Tempo hari, saya menulis status di akun facebook, "Yang paling berhak menjadi ateis hanya Tuhan."
Seorang teman baik di dunia maya yang juga berteman baik dengan saya di dunia nyata menanggapi postingan itu. "Paling berhak apa satu-satunya yang berhak?"
Begini. Saya menggiring pemahan teman saya itu dengan ayat "Laa ikrooha fiddiin". Jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Saya tidak sedang berusaha menjadi ahli tafsir dan tidak pula sedang memanfaatkan ayat untuk hal-hal berbau politik atau bahasa populernya, politisasi ayat.
Tidak ada paksaan dalam beragama. Bahkan dalam ayat lain yang menurut saya masih senada menyebutkan, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Ayat terakhir asbabunnuzulnya adalah ketika Rasulullah ditawari kaum kafir untuk saling 'berbagi' agama. Kaum kafir meminta Rasulullah dan umatnya agar mengerjakan ritus agama kafirin seharian ini, esok harinya, sebagai balas budi, gantian kaum kafir yang ikut-ikutan melakukan ritual umat islam. Lalu turunlah ayat lakum diinukum wa liya diin.
Ada beberapa poin hikmah yang bisa saya dapat dari kedua ayat tersebut. Satu, kita tidak berhak memaksa arah keyakinan seseorang. Dua, jika kita sudah yakin terhadap agama yang kita pilih, kita harus totaliter menganutnya, tidak setengah-setengah. Tiga, toleransi tidak ada dalam wilayah keagamaan yang sifatnya berhubungan langsung dengan Tuhan atau ibadah mahdloh alias murni, bukan ibadah sosial. Empat, sesama manusia, kita musti saling menghargai keyakinan yang kita pilih, meski berbeda rupa.
Atas dasar itu, sembari membayangkan menjadi seorang ateis, saya memutuskan menuliskan "Yang paling berhak menjadi ateis hanya Tuhan", dan tidak menulis "Satu-satunya yang berhak menjadi ateis hanya Tuhan", sebab saya kira, mereka yang memilih menjadi ateis-pun merasa berhak untuk tidak bertuhan. Mereka merasa dirinya berhak untuk menganut kepercayaan menjadi ateis. Percaya tidak adanya Tuhan adalah sebuah bentuk kepercayaan yang lain.
Menyinggung ateis, saya jadi teringat ceramah Cak Nun yang saya lihat di Youtube. Kala itu Cak Nun mengungkapkan, bahwa ternyata kita sering kali menjadi ateis dalam beberapa kesempatan. Maksud Cak Nun bukan kita kerap gonta-ganti keyakinan dari ateis ke teis. Lebih halus dari itu, substansi ucapan Cak Nun adalah kenyataan bahwa kita sering kali tidak melibatkan Tuhan dalam berbagai hal dan persoalan.
Saat tidur, kita tidak melibatkan Tuhan. Saat makan, juga. Saat kerja, bermain, berinteraksi, saat hidup-pun ternyata kita sering tidak melibatkan Tuhan. Tuhan yang eksistensinya Maha Dahsyat luar biasa dan Maha Dekat dengan kita itu seolah-olah kita abaikan dengan mudah keberadaannya, sehingga kita tidak merasa perlu bawa-bawa Tuhan dalam setiap gerak-gerik kita di dunia.
Kita punya dan bersaksi bahwa kita bertuhan, namun Tuhan tidak pernah kita libatkan. Betapa kurang ajarnya kita?
Saya jadi teringat masa kecil. Masa di mana saya sempat mempunyai buku doa-doa yang tebalnya sekitar 300 halaman. Buku itu menampilkan doa-doa yang dianjurkan untuk kita baca dalam aktivitas sehari-hari. Doa mau makan, setelah makan, mau minum, setelah minum, mau masuk ke kamar kecil dan lain lain. Sederhana sekali memang. Tapi saya baru tersadar jika doa-doa itu sejatinya mengajarkan kita untuk selalu melibatkan Tuhan dalam setiap persoalan. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Mulai hal sepele hingga hal yang tidak bisa dianggap sepele.
Betapa agama yang saya yakini luar biasa mengagumkan. Rasulullah mengajarkan kita untuk berdoa setiap saat. Apalagi kalau tujuannya bukan untuk melibatkan Tuhan? Padahal, jika Tuhan selalu ikut terlibat dan turun tangan langsung terhadap segala persoalan kita, pasti tidak ada yang tidak beres. Semua tuntas. Clear!
Rupanya, saya harus pergi ke toko buku dan mencari buku kumpulan doa-doa itu. Saya tidak mau Tuhan membenci saya gara-gara saya kerap kali lalai mengindahkannya.
Ah, bahkan saya hampir lupa melibatkan Tuhan saat menuliskan postingan ini.
Atau mungkin anda, pembaca yang budiman, juga lupa melibatkan Tuhan saat membaca tulisan ini?
Kalau iya, mari kita libatkan Tuhan.
Bismillahi, awwalahu wa aakhirohu.
Komentar
Posting Komentar