Langsung ke konten utama

Serdadu Hujan

Semalam turun hujan. Petir saling sahut menggelegar. Langit menampilkan blitz kilat berkali-kali, seperti ada sesi pemotretan sepasang kekasih yang memadu cinta di nirwana sana.

Angka di kalender sudah berganti, tapi hujan belum selesai improvisasi diri. Setidaknya sampai sore menjelang maghrib, hujan masih jatuh ke bumi.

Aku kebetulan berkunjung ke masjid yang berjarak selemparan batu dari tempatku singgah. Sengaja berangkat lebih awal agar bisa melihat orang-orang memancing di tambak timur masjid. Sebatang rokok kunyalakan. Cess.

Hujan benar-benar menjadi rahmat bagi semesta. Merokokpun jadi terasa beda. Seperti ada manis-manisnya.

Aku memutuskan untuk melakukan meditasi konsentrasi. Diam tanpa bereaksi terhadap sikap semesta kepadaku.

Kawanan cicak yang biasanya memenuhi langit-langit serambi masjid tak kujumpai malam itu. Segera aku tahu ke mana perginya. Mereka sedang mencari makan untuk perbaikan gizi. Sebab di sekitaran masjid, laron-laron mulai bermunculan mencari cahaya begitu lampu masjid dinyalakan. Laron yang memburu cahaya harus patuh terhadap sunnatullah dengan menjadi santapan sekawanan cicak. Ini sudah ditakdirkan dan digariskan di helai sayap mereka.

"Laron itu proteinnya banyak." kata seorang supir taxi yang sengaja singgah di masjid.

"Iya, orang dulu masih banyak yang mau makan laron. Sekarang sudah nggak ada yang mau." Pak Adnan, penjaga masjid menimpali sambil nyengir.

Di halaman masjid yang berbatasan langsung dengan kali kecil, aku melihat dua ekor kodok saling kejar. Kodok kecil mengejar kodok yang lebih besar. Aku bukan pakar binatang, tapi aku yakin bahwa kodok besar adalah betina dan kodok kecil jantannya. Itu karena aku tidak pernah tahu kalau kodok ada yang homo alias penyuka sesama jenis. Hmm, musim hujan memang musim kawin.

Masih di halaman masjid, tiga meter dari TKP kejar-kejaran kodok kawin, tampak seekor kodok sebatang kara. Tanpa merasa perlu peduli, aku langsung menyangka dia seekor kodok jomblo. Bagaimana tidak, di saat kodok lain sedang kawin, dia malah sendirian. Apalagi kalau bukan jomblo? Toh dalam dunia perkodokan, Tuhan tidak mensyariatkan ijab qabul bagi kodok agar legal menyetubuhi pasangannya.

Terlalu asyik mengamati kodok, aku jadi lupa nasib cicak. Entah sudah sebanyak apa laron yang ditelan. Entah jadi sesehat apa mereka sekarang. Malam itu aku tidak tahu kelanjutan perkembangan mereka. Sebab saat aku mulai tersadar dari dunia kodok, lantai masjid yang sebelumnya di penuhi laron sudah bersih seperti sedia kala. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Pak Adnan.

Tapi aku tidak pernah menyangka Pak Adnan mengambil alih kedudukan rantai makanan cicak dengan mengkonsumsi laron-laron berprotein tinggi.

Aku senyam-senyum sendiri tanpa sebab saat aku melihat rambut Pak Adnan yang mulai memutih dan tubuhnya yang sudah mengeriput.

"Dasar, orang dulu." Batinku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...