"When you talk, you're only repeating what you know. But if you listen, you may learn something new". Dalai Lama.
"Jika kamu berbicara, kamu hanya menceritakan apa yang kamu ketahui. Tetapi jika kamu mendengar, kamu bisa mempelajari hal-hal baru". Dalai Lama.
Saya harus jujur, bahwa kemampuan bahasa Inggris saya jauh dari kata baik. Tidak usah jauh-jauh tentang grammer atau toefl, listening dan writing saja masih nol besar. Perbendaharaan kata masih miskin bin minim alias fakir.
Maka semenjak menginjakkan kaki di halaman depan sekolah SMA, saya telah membulatkan diri untuk belajar bahasa Inggris. Cara yang saya tempuh hingga saat ini masih otodidak. Mulai mendengar dan menerjemahkan kata-kata bijak, memaksa diri mendengarkan musik-musik western (agar dianggap tidak ketinggalan zaman juga) sekaligus meraba maknanya, download aplikasi kamus online dan offline di Playstore, dll.
Lain itu, guru saya yang notabene seorang yang agamis spiritualis sekaligus sufistik, juga sempat berujar, bahwa di era sekarang, menguasai bahasa Inggris adalah suatu keniscayaan. Artinya, untuk bisa survive di dunia yang semakin semrawut ini, seseorang musti mampu berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Petuah beliau semakin mempertebal tekad berbahasa Inggris saya. Ya, meskipun saya masih belajar secara otodidak saja, yang penting ada niatan kuat untuk belajar.
Saya juga gemar menulis (seperti yang pernah saya ceritakan dalam postingan sebelumnya). Akhirnya saya mempunyai inisiatif untuk menggabungkan kegemaran saya, menulis, dengan usaha saya untuk menguasai bahasa Inggris. Muncullah sebuah ide: saya mencari kata bijak berbahasa Inggris, mengartikannya dan sedikit menafsiri dengan tulisan. Walhasil, sambil belajar, saya juga bisa menyalurkan hobi. Jadilah postingan ini.
Baiklah, saya sudah mengutarakan maksud saya dengan jujur. Kali ini saya akan memulai untuk tulisan sesungguhnya, tafsir dan ulasan petuah Dalai Lama di atas.
Ada banyak kata bijak pesohor yang berkaitan dengan berbicara dan mendengar. Yang paling terkenal tentu saja adagium "Diam adalah emas".
Tuhan memberi kita dua telinga dengan satu mulut agar kita mendengar lebih banyak daripada berbicara. Orang yang hanya pandai berbicara tapi tak mau mendengar, sangat saya sarankan untuk tidak menjadikannya sebagai seorang teman apalagi panutan. Pastilah orang itu memiliki sifat egois yang tinggi. Ia hanya ingin pendapatnya dimenangkan tanpa mau tahu dan peduli tentang pendapat yang disampaikan oleh orang lain, meski baik.
Sebaliknya, seseorang yang hanya pandai mendengar, tapi tidak ahli berbicara, meski kurang baik juga, sekurang-kurangnya masih bisa dijadikan teman. Ya, paling tidak kalian bisa menjadikannya sebagai tempat curhat yang aman. Kejelekan-kejelekan mantan yang kalian curhatkan pada orang bertipe ini, kecil kemungkinannya akan bocor dan sampai terdengar ke telinga si mantan. Hehe.
Namun, orang yang hanya pandai mendengar bukannya tidak memiliki kekurangan. Mereka tetap memiliki celah untuk tidak sempurna. Contoh mudahnya, curhatan-curhatan yang kalian ceritakan akan diam di tempat tanpa solusi. Sebab teman curhat kalian tidak pandai berbicara. Ibaratnya, sama dengan kalian curhat kepada batu. Atau bahasa alaynya, seolah-olah kalian hanya curhat kepada deru angin sore yang mengudara di ujung senja, menguap begitu saja tanpa ada cahaya (baca: solusi).
Yang paling pas untuk kamu pilih sebagai teman bahkan teladan adalah mereka yang pandai mengatur waktu kapan ia bicara, kapan ia mendengar. Ringkasnya, ia tahu porsi dan posisi untuk mengaktifkan mulutnya untuk berbicara dan telinganya untuk mendengar. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah, bagaimanapun juga, orang yang proporsional (baca: orang yang mampu mengatur kapan saatnya ia berbicara dan mendengar) selalu dan pasti lebih banyak mendengar daripada berbicara. Saya berani bertaruh!
Kesimpulannya, jika kita abaikan tentang orang proporsional dan hanya mengerucutkan pilihan menjadi dua saja antara mana yang lebih baik, berbicara atau mendengar? Jawabannya sudah pasti mendengar.
Orang yang mau mendengar sedikit banyak adalah orang yang peduli. Meski jauh di lubuk hatinya sebetulnya ia enggan untuk mendengarkan curhatan kalian yang serumit kisah sinetron percintaan, selama ia masih mau mendengarkan, setidaknya ia masih mau peduli dengan kalian. Begitu juga, orang yang masih mau meluangkan waktunya untuk melihat sinetron percintaan labil, berarti ia juga tergolong orang yang peduli dan kasihan terhadap rating dan tayangan yang sebetulnya tidak layak ditayangkan itu. Hehe.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kalian sendiri. Mau banyak mendengar atau malah banyak bicara dengan mengabaikan hikmah dari penciptaan Tuhan tentang dua telinga dan satu mulut.
Komentar
Posting Komentar