Langsung ke konten utama

Hamba Materialis

"Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka menyembah (kepadaKu)."

    Pada hakikatnya, semua selain Tuhan adalah hamba. Bahkan batu-batu, air, api, langit, bulan, bumi, matahari dan bintang-bintang yang memenuhi galaksi-pun adalah hamba. Adapun firman Tuhan hanya membatasi Manusia dan Jin saja, itu karena mereka termasuk golongan yang dibebani kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan (baca: taklif). Maka sebenarnya, semesta-pun terus menerus menghambakan diri dan mengagungkan Tuhan dengan cara dan keunikannya masing-masing.

    Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel di medsos. Artikel itu mengisahkan seseorang yang sowan kepada Kiai Hamid Pasuruan. Ihwal sowannya bermaksud meminta solusi atas persoalan ekonomi yang menimpanya. Mbah Hamid menjawab dengan tegas, "Jamaah Shubuh. Maka kamu tidak akan pernah kekurangan."

    Jujur. Setelah membaca artikel itu, timbul niatan dalam diri saya untuk mengistiqomahkan sholat shubuh berjamaah di masjid. Tujuannya sama seperti tamu yang sowan ke Mbah Hamid, agar rejeki lancar dan mengucur deras tak henti-henti seperti mata air yang tak bisa mengering.

    Lalu saya terdiam merenung. Benarkah niatan saya yang berhasrat melakukan berjamaah sholat shubuh untuk mendapatkan rejeki melimpah? Kalau iya, berarti ibadah saya masih butuh pamrih. Kalau iya, pastilah saya hamba yang kurang ajar. Ibadah kok minta duit.

    Renungan saya melebar ke mana-mana. Banyak hadits dan dalil agama yang memancing kita untuk beribadah dengan iming-iming menggiurkan. Sedekah bisa melipatgandakan rejeki, baca surat Al Waqiah membuat kita tidak pernah merasakan kemiskinan, sholat dhuha membuat rejeki mengalir tak henti-henti. Dan yang paling menggiurkan, tentu saja balasan berupa surga yang lantainya berupa pualam dan mengalir sungai di bawahnya. Belum lagi ditambah bonus bidadari yang menggoda. Duh.

    Renungan panjang saya sampai pada sebuah pemahaman bahwa ternyata saya dan banyak manusia lainnya belum mampu menjadi hamba yang murni. Kita adalah hamba yang materialis. Seorang hamba yang benar-benar patuh dan ikhlas, tidak mungkin meminta imbalan atas ibadahnya.

    Dan saya yakin, Tuhan yang Maha Tau, sangat mengetahui jika hambanya begitu materialis. Maka Tuhan, melalui lisan nabiNya, mengiming-imingi kita dengan balasan yang luar biasa menggiurkan. Bukankah mengharapkan surga adalah materialis juga? Kalau tidak, biarkan saya bertanya pada kalian, tujuan utama kalian surga atau keridaan pemilik surga?

    Mau tidak mau, renungan saya menjamah ranah tasawuf. Saya teringat sebuah kisah melegenda tentang sufi wanita tersohor, Rabiah Al Adawiyah. Di ceritakan, saat orang-orang ramai berebut mengerumuni ka'bah, Rabiah diam saja, tidak ikut berebut. Sebab tujuan Rabiah bukan Ka'bah, melainkan Tuhan pemilik Ka'bah.

    Kalau kalian belum yakin jika kita masih seorang hamba materialis, silahkan berdoa di depan orang banyak, atau kalau kalian tidak berkenan, dengarlah doa yang disampaikan di depan orang banyak. Saat si pemimpin doa membaca doa semisal, "Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami, dosa kedua orang tua kami dan saudara-saudara kami...," mungkin kalian hanya akan mendengar suara "Amin" yang lirih dari orang-orang. Bandingkan saat pemimpin doa sampai pada sebuah doa, "Ya Tuhan, limpahkanlah kepada kami, Rejeki yang tak kunjung habis, Istri yang cantik jelita..," maka kalian akan mendengar sahut "Amin" menggelegar bak petir menyambar. Itu bukti kecil saja bahwa kita masih sampai pada level hamba materialis.

    Masih ingat fenomena sholat berjama'ah berhadiah mobil innova di Bengkulu beberapa tahun silam yang sempat viral? Luar biasa. Masjid penuh sesak tidak seperti biasanya. Ini fakta apalagi kalau bukan karena kita memang hamba materialis? Sudahlah, iyakan saja.

    Lantas apa yang kita lakukan? Haruskah kita berhenti beribadah? Tentu saja tidak. Justru kita harus terus menerus beribadah sampai kita benar-benar bersih dan terbebas dari hal-hal yang sifatnya materialis. "Sembahlah Tuhanmu hingga kalian yakin."

    Dibilang berat memang berat. Berat sekali malahan. Tapi apa salahnya kita terus mencoba dan berusaha?

    Yang terpenting adalah menanamkan tekad dalam diri untuk berusaha menjadi hamba yang lebih baik sembari tidak berhenti berdoa kepada Tuhan agar diberi kemampuan ekstra untuk bisa menjadi hamba Tuhan yang mukhlis. Amin.

    Dan saya rasa, saya harus benar-benar mulai mentradisikan sholat shubuh berjama'ah yang materialis itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...