Di beberapa pondok pesantren salaf yang fanatik dengan kitab kuning, ada dua jenis kitab. Kitab salaf dan kitab kontemporer. Entah siapa yang pertama kali membedakan. Definisi jelasnya juga masih remang-remang. Namun biasanya, yang disebut kitab kontemporer ini adalah kitab yang muallif atau pengarangnya masih hidup. Setinggi apapun tingkat kealiman muallifnya, jika ia masih hidup, kitab karangannya akan disebut kitab kontemporer. Pengertian mudahnya, kitab kontemporer ini bisa disebut dengan kitab anyaran.
Pengklasifikasian ini bukannya tanpa dampak. Dalam forum musyawarah yang diselenggarakan beberapa pesantren salaf, kitab kontemporer seperti dianak tirikan. Jika dalam suatu permasalahan ditemukan 2 jawaban dari versi kitab salaf dan kontemporer, maka hampir dapat dipastikan jawaban dari kitab salaf-lah yang akan diterima oleh para peserta musyawarah. Bahkan dalam beberapa peristiwa bisa lebih ekstrim. Begitu kita tawarkan sebuah jawaban dan para peserta musyawarah mengetahui jika jawaban itu merupakan nukilan dari kitab kontemporer, maka argumen kita langsung ditolak mentah-mentah.
Sebenarnya apa yang menjadi tradisi di pesantren salaf seperti itu tidaklah keliru. Mereka, saya yakin, memiliki dasar yang kuat untuk memilih lebih condong kepada kitab salaf. Mungkin mereka ingin mempertahankan kesalafan yang memang akhir-akhir ini semakin tergerus oleh zaman. Atau mungkin sebagian lain dari mereka berlandasan hadits Rasulullah SAW tentang afdholiyyah kurun yang menyebutkan bahwa kurun atau era yang paling baik adalah era Rasulullah SAW dan para sahabat beliau, kemudian tabi'in, kemudian tabi'it tabi'in dan seterusnya. Artinya, semakin jauh masa hidup kita setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka semakin turunlah tingkat keutamaan kurun kita. Alhasil, dipilihlah kitab salaf yang memang muallifnya hidup di era yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW ketimbang para penulis kitab kontemporer. Namun yang membuat saya sedikit kecewa adalah tindakan beberapa oknum orang pesantren yang memandang kitab kontemporer dengan sebelah mata. Seolah-olah kitab kontemporer tidak dianggap sebagai salah satu sumbangsih intelektual bagi perbendaharaan dunia literatur Islam. Seoalah-olah ia, kitab kontemporer, ditulis oleh orang yang tidak alim dan zuhud sebagaimana para penulis kitab salaf. Kitab kontemporer hanya difungsikan sebagai pembanding dari kitab salaf dan jarang sekali dijadikan sebagai rujukan utama solusi permasalahan umat. Kitab kontemporer seperti terdiskriminasikan.
Kiai atau Ulama dapat didefinisikan sebagai seseorang yang mumpuni dalam bidang keagamaan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu pengertian kiai versi saya pribadi. Namun dalam perkembangannya, untuk memantapkan sematan gelar kiai, seseorang seolah-olah dituntut untuk mempunyai pondok pesantren. Artinya, orang yang sudah menguasai ilmu agama Islam dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan nyata tetapi tidak memiliki pondok pesantren, belum sah untuk menyandang gelar kiai. Tapi masih ada opsi lain jika ingin menyabet gelar kiai tanpa perlu repot-repot membangun madrasah atau pesantren. Yakni, mempunyai umat fanatik yang selalu mengiyakan apapun yang keluar dari mulut sang kiai. Mungkin hal ini terdengar sedikit tabu, tapi memang seperti itulah realita yang tumbuh di tengah-tengah kita. Ada kualifikasi tertentu yang musti dilalui seseorang agar lulus menjadi seorang kiai di masa kini.
Padahal jika kiai itu disama-artikan dengan ulama, cukuplah definisi versi saya itu sebagai standar tolak ukur keabsahan pantas tidaknya gelar kiai disematkan kepada seseorang. Meskipun ia hanya mengamalkannya sendiri dan tidak menyeru dan berkhotbah kepada khalayak umum tentang ilmu agama yang dimiliki, ia sah menyandang gelar kiai. Oleh karenanya ulama disebut warotsatul anbiya', pewaris para nabi. Bukan para rasul. Nabi tidak dibebani kewajiban untuk menyampaikan risalahnya kepada umat. Berbeda dengan rasul yang memiliki keharusan untuk menyampaikan dan mengajarkan apa yang diterimanya kepada umatnya masing-masing.
Politik dan kiai di masa kini berjalan beriringan. Artinya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, utamanya yang berkaitan dengan penyelewengan terhadap nilai dan norma agama, kiai merasa perlu dan penting untuk terjun atau minimal mengawal kehidupan politik.
Sebagai rakyat dan santri, saya melihat berbagai fenomena terkait hubungan politik dengan kiai. Dari berbagai hal, saya kerucutkan menjadi dua jenis kiai yang bersinggungan dengan politik. Satu, kiai yang dibuat kendaraan oleh oknum politik. Dua, kiai yang menjadikan politik sebagai kendaraan. Kiai tipe satu ini biasanya kiai yang benar-benar kiai. Namanya sudah harum dan besar. Kiai tipe ini hanya dijadikan alat pendongkrak untuk kepentingan politik. Mereka selalu dimanfaatkan dan kerap menjadi korban keculasan politik. Kiai tipe dua adalah kiai yang tidak benar-benar kiai. Artinya, kiai ini justru menjadikan politik sebagai pendongkrak citra kekiaiannya. Kiai ini akan sentimentil terhadap kiai lain yang berada di partai politik yang berlawanan. Saya pribadi terus terang tidak begitu respek terhadap kiai tipe ini. Sikap sentimentil mereka hanya akan membingungkan umat. Jika kiainya saja ribut, bagaimana dengan umatnya? Akan ada perpecahan dan pengkotak-kotakan di kalangan umat. Atas keresahan ini, saya sering menyebut kiai nomor dua dengan julukan kiai kontemporer alias kiai anyaran.
Kiai saya, KH. Nurul Huda Djazuly Ploso, pernah mengutarakan alasan beliau terkait kecondongan beliau dengan salah satu partai politik. Beliau sadar sepenuhnya jika beliau dan kiai-kiai sepuh lainnya hanya dipermainkan oleh partai politik. Namun beliau tidak gusar. Sebab memang tujuan utama beliau tidak untuk berpolitik, melainkan hanya sebatas menjalin hubungan baik dengan para kiai lainnya. Yang menjadi substansi beliau adalah persatuan dan kekompakan antar kiai. Sehingga umat tidak terpecah belah apalagi saling bermusuhan.
Sebab memang peran utama kiai adalah membimbing dan mempersatukan umat. Bukan sebaliknya, mencerai-beraikan umat dalam kebingungan.
Semoga para kiai yang benar-benar kiai senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan untuk mengawal carut-marut kehidupan, serta tidak jenuh membimbing umat ke jalan yang baik dan diridhloi Allah SWT. Amin.
Komentar
Posting Komentar