Pak Ahok yang terhormat,
Saya bukan warga Jakarta. Saya melayangkan surat ini untuk anda setelah terjadi keributan di mana-mana yang harus anda akui dengan jujur, bahwa anda-lah tokoh antagonis di balik fenomena ini.
Pak Ahok yang beragama,
Saya muslim, Pak. Tapi tenang saja, saya tidak akan mendemo anda atau merusak taman kota yang anda bangun, sebab saya tidak memiliki massa. Lagi pula, islam yang mengalir di nadi saya selalu mengedepankan kasih sayang, bukan islam yang gemar memprovokasi dan menjadi sumbu kompor untuk menghalangi langkah bapak duduk nyaman kembali di kursi empuk DKI satu. Tapi saya rasa, demo besar-besaran dari komunitas islam untuk bapak juga tidak perlu saya sesali. Sebab untuk menunjukkan bahwa islam punya kekuatan dan tidak bisa dipandang remeh sebelah mata.
Pak Ahok yang berpendidikan,
Negara yang kita cintai bersama-sama ini kebetulan penduduknya mayoritas beragama islam, Pak. Jadi anda tidak hanya harus tahu, tapi juga harus sadar. Andaikan waktu itu bapak berpidato dengan mengutip ayat Injil, saya rasa kegaduhan seperti ini tidak akan terjadi dan elektabilitas bapak mungkin akan baik-baik saja. Sebab anda seorang nasrani dan saya yakin anda kompeten dengan itu. Masalahnya, anda dengan pakaian dinas mengutip ayat Al-Qur'an dan membumbuinya dengan kata-kata yang keras seperti "Dibohongi". Entah saat mengucapkannya waktu itu anda sadar atau tidak, saya tidak tahu. Yang pasti, semenjak pidato anda itu tersebar dan menjadi viral, anda ramai-ramai disudutkan oleh beberapa kalangan, terutama kaum muslimin. Meski begitu, nilai tambahnya tetap ada saja, yakni gaung nama bapak lebih berkibar daripada dua pesaing bapak yang tidak begitu populer, Anies dan Agus.
Pak Ahok yang ceplas-ceplos,
Pak, Tuhan memberi kita satu mulut dan dua telinga agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Maksud saya, bapak harus lebih lihai menjaga mulut. Saya yakin bapak tahu sekali tentang adagium "Mulutmu harimaumu". Mungkin dulu bapak hanya tahu sekedar tahu, tapi saat ini bapak sudah merasakan sendiri betapa ganasnya harimau yang muncul dari kandang 'Mulut'. Saya masih bisa memaafkan ucapan bapak tentang surat Al Maidah, sebab saya masih sudi berprasangka baik kepada bapak, bahwa bapak tidak punya niatan buruk saat menyitir ayat itu sebagaimana klarifikasi bapak tempo hari. Tapi saya tidak bisa mentolerir mulut bapak yang tidak tahu diri, sehingga pengucapan itu terlontar dengan cara yang buruk dan benar-benar membuat situasi menjadi buruk, khususnya bagi bapak sendiri. Namun jika bapak benar-benar punya niatan menistakan ayat suci kami dalam keadaan sadar dan terkendali, maka saya tidak bisa lagi menaruh simpati terhadap bapak.
Pak Ahok yang berjiwa pemimpin,
Bapak kenal Gus Dur, kan? Beliau pernah bilang, "Maafkanlah musuh-musuhmu, tapi jangan lupakan kesalahannya". Saya dalam menyikapi peristiwa Al Maidah ini, lebih sreg berafiliasi terhadap ucapan Gus Dur itu. Bukan, bukannya saya menganggap bapak sebagai musuh. Tidak, sama sekali tidak. Saya hanya ingin bilang, bahwa saya memaafkan keteledoran bapak waktu itu tanpa pernah melupakannya. Maka, saya minta dengan sangat, bapak tidak lagi mengulangi peristiwa semacam ini. Sebab jika itu terjadi, kredibilitas bapak di mata saya akan hancur dan mau tidak mau saya harus menganggap bapak sebagai orang yang tidak tahu diri.
Pak Ahok yang baik hati,
Saya sangat menghargai ketulusan bapak untuk meminta maaf. Saya sangat menghargai itu, sebab bagi orang perfeksionis seperti bapak, meminta maaf mungkin adalah sesuatu yang tidak ringan. Dan jika nantinya bapak harus benar-benar dihukum akibat keteledoran ini, terimalah dengan gagah, hormati keputusan yang terlontar dari palu hakim dan sering-sering introspeksi di balik jeruji besi.
Pak Ahok yang berwibawa,
Terima kasih banyak, Pak. Akibat pernyataan fenomenal bin kontroversial bapak, saya dan umat muslim lainnya jadi tahu dan mau belajar lebih dalam tentang Surat Al Maidah ayat 51. Bahkan efek yang ditimbulkan oleh ucapan bapak lebih mujarab daripada khotbah dai kondang di atas mimbar yang menyeru kami untuk membuka dan belajar Al Qur'an.
Pak Ahok yang mencintai rakyat,
Silahkan bapak maju kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur incumbent. Berkampanyelah sewajarnya saja. Saya sangat berharap bapak tidak mengulangi hal seperti ini lagi kedepannya. Sebab, dampak dari peristiwa ini, tidak hanya menyisir lintas beda agama saja, Pak. Bahkan, internal kaum muslimin pun bergejolak. Ada yang masih mau memaafkan bapak dan ada juga yang langsung menghakimi bapak tanpa ampun. Kami merasa terkotak-kotak. Kami tidak mau peristiwa ini memicu permusuhan di antara kaum muslim sendiri. Kami sudah cukup lelah dengan keruwetan yang terjadi di mana-mana. Tidak usah ditambahi dengan hal-hal aneh semacam ini lagi.
Pak Ahok yang pemberani,
Bapak baik-baik di sana. Jaga kesehatan. Kalau Tuhan memberi bapak kesempatan sekali lagi untuk memimpin ibu kota, tanpa bisa ditolak oleh siapapun, bapak akan menjabat lagi. Kerja bapak sejauh ini sudah bagus. Ibu kota tampak cantik dan bersih. Penanganan banjir tidak selama dulu, meski banjir tetap saja melanda. Jangan sampai pahala sosial yang sudah bapak raih, lenyap begitu saja hanya karena bapak tidak pandai bersilat lidah. Guru saya pernah berpesan, "Kebenaran akan terlihat salah saat disampaikan dengan cara yang kurang indah". Niatan bapak mungkin baik, tapi dengan cara penyampaian yang kurang baik, kebaikan itu justru berbalik menjadi tidak baik.
Pak Ahok yang tegas,
Saya tidak mendukung bapak. Sudah saya katakan, KTP saya bukan KTP Ibu kota. Saya juga tidak mendukung Anies dan Agus, saingan bapak. Saya hanya mendukung kebaikan. Maka saya selalu meminta kepada Tuhan, siapapun yang menjadi pemenang di Pilkada nanti, semoga itulah yang terbaik. Sebab seperti kata bapak, Jakarta ini luas dan permasalahannya kompleks, tidak melulu Jakarta Selatan saja. Untuk itu dibutuhkan sosok pemimpin yang ekstra baik dan telaten demi menjaga dan merawat ibu kota. Sebab Jakarta adalah wajah Indonesia.
Sekian.
Komentar
Posting Komentar