan baik alias husnul khotimah. Dan saya rasa, waktu ideal untuk mati adalah saat saya tidak punya hutang atau tanggungan apapun terhadap siapapun.
Syukur jika saya bisa melunasi keburukan saya dengan kebaikan, dosa-dosa saya dengan pahala, marah saya dengan keramahan dan kebaikan Tuhan dengan kepatuhan.
Umumnya, orang siap mati jika target dan tujuan hidupnya sudah terpenuhi. Begitu juga dengan saya. Dan saya juga menegaskan, bahwa itu menjadi cita-cita saya. Melunasi segala hal yang mereka dan kalian hutangkan pada saya.
Daftar hutang saya sangat panjang. Hutang kepercayaan, kerinduan, kasih sayang, cinta, persahabatan, ilmu, materi, non materi dan sebagainya. Terlalu naif jika saya katakan bahwa saya mampu melunasi itu semua. Tapi saya akan berusaha untuk melunasinya dengan menyicil satu per satu.
Saya bukan orang baik dan jauh dari baik. Namun sekurang-kurangnya, saya akan berusaha untuk itu.
Doakanlah saya, saya juga akan mendoakan kalian. Saya selalu meminta kepada Tuhan untuk tidak mencabut nyawa saya sebelum saya bisa melunasi hutang-hutang ini. Yah, minimal hutang saya pada ibu.
Semoga kita semua dimatikan dalam keadaan yang baik, dalam waktu yang ideal, husnul khotimah. Amin.
Komentar
Posting Komentar