Langsung ke konten utama

Doktrinisasi Diri

Seorang kawan yang baik hati bertanya kepada saya tempo hari. "Bagaimana caranya agar kita gemar sholat?"

Pertanyaan yang sebenarnya amat sederhana dan mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang. Tapi percayalah, jawabannya amat sukar dan tidak sesederhana yang kalian bayangkan.

Maka saya terdiam sejenak sembari sedikit memutar otak. Kawan saya sepertinya butuh jawaban cepat. Segera dikeluarkanlah gadget di balik saku celana jins-nya. Browsing bagaimana cara agar suka sholat?

Selang beberapa saat, dia mencak-mencak. Mengutuk artikel yang dibacanya di internet. "Kebiasaan sholat seseorang tergantung oleh orang tuanya. Jika orang tuanya tidak pernah memberikan contoh dan memerintahkan sholat kepada anaknya, besar kemungkinan anaknya akan tumbuh sebagai orang yang tidak gemar sholat." Begitu kira-kira bunyi artikel yang tertulis.

"Salah, artikel ini salah," kata kawan saya, "Orang tua saya tidak seperti itu. Bahkan bapak saya bilang, bapak lebih suka melihat kamu tidak sukses di dunia tapi rajin sholat. Tak jadi soal kamu jatuh miskin, kamu melarat. Yang penting tetap sholat".

Kawan saya tampaknya menyesal telah browsing. Raut mukanya berkata begitu. "Nyatanya, saya sampai sekarang masih susah untuk bisa rajin sholat."

"Begini," saya akhirnya memutuskan untuk menjawab. "Suka atau tidak suka sholat, itu tergantung diri kamu sendiri. Betul kamu bilang, artikel itu salah alias kurang tepat meski tidak sepenuhnya keliru. Sebab sholat itu ibadah yang sifatnya berkaitan langsung antara individu pelaksananya dengan Tuhan. Jadi kurang bijak jika kita melemparkan kesalahan kepada orang lain, lebih-lebih orang tua kita sendiri. Ya, meskipun ada benarnya juga sih. Sebab salah satu faktor kecintaan kita untuk sholat kan sedikit banyak juga dipengaruhi lingkungan."

Kawan saya mulai bergairah mendengar ocehan saya malam itu.

"Segalanya tergantung mind set kita sendiri," saya melanjutkan. "Kita setel dulu pola pikir kita, sholat itu mau kita anggap apa? Kalau kita hanya menganggap sebagai kewajiban ya kita akan merasa terbebani. Tapi kalau kita menganggap sebagai kebutuhan, cepat atau lambat kita akan menyukai sholat. Sebab akan terasa seperti ada yang kurang jika kita tidak sholat. Yang terpenting, kita harus mendoktrin diri kita terlebih dahulu."

"Maksudnya gimana?"

"Ya doktrin. Doktrin itu kan semacam elaborasi atau penggarapan secara tekun dan terus menerus terhadap kerangka berpikir kita. Orang yang dengan suka rela melakukan bunuh diri, pasti sebelumnya sudah didoktrin oleh atasannya bahwa bunuh diri untuk alasan membela agama akan mendapat surga lah, atau matinya jadi mati syahid lah. Itu kan semacam doktrin diri. Jika doktrin itu sudah merasuk dan menyatu dengan kerangka berpikir alias mind set kita, maka yang terdoktrin akan dengan suka rela menjalankannya. Bunuh diri pun dia ikhlas lho. Betapa dahsyatnya kekuatan sebuah doktrin."

Kawan saya manggut-manggut sembari tangannya mengelus janggut.

"Jadi ya apa salahnya kita mendoktrin diri kita agar bergairah melakukan kebaikan? Toh jika itu sukses, kamu akan ringan-ringan saja melakukan sholat. Seperti tanpa beban."

"Caranya?"

"Doktrin itu kan sifatnya mirip dengan brain wash. Cuci otak. Caranya ya kita harus terus menerus menyusupi diri kita dengan nilai-nilai yang mendukung proses doktrin. Kalau orang yang di doktrin untuk bunuh diri, si pendoktrin akan menjejali pikirannya dengan dalil-dalil yang menguatkan doktrinnya. Dengan sedikit sentuhan modifikasi dan manipulasi indah, lalu dikemas semenarik mungkin, bimsalabim, jadilah dia seorang martir yang siap mati kapanpun. Kalau untuk sholat ya kita harus cari dalil-dalil tentang keutamaan sholat, hal-hal yang membuat kita bergairah untuk sholat atau apapun yang sifatnya mendukung jalannya doktrin."

"Hmm. Iya iya. Semoga saya jadi rajin sholat. Saya akan mulai mencoba mendoktrin diri. Saya dulu sempat punya pikiran untuk membayar orang hanya untuk mengingatkan saya sholat."

Kawan saya ini memang kaya. Jadi saya maklum saja dia berkata seperti itu. Saya tidak kaget.

Saya sangat mengapresiasi orang-orang seperti kawan saya ini. Meski belum bisa jatuh cinta pada sholat, ia masih punya kesadaran dan kemauan untuk merubah kebiasaan buruknya. Sementara di luaran sana, berapa banyak saudara kita yang sengaja meninggalkan sholat tapi seperti tidak merasa meninggalkan? Maka doa-doa selalu saya langitkan bagi mereka yang punya niatan mulia seperti kawan saya ini. Semoga Tuhan menanamkan kekuatanNya di dalam diri kita agar kita termasuk orang-orang yang gemar bersujud kepadaNya.

Tarhim dari masjid perumahan sebelah sudah berbunyi. Saya dan kawan menyudahi obrolan panjang malam itu.
"Ayo kita sholat shubuh. Itung-itung sebagai i'tikad baik sebelum mendoktrin diri." Ajak kawan saya.

Saya membalasnya dengan anggukan kecil.

Sekedar catatan. Sebenarnya inti tulisan ini adalah nasehat bagi diri saya sendiri yang masih sering alpa dan kecolongan untuk menjadi hamba yang berbudi.

Sekian.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...