Aku hampir menyangka Tuhanku adalah kesunyian. Saat segala yang kuucapkan tak pernah sudi didengar orang, kesunyian justru betah berlama-lama mendengar aku mengoceh binal. Saat segala yang kuperbuat tak lagi membekaskan percaya di jiwa manusia, kesunyian, dengan tulus tanpa babibu percaya begitu saja.
Alangkah baiknya kesunyian...
Ia tak menolak kujadikan tempat melontar sumpah serapah, nafsu kebinatangan, celotehan sampah sampai noda-dosa yang menggunung. Ia diam saja. Menerimaku apa adanya. Siapa lagi yang sudi menjadi tempat pembuangan selain kesunyian?
Betapa sabarnya kesunyian...
Caci maki kulepas tak beraturan, intrik-intrik kutebar tak bertuan, birahi-birahi kusebar tak karuan, ia tak bergeming. Seolah membiarkanku meluapkan segala kotor meski ia tak mau aku jatuh tersungkur menjadi pesakitan.
Betapa eloknya kesunyian...
Saat di luar sana, orang beramai-ramai mengasah lidah demi mahir menjilat, menyuarakan suara-suara kebenaran beraroma kepalsuan, mencibir sana, mencibir sini, menggaung-agungkan hedonisme fatamorgana, ia lebih memilih diam. Padahal aku tahu, tahu setahu-tahunya, ia memiliki mulut yang jikalau ia mau, dengan suaranya, runtuhlah keangkuhan semeru.
Betapa romantisnya kesunyian...
Ketika jiwa-jiwa yang teraniaya diusir dari istana penguasa, kaki-kaki dekil peminta-minta dilarang berparas rupa, datanglah kesunyian dengan sejuk menyapa. Bahkan saat pipiku tak lagi sudi dialiri air mata kecewa, kesunyian rela menjadi pipi dan membiarkannya mengalir dengan mesra.
Bergegaslah keluar!
Bergumul dengan kesunyian.
Aku mulai yakin bahwa ia telinga Tuhan.
Depok, 26 Oktober 2016.
Komentar
Posting Komentar