Tempo hari, saya sengaja menceburkan diri di keramaian Pasar Senen. Bersama seorang teman, saya bermaksud hunting buku. Sebab menurut teman saya -- juga riset yang saya lakukan via googling -- Pasar Senen menjadi salah satu destinasi menarik yang menjajakan buku-buku murah. Semacam surga bagi mahasiswa kutu buku berkantong tipis.
Berangkatlah saya siang itu menerobos kemacetan Ibu kota.
Satu demi satu, tiap kios saya masuki. Sensasinya seperti blusukan. Dan kabar baiknya, dari blusukan itu, saya jadi punya persangkaan baik terhadap penjual buku di sana. Pastilah penjual-penjual buku itu orang pandai semua. Minimal kutu buku. Bagaimana tidak, mereka hampir mengenal seluruh nama-nama penulis, judul dan genre buku, baik luar maupun dalam negeri dengan sangat baik. Luar kepala. Luar biasa.
Kekaguman itu sirna begitu saja saat belakangan saya tahu ternyata mereka juga hafal luar kepala tempat -- sekaligus titik koordinat -- buku-buku tersebut. Ah, berarti mereka hafal semua itu hanya untuk menunjang profesinya saja dan tidak betul-betul pernah membacanya satu-persatu.
Walhasil, saya tidak jadi mendapat pahala husnudzon. Yang ada malah dapat dosa sebab suudzon.
Setelah memutuskan berhenti di salah satu kios dan terlibat tawar menawar kecil dengan penjualnya yang kebetulan ibu-ibu, saya memboyong tiga buah buku Pramoedya Ananta Toer dengan harga 50 ribu persis. Murah sekali, bukan?
Hasrat saya untuk membeli buku murah belum tuntas. Pindah ke kios lain. Kali ini penjualnya mas-mas. Terjadi perdebatan sengit saat saya terlibat tawar menawar buku Soe Hok Gie dan kumpulan puisi Chairil Anwar. Meski saya bilang bahwa budget saya tipis dan berkilah dengan alasan kantong mahasiswa tak pernah setebal kantong para dewan atau om-om, mas penjual bersikeras untuk tidak berbelas kasihan terhadap saya. Tapi saat itu saya memang menawar dengan harga yang sangat rendah dari harga yang ditarifkan oleh mas penjual.
"Ini kalau sampai Soe Hok Gie tahu, bisa-bisa dia bangkit dari kuburnya di Semeru," kata mas penjual, berapi-api.
Merinding juga kalau Soe Hok Gie hidup lagi.
Sesudah sama-sama lelah memutuskan harga transaksi yang tak kunjung menemui titik terang, kami -- saya dan penjual -- sepakat berdamai di sebuah harga. Sama seperti transaksi awal, 50 ribu, namun saya hanya berhak membawa pulang dua buku saja.
Sesaat setelah sampai di kontrakan, teman saya berceletuk, "Senen memang tempatnya buku-buku murah. Saking murahnya, penulis seperti tidak dihargai."
"Haha. Betul. Seru juga berdebat dengan penjual-penjual itu. Tapi saya tetap punya dasar untuk seolah-olah tidak menghargai penulis buku dengan memangkas harga yang ditawarkan penjual dengan rendah. Kamu lihat saja buku-buku yang saya beli ini. Kertasnya kualitas kertas pembungkus kacang, bahkan lebih buruk. Covernya juga buruk."
"Lha maunya gimana? Wong kamu nyari yang murah kok. Ya dapatnya yang jelek. Di mana-mana, kalau ingin bagus ya harus ada uang to..."
"Baiklah. Terserah penjual itu mau menganggap saya tidak menghargai penulis atau apalah kata dia, tak masalah. Tapi saya punya penjelasannya. Begini, sebenarnya penjual buku-buku itu lebih dulu tidak menghargai penulis daripada saya."
"Gimana maksudnya itu?"
"Buku yang mereka jual ini buktinya. Kualitas fisiknya cacat, tulisannya juga banyak yang memudar atau kadang malah tidak terang. Pastilah ini hasil fotocopy. Pembajakan dong namanya kalau seperti ini. Jadi bisa dikatakan, dia juga tidak menghargai penulis. Bahkan dengan tingkatan yang lebih parah ketimbang saya."
Teman saya mengangguk setuju.
"Eh, tapi saya heran. Kemaren saya beli kitab Aqidatul awam 10 biji cuma 50 ribu. Kok murah sekali ya? Apa jangan-jangan karena hasil pembajakan juga?" tanya teman saya.
"Iya memang. Kitab dihargai sangat murah. Ironi dengan buku yang dihargai selangit. Saya punya pendapat pribadi mengenai persoalan menghargai buku dan penulis. Sederhananya seperti ini. Jika kita melihat isi, tentu harga semua buku itu sejatinya terlampau murah kecuali buku tulis dan buku gambar. Sebab isi dari buku-buku adalah ilmu. Dan kita sudah sepakat, ilmu itu sangat mahal, bahkan priceless. Tak ternilai. Tapi kalau melihat tampilan fisiknya, buku seharusnya berharga murah. Mahal sekali jika ada buku setebal 170 halaman dibandrol 50 ribu. Wong buku tulis yang tebalnya 32 halaman saja cuma 4 ribu perak, kok? Saya rasa mahalnya buku ini bukan karena pihak yang bersangkutan menghargai penulis, ya ada sih penghargaan itu semisal pembagian fee atau royalti, tapi alasan utamanya lebih kepada izin cetak, brand, izin label hak cipta dan tetek bengeknya yang memang membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit. Tapi itu pun mereka masih dapat untung."
"Wah, spektrumnya tambah luas," ujar teman saya.
"Nah, soal kitab beda lagi. Coba kamu cek di kitab kamu itu. Pasti nggak ada lampiran undang-undang hak cipta yang membahas tentang denda dan hukuman bagi yang memperbanyak atau mengcopynya, sengaja ataupun tidak sengaja. Pasti tidak ada. Maka dari itu harganya murah. Tapi ada juga sih kitab yang ada hak ciptanya seperti itu. Biasanya kasus ini dijumpai pada kitab-kitab yang agak tebal dan dicetak oleh penerbit besar. Tentu harganya menjadi lebih mahal."
Teman saya membolak-balik kitab yang dibelinya beberapa hari lalu. Benar, tidak ada lampiran undang-undang hak cipta.
"Tapi ada perbedaan mencolok antara penulis kitab yang notabene orang-orang dulu dengan penulis buku-buku sekarang nan kekinian," saya melanjutkan obrolan.
"Apa itu?"
"Keikhlasan. Penulis kitab jauh lebih ikhlas daripada penulis sekarang. Mereka tidak meminta royalti atau apapun. Mereka juga mengizinkan kitabnya diperbanyak. Silahkan diperbanyak sebanyak-banyaknya. Sebab tujuan dan hak ilmu adalah nasyr, disebar luaskan. Kalaupun toh ada dari kitab-kitab tebal yang mengandung lampiran larangan memperbanyak, itu bukan permintaan dari penulis atau pengarang kitabnya, tapi lebih kepada akal-akalan penerbit saja, motif bisnis. Lah, kalau penulis sekarang malah tak segan mendenda kita kalau kita memperbanyak buku mereka tanpa izin. Alasannya mencuri kekayaan intelektual mereka. Bahkan meski izin pun, kita tetap kena denda kok."
"Ah, masak sih?"
"Iya. Dendanya ya royalti itu."
Kami tertawa cekikikan.
"Tapi ya gak ada yang salah juga sih dengan undang-undang hak cipta itu. Sebab tentunya, terbentuknya undang-undang itu sudah melalui pertimbangan berbagai hal serta sudah ditinjau nilai maslahatnya. Itu urusan mereka para dewan yang mengaku wakil rakyat sekaligus mengaku berkompeten mengurus negara. Kita tinggal ngikut aja. Yang jelas memang lebih karena tuntutan zaman. Kondisi sudah beda. Sikap dan budaya juga ikut berubah beda."
"Setuju," teman saya mengelus jenggot lebat peliharaannya.
"Meski begitu hasilnya tetep beda lho. Lihat, kitab-kitab itu rata-rata ditulis ratusan tahun yang lalu. Dan luar biasanya, sampai hari ini, eksistensinya masih ada. Artinya, naik cetak tetap terjadi, dinamis seolah tak pernah habis. Terus menerus. Sebab memang kitab-kitab itu laku keras. Di Indonesia saja ada berapa ratus pondok pesantren? Tiap pesantren ada berapa santri? Bayangkan sendiri, untuk di Indonesia saja sudah berapa kitab habis terjual per tahunnya? Dan sekali lagi, kitab itu sudah berumur ratusan tahun. Entah sudah berapa juta eksemplar kitab-kitab itu terjual. Luar biasa. Beda sekali dengan buku sekarang. Kasih contoh buku apa saja terserah. Ayat-Ayat Cinta? Laskar Pelangi? Entah saat ini masih ada atau tidak cetakan barunya. Ya, kalaupun masih ada, saya jamin 20 tahun ke depan, buku itu sudah tidak naik meja cetak lagi. Saya berani bertaruh!"
"Iya, iya. Bener juga itu."
"Inilah yang disebut barokah. Barokah itu secara harfiah adalah tambahnya kebaikan, ziyadatul khoir. Sebab penulis kitab zaman dahulu itu menulis dengan ikhlas, tulus, murni dan benar-benar diniati untuk menyebarkan ilmu sebagai bentuk syukur mereka atas ilmu yang Tuhan titipkan di dalam sanubarinya. Tidak terpikirkan sedikitpun masalah royalti."
"Berarti penulis sekarang nggak ikhlas dong?"
"Ya bukannya begitu. Tapi, ya gimana ya. Kamu lihat sendiri saja lah bedanya. Yang jelas tetap berbeda. Meski begitu, tetap harus ada penulis. Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian, kata Pram. Jadi ya para penulis itu jangan terus jadi ngambek dan demo mogok nulis gara-gara saya tuduh tidak ikhlas. Anggap saja saya ini apriori. Walau bagaimanapun, saya tetap menghargai para penulis itu."
"Kalau menghargai, ya bukunya harus beli yang asli lah. Jangan beli di Pasar Senen lagi..."
"Hahaha..."
Komentar
Posting Komentar