Sore hari itu normal. Berjalan wajar. Tidak ada hal luar biasa atau luar wajar atau luar normal. Aku duduk malas di kursi warung seberang jalan. Kopi kapal api item plus susu mengepul-epulkan asap. Menebar aroma sedap. Sebatang filter tersulut. Klop.
Seorang gadis, masih 6 tahun, menyeberang jalan tanpa tengok kanan kiri -- sambil berlari. Ia berhenti persis di depanku. Berhenti begitu saja. Mematung.
Matanya menyisir keseluruhanku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seperti detektor saja. Diamatinya tubuhku, satu satu. Sebelum akhirnya tatap penuh selidik itu berhenti di tangan kiriku yang jemarinya mengapit rokok.
"Om, orang Islam itu kalau merokok, berarti Kristen," telunjuknya menudingku seolah-olah aku maling ayam. Aku diam. Aku paham maksud kata-katanya.
Seolah tidak peduli, aku justru mendemonstrasikan cara menikmati rokok di hadapannya. Kuhisap dalam-dalam, kutahan sekian detik lalu melepaskan asap-asap tebal di luaran. "Siapa yang bilang?"
"Bu guru."
Nyes. Aku tersentak. Bukan karena apa, hanya saja aku kepikiran sebuah hal yang membuat bulu kudukku berdiri. Seperti kesetrum.
"Orang Islam itu yang penting sholat...," tanganku mengacak-acak kecil rambut panjangnya.
Keponakan sepupuku ini memang kritis. Secara umum ia cerdas. Sering ceplas-ceplos melontarkan kata-kata pedas. Dan juga, sedikit hiperaktif.
Tapi bukan karena kata-kata pedasnya itu yang membuat bulu kudukku tersengat. Bukan ceplas-ceplosnya yang membuat leherku seperti dicekik kawat. Ada sesuatu yang ganjil dari kata-katanya. Ada sesuatu yang keliru dari jawabannya. Kekeliruan yang biasa tapi begitu mengerikan. Kekeliruan yang menohok kesadaranku dari lelap berkepanjangan.
Setelah kusogok dengan beberapa butir permen, ia menyingkir-pulang dari hadapanku. Masih sama seperti cara ia datang, menerabas jalan dengan cepat tanpa merasa perlu menoleh kanan kiri terlebih dahulu. Sebelum ia sempat lenyap seutuhnya dari pandanganku, mataku menangkap emblem sekolah di seragam yang memang masih dikenakannya.
Ia masih SD kelas satu. Sekolahnya ada embel-embel Islam ditambah Terpadu. Pikirannya sudah seperti itu. Bu Gurunya pun begitu.
Saat keponakanku mengucapkan "Bu guru", aku merumus-rumuskan sebuah hal kecil yang tidak bisa dianggap sepele. Bu Guru bilang, orang Islam yang merokok sama dengan orang Kristen. Aku paham sekali, ponakanku yang satu ini belum pandai berdusta.
Inti kejanggalan ada di 'Orang Kristen'.
Perhatikan kalimatnya sekali lagi. Maka kita akan menemukan bentuk diskriminasi. Kalimat itu secara bahasa anak 6 tahun sebenarnya berbunyi begini, "Orang Islam yang merokok itu jelek, tidak terpuji." Dan Bu gurunya-lah yang berperan merubah kalimatnya menjadi, "Orang Islam yang merokok itu sama dengan orang Kristen."
Orang Kristen sama dengan jelek, buruk dan tidak terpuji -- juga menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin serta membunuhmu.
Miris. Betapa ternyata sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk membenci orang yang berbeda agama dengan kita. Sekat-sekat itu lalu ada. Kotak-kotak itu lalu benar-benar menjadi jarak. Dan bisa dibayangkan, betapa kokohnya pemahaman itu. Sebab sedari kecil sudah menyusupi dan mau tidak mau telah mendarah daging. Kebencian itu sudah mengakar. Kebencian itu sudah mengalir jadi darah.
Bu guru yang baik mestinya memberi pemahaman yang baik. Mengajarkan kebaikan, menebar kasih sayang kepada sesama manusia. Tidak membeda-bedakan. Tidak mendiskriminasikan. Tidak mengkotak-sekatkan.
Kita hidup di Indonesia yang sangat menghargai keberagaman dan saling menghormati perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika. Cukuplah kasih sayang menjadi alasan untuk menerima keberagaman yang berbeda rupa.
Aku hanya tidak ingin melihat keponakanku tumbuh besar sebagai pembenci sesama manusia. Aku lebih khawatir bahwa pemahaman diskriminatif ini tidak hanya disisipkan kepada keponakanku saja. Teman kelasnya, teman sekolahnya, siswa sekolah lainnya. Spektrum kebencian ini mau tidak mau meluas sampai penjuru nusantara. Ya Allah.
Mereka -- orang Kristen -- memang minoritas. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menindas. Orang Islam marah melihat bagaimana saudara-saudaranya, muslim Rohingya, diusir dengan keji tanpa ada rasa manusiawi. Apa kita mau melakukan hal serupa terhadap orang Kristen di Indonesia? Coba tanyakan kepada muslim Rohingya, bolehkah kita, muslim Indonesia, menindas orang Kristen yang minoritas di Indonesia? Aku yakin mereka tidak akan setuju. Sebab mereka sudah merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi minoritas yang dipenggal sisi manusiawinya, yang diinjak-injak kebebasan beragamanya, yang ditendang harga dirinya, yang terancam raga jiwanya.
Peristiwa ini sampai membuat diriku punya niatan yang mungkin terdengar agak aneh; kelak, anakku akan aku sekolahkan di Sekolah Kristen saja. Agar ia terbiasa berbeda, agar ia terbiasa memaklumi perbedaan, agar ia terbiasa mengasihi sesama manusia, agar ia tidak tumbuh menjadi penindas bagi kaum minoritas. Kebetulan dekat rumahku di Banyuwangi, ada Sekolah Kristen. Mungkin anakku nanti bisa bersekolah di sana. Itung-itung sebagai balas budi. Sebab lapangan basket sekolah itu menjadi saksi bisu keceriaan masa kecilku dulu. Lapangan itu tempat aku dan beberapa kawan bermain sepak bola dengan gembira tanpa pernah terbersit kebencian kepada mereka, orang-orang Kristen yang mengelolanya.
"Sayangilah mereka yang ada di Bumi. Maka penghuni langit akan menyayangimu juga."
Komentar
Posting Komentar