Langsung ke konten utama

Refleksi Hari Santri

    "Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan Al Qur'an dan mengikuti sunnah Rasul serta teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya".

    Definisi santri oleh KH Hasani Nawawie Sidogiri itu kini terpampang sakral di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, menjadi pepiling hidup bagi setiap santri. Sedang definisi secara harfiah, santri berasal dari bahasa sanskerta, shastri, yang memiliki akar kata sama dengan sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan.

    Masih segar dalam ingatan, tahun lalu, tepatnya pada hari Kamis, 22 Oktober 2015, Presiden Jokowi meresmikan penetapan Hari Santri di hadapan sejumlah tokoh nasional dan santri di Masjid Istiqlal, Jakarta. Peresmian ini disambut euforia bahagia oleh kaum sarungan yang merasa lega setelah sekian lama, akhirnya keberadaan dan eksistensi mereka diakui oleh bangsa.

    Penetapan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober merujuk pada Resolusi Jihad yang dihasilkan dari keputusan konferensi ulama yang tergabung dalam Jam'iyah NU yang kala itu masih bernama HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama). Resolusi Jihad yang dipimpin Hadlratussyeikh KH Hasyim Asy'arie di Jalan Bubutan Surabaya itu meminta pemerintah Indonesia untuk bertindak nyata dan meladeni dengan tegas upaya licik penjajah dan kaki tangannya demi terwujudnya keamanan dan kemerdekaan bagi Indonesia.

    "Mengingat peran tokoh-tokoh santri seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan dan lainnya, untuk itu dengan seluruh pertimbangan, pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional," kata Presiden Jokowi saat itu.

    Bak gayung bersambut, para santri yang tersebar di seantero Nusantara ramai-ramai menggaungkan identitasnya. Mereka tak lagi malu mengaku diri sebagai seorang santri. Perayaan digelar di mana-mana. Kirab santri dipertontonkan sebagai wujud syukur atas penetapan hari santri.

    Euforia ini mungkin masih terasa wajar. Namun sejatinya, tugas berat menanti insan pesantren; bagaimana peran santri di masa kini bisa terwujud nyata bagi bangsa, agar peringatan ini tidak hanya berjalan di tempat tanpa sumbangsih nyata dari santri untuk Indonesia. Kalau mereka gagal, maka Hari Santri ini tak lebih dari sekedar prasasti belaka.

    Santri jaman dahulu berjuang dengan tenaga, mengangkat senjata melawan antek penjajah. Hari ini, penjajah riil telah lenyap. Namun bukan berarti persoalan telah usai. Bangsa kita sedang dijajah oleh orang-orangnya sendiri, dari dalam. Betapa moralitas kini menjadi hal yang sangat langka. Prostitusi dengan beragam kemasan berhasil menenggelamkan ribuan bibit generasi penerus bangsa. Belum lagi rongrongan ideologi yang seperti tak jenuh membenturkan permusuhan dan menimbulkan kotak-kotak sekat, tidak hanya lintas bangsa, namun sudah merambah umat islam sendiri. Ini menjadi tugas santri untuk membuktikan bahwasanya tidak ada pertentangan nilai antara agama dan negara. Al Qur'an dan Hadits bisa terpadu mesra dengan pancasila dan undang-undangnya, sebagaimana yang dulu para kiai dan santri perjuangkan.

    "Pencanangan Hari Santri pada hakekatnya adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara demokratis sekaligus religius. Sehingga mendorong kesadaran kolektif pentingnya mempertahankan religiusitas Indonesia yang moderat di tengah percaturan ideologi agama yang cenderung ekstrim," tegas Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

    Bangsa ini lahir dan besar dari tangan-tangan agamawan (baca: santri) dan negarawan. Maka jangan sampai mereka pula yang merobohkan.
Peran santri di masa lalu untuk Indonesia tidak perlu diragukan. Tidak melulu tentang resolusi jihad yang fenomenal. Jauh sebelumnya, para pahlawan berlatar belakang santri sudah lebih dulu merawat dan mengawal ibu pertiwi. Sebut saja Wali Songo, Pangeran Diponegoro hingga bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara yang ternyata juga seorang santri meski banyak orang yang tidak mengetahuinya. Belum lagi para santri yang jasanya tak terbaca oleh sejarah. Sumbangsih mereka tak ternilai bagi bangsa ini, baik materi ataupun non materi. Bahkan salah seorang santri pernah menduduki kursi RI satu meski hanya seumur jagung, yakni KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang tak lain adalah cucu Hadlratussyeikh KH Hasyim Asy'ari.

    Ditetapkannya Hari Santri harus menjadi refleksi diri bagi para santri khususnya dan seluruh lapisan masyarakat umumnya untuk melestarikan warisan nilai-nilai agung para pendahulu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ini berhasil, terwujudnya Indonesia sejahtera bukan isapan jempol belaka. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...