Pagi ini sebenarnya berjalan wajar seperti sebelum-sebelumnya. Mentari masih terbit dari timur, ladang sawah dijejali petani, jalanan mulai dipenuhi lalu lalang kendaran bermotor, kicau burung bersahutan dari balik daun pepohonan. Sungguh, ini rutinitas semesta yang sama seperti yang sudah-sudah.
Ketidakwajaran hanya terjadi di rumahku. Hari ini, tepat seminggu lalu, aku baru merampungkan tiga tahun belajarku di bangku SMA. Jauh-jauh hari sebelumnya, kami -aku dan keluarga- sepakat bahwa aku, si bungsu, akan melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi bonafid Eropa. Ini sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Sebab diantara 9 anak bapak, hanya diriku yang mendapat kesempatan untuk kuliah di luar negeri. Aku masih ingat betul, saat bapak menepuk pundakku dengan bangga seraya berkata, “Kamu akan jadi anak bapak yang paling top.”
Ada yang bilang, Jangan bermimpi terlalu tinggi. Sebab jika tak kesampaian, sakitnya tak terperi. Maka bermimpilah sewajarnya saja. Itu terjadi padaku. Tepatnya tiga hari yang lalu, tuah kalimat itu benar-benar menghujamku. Dalam hidup ini, pembunuh dan pemberi harapan seringkali dilakukan oleh orang yang sama. Bukankah yang meniup lilin adalah orang yang menyalakannya juga?
Selepas Isya, tiga hari yang lalu, bapak mengumpulkan seluruh penghuni rumah di ruang keluarga. Tanpa pertimbangan dan basa-basi, bapak merubah kesepakatan yang dulu dibuatnya sendiri. Bapak ingin anak bungsunya masuk pesantren. Malam itu aku hanya pasrah mengiyakan keinginan bapak. Bapakku, seperti kebanyakan orang tua laki-laki, sangat tidak suka jika ada penghuni rumah yang berani membantah. Malam itu juga, ia berkata kalau tiga hari lagi aku akan dikirim ke pesantren. Hal itulah yang membuat pagi ini menjadi tidak wajar.
"Pakaianmu sudah dikemasi semua?" wajah bapak muncul dari balik pintu. Aku membalasnya dengan anggukan kecil.
Bapakku orangnya keras kepala dan sangat hemat dalam bertutur kata. Apapun yang diinginkannya, sekuat tenaga akan diupayakan. Ia sangat kuat memegang prinsip. Aku sudah sering merepotkan bapak. Sebagai anak bungsu, apa yang aku minta selalu bapak berikan. Bapak saat ini sudah kepala tujuh. Aku pikir, sekali ini tidak ada salahnya juga kalau aku nurut sama kemauan bapak. Ya, walaupun sebenarnya aku masih memendam hasrat besar untuk bisa kuliah di Eropa.
Bapakku bukan ustadz ataupun tokoh masyarakat. Setahuku bapak juga tidak punya kenalan orang berpangkat tinggi di bidang agama. Relasi bapak justru didominasi orang umum. Tamu-tamu bapak kebanyakan dari kalangan pejabat. Aku segera ganjil, bapak kesambet apa kok tiba-tiba memondokkan anak bungsunya ke pesantren?
Hari itu berjalan cepat. Sore menjelang Maghrib, aku sudah tiba di pesantren. Aku diantar bapak dan kang Mamat, sopir keluarga kami. Ini peristiwa langka. Sepanjang karirnya sebagai seorang ayah, bapak tidak pernah mengantar anaknya ke sekolah atau tempat kegiatan belajar lainnya. Aku merasa diistimewakan. Lagi-lagi, si bungsu jadi pengecualian.
Kami langsung menuju kantor pesantren, merampungkan administrasi. Lepas dari kantor, bapak mengajakku menuju sebuah bangunan yang berbeda dari model dan bentuk puluhan bangunan lainnya. Aku mengira, pastilah ini rumah kiainya. Di sepanjang jalan dari kantor ke rumah kiai, ratusan santri berseliweran membawa kitab. Pakaian mereka serba putih. Aku segera membayangkan aksi para teroris yang meneror negara ini beberapa tahun silam. Semenjak aku tahu bahwa para teroris itu orang agamis, aku jadi punya pandangan negatif terhadap pesantren. Media masa juga pernah memberitakan sebuah kamp penggemblengan teroris berkedok pesantren. Secara spontan, alam pikirku membentuk gagasan buruk terhadap pesantren.
Bapak membekali anak-anaknya dengan jiwa nasionalisme tinggi. Ia menanamkan kecintaan terhadap bangsa ini sedari dini. Jika anaknya bisa menghapal lagu kebangsaan, bapak tidak segan memberi kami uang jajan lebih. Satu pesan bapak yang sampai saat ini masih aku ingat lekat-lekat, “Jangan pernah fanatik terhadap apapun, kecuali kepada Indonesia.” Bapak melontarkan kalimat itu dengan penuh semangat dan bertenaga. Semua anak bapak sangat mencintai Indonesia. Tanpa diperintah, kebencian terhadap teroris yang berusaha menodai kedamaian bangsa ini terbentuk secara suka rela begitu saja.
Hari ini bapak membawaku ke pesantren dan aku masih belum menemukan alasan logis kenapa bapak melakukannya. Atau jangan-jangan, bapak sudah mulai ikut-ikutan jadi teroris? Entahlah.
Aku berdiri beberapa langkah di belakang bapak saat ia tiba-tiba mempercepat langkah kaki tuanya mengejar sesosok tua berpakaian putih yang muncul dari balik daun pintu. Dengan sedikit merunduk, bapak meraih tangan sesosok tua berpakain putih nan berwibawa itu dan mencium pundak tangannya dengan takzim. Aku segera tahu bahwa orang itu adalah kiai pesantren ini. Lagi-lagi aku disuguhi pemandangan langka. Asal tahu saja, meski tamu-tamu bapak para pesohor, tapi aku tidak pernah menyaksikan bapak mencium tangan mereka. Justru tamu bapaklah yang sering kali mencium pundak tangannya.
Pak kiai tampak sedikit terkejut begitu memandang wajah bapak. Mereka berdua berbicara ringan sambil sesekali tersenyum kecil. Aku seperti melihat pertemuan kembali dua orang sahabat yang lama tidak bersua.
“Mid, sini,” bapak melambaikan tangan. Menyuruhku mendekat. Bapak memberi kode agar aku menyalami kiai. Segara kutiru cara bapak bersalaman tadi.
“Oh, jadi ini anakmu, Rus. Alhamdulillah, Barokallah. Iya sudah nanti biar si Shobirin yang nganter kamu ke kamar,” pak kiai menunjuk pemuda yang berdiri di belakangnya.
Sejurus kemudian pak kiai -diikuti pemuda bernama Shobirin yang terus membuntuti beliau- meninggalkan kami berdua setelah bapak pamit undur diri dari hadapan kiai.
“Mid, bapak tahu kamu masih ingin kuliah di Eropa. Tapi bapak harap kamu tinggal dulu di Pesantren Kyai Marzuki. Seminggu lagi bapak akan datang kesini. Kalau kamu tidak betah disini, nanti ikut bapak pulang. Kalau mau tetap disini, bapak akan bersyukur sekali,” bapak menepuk halus pundakku.
Mobil yang ditumpang bapak segera meluncur meninggalkan aku. Aku hanya diam terpaku menyaksikan deru mobil yang semakin mengecil sebelum hilang di tikungan jalan. Kini aku benar-benar sendiri. Di tempat asing yang bahkan sangat aku benci.
Kang Shobirin mengantarku ke kamar. Kamarnya sangat kecil, ukuran 4X4 meter dan dihuni 15 orang. Kuota untuk tidur maksimal 6 orang dengan badan berhimpitan. Tidak ada kasur. Ada bantal tapi beberapa saja. Itupun sebenarnya bukan bantal, melainkan tumpukan pakaian kotor terbungkus sarung yang diikat ujungnya. Anehnya, mereka semua bisa tertidur pulas. Disini berlaku hukum tak tertulis, siapa cepat dia dapat, angkat pantat hilang tempat. Lima belas orang penghuni kamar tidak mungkin seluruhnya tidur di dalam. Sembilan orang yang kalah cepat mau tidak mau musti tidur di luar.
Malam pertamaku di pesantren jauh dari kesan menyenangkan, meski aku sudah mendapat kuota tidur di dalam kamar. Berjam-jam aku berusaha menutup mata, tapi kantuk tak juga tiba. Malah bayangan keluargaku yang silih berganti bermunculan. Rasanya aku tidak betah berlama-lama disini. Pak, lekaslah kemari. Anak bungsumu ini susah tidur kalau hidup begini.
Enam hari berlalu cepat.
Ini hari keenamku di pesantren. Aku mulai beradaptasi dengan baik. Setidaknya aku sudah bisa tidur dengan pulas di sini. Aku juga mulai mengenal banyak orang dan berkawan dengan mereka. Di pesantren ini, aku belajar banyak karakter seseorang dari latar belakang mereka yang berbeda-beda. Orang Madura yang berapi-api, orang Solo yang santun, orang Surabaya yang blak-blakan dan banyak lagi. Tapi tetap saja aku tidak betah. Maka siang itu aku berkemas. Seluruh pakaian sudah kurapikan di dalam tas. Besok bapak datang, aku ikut pulang. Kontrakku usai.
Sebagai orang Indonesia yang tumbuh dalam keluarga dengan jiwa nasionalis tinggi, aku masih kecewa dengan Pesantren. Meski anggapan bahwa Pesantren sama dengan teroris sudah mulai terkikis, aku tetap kurang respek terhadap Pesantren. Seharusnya sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari budaya lokal dan berdiri di atas tanah Indonesia, Pesantren musti punya kadar cinta yang tinggi terhadap bangsa ini. Nyatanya, orang-orang Pesantren tidak mempunyai peranan masif terhadap keberlangsungan Nusantara. Bagiku, Pesantren tak lebih dari sekedar pendidikan keagamaan biasa.
Malam ini akan menjadi malam terakhirku di pesantren. Selepas mengikuti pengajian Ta’lim Muta’allim di masjid, aku bergegas menuju kamar demi memastikan jatah tempat tidur. Aku segera merebahkan tubuh di lantai kamar, berharap bisa tidur cepat.
“Assalaamu’alaikum,” sesorang muncul dari balik pintu, “Hamid ada?”
“Eh, iya kang. Ada apa ya?” kantuk yang mulai menyergap mendadak lenyap begitu ada yang menyebut namaku. Ternyata kang Shobirin, khodam Kiai Marzuki. Ada apa gerangan kang Shobirin mencariku? Ah, mungkin bapak datang lebih cepat dari perjanjian awal.
“Anu, Mid. Kamu dipanggil Kiai Marzuki.”
Aku setengah terkejut, “Sekarang, kang?”
“Iya. Cepet, Mid. Kiai sudah nunggu kamu di ndalem.”
Aku segera menyambar baju koko dan peci. Mengikuti langkah kang Shobirin yang tampak terburu-buru. Pikiranku melayang kemana-mana. Angin apa yang membuat Kiai Marzuki memanggilku tiba-tiba? Aku juga tidak merasa melanggar peraturan Pesantren. Tapi tidak mungkin juga Kiai memanggilku tanpa sebab. Persaanku menggumam, menerka apa yang akan Kiai Marzuki inginkan dariku.
“Kang, kenapa Kiai Marzuki tiba-tiba manggil saya?” pertanyaanku sempat menghentikan langkah kang Shobirin. Aku memberanikan diri bertanya setelah gagal menerka maksud Kiai Marzuki memanggilku malam ini.
“Wah, aku juga nggak tau, Mid. Pokoknya Kiai nyuruh aku manggil anaknya pak Ruslan yang seminggu lalu kesini. Nama bapakmu pak Ruslan to?”
“Iya, kang.”
Kang Shobirin membuka pintundalem pelan-pelan. Tanpa berbicara, dia memberi isyarat agar aku terus membuntutinya. Ini pertama kalinya aku masuk ke ndalem. Ruang tamunya luas. Meja kayu jati panjang berjejer rapi melintang. Di dinding, tampak beberapa foto Kiai Marzuki. Salah satunya foto beliau dengan Presiden kedua Indonesia.
Langkah kang Shobirin berhenti di pintu besar yang terhubung dengan ruang di dalamnya, “Assalaamu’alaikum,” kang Shobirin melempar salam lirih.
“Wa’alaikum salam warohmatullah,” Kiai Marzuki membuka pintu kamarnya, “Ayo, masuk ke dalam.”
Kang Shobirin mengubah cara berjalannya. Kali ini ia merangkak dengan menyeret lututnya mendekati Kiai Marzuki. Aku spontan meniru gaya kang Shobirin.
Kiai Marzuki duduk di kursi goyang. Aku melirik kang Shobirin. Ia duduk menekuk lutut ke belakang sembari mendudukkan kepalanya dalam-dalam, sikap patuh sempurna. Aku juga menekuk lutut ke belakang, tapi kepalaku tidak menunduk. Aku memberanikan diri menatap kiai.
Kiai Marzuki memiliki wajah teduh. Sekali pandang, orang yang melihatnya langsung jatuh cinta. Gurat di wajahnya menunjukkan bahwa beliau juga memiliki pribadi tegas. Meski tubuhnya mulai menua, tapi untuk ukuran orang seumuran beliau, fisik beliau luar biasa bagus. Usianya mungkin seumuran bapak lebih sedikit, tapi tubuhnya masih gagah dan tegap. Uban di rambutnya menambah kharisma dan wibawa beliau.
“Oh iya, namamu siapa?” Kiai Marzuki memulai percakapan.
“Hamid, kiai. Abdul Hamid.”
“Hm...Abdul Hamid bin Ahmad Ruslan. Bapakmu pernah cerita kalau dia pernah mondok di Pesantren?” aku kali ini benar-benar dibuat terkejut oleh pertanyaan Kiai Marzuki. Seumur hidup, aku belum pernah mendengar bapak bercerita kalau ia pernahnyantri di Pesantren. Jangankan cerita, bicara mengenai pesantren saja tidak pernah.
Aku menggeleng.
“Dia benar-benar keras kepala,” Kiai Marzuki tersenyum, “Bapakmu memang keras kepala, Mid. Dulu, Ruslan itu nyantri di Pesantren ini. Saat itu pengasuhnya masih bapak saya, Kiai Rahmatullah. Meskipun keras kepala, Ruslan itu orangnya cerdas dan pandai bergaul. Temannya banyak. Sebenarnya bapakmu itu dua tahun di bawah saya. Tapi karena dia dulu ditugasi nyapu ndalem oleh Kiai Rahmatullah, Saya jadi akrab dengan Ruslan. Ruslan dulu miskin, nggak punya apa-apa. Tapi karena tekad dan ketekunannya di pondok, Ruslan sekarang jadi orang. Pejabat banyak yang hormat sama dia. Itu namanya barokah. Ruslan itu nggak aneh-aneh orangnya. Mondok yang dicari cuma ridhlo dari gurunya. Itu aja.”
Aku mendengarkan dawuh KiaiMarzuki dengan khidmat. Bagiku ini menarik sekali. Sebab bapak memang tidak pernah bercerita kalau ia pernah mondok di pesantren. Bapak hanya pernah cerita kalau dulunya ia hidup susah. Untuk makan besok saja, bapak harus bekerja mati-matian.
“Santri dulu itu hidupnya prihatin,” Kiai Marzuki melanjutkan cerita, “Santri dulu mau mengaji saja diawasi Belanda. Pesantren ini sempat dibakar sama penjajah. Kiai Rahmatullah bahkan pernah diculik berminggu-minggu sebelum pertolongan Allah membawa beliau kembali ke Pesantren dan bisa mengaji lagi dengan para santri. Ruslan itu kalau lihat Belanda langsung naik pitam mau menghajar. Bapakmu itu pemberani orangnya.”
Hatiku terenyuh membayangkan perjuangan hidup bapak.
“Santri itu jasanya luar biasa penting bagi Indonesia,” Kiai Marzuki meninggikan suaranya. Aku tersentak. Kalimat beliau seoalah sengaja ditujukan kepadaku. Bagaimana Kiai tahu jika aku masih meragukan peran Santri dan Pesantren bagi bangsa ini?
“Di dusun Tegalrejo, Yogyakarta, ada seorang santri bernama Abdul Hamid. Ia mondok di Ponorogo. Mengaji kepada KH. Hasan Besari dan Kiai lain seperti Kiai Taftazani Kertosuro, KH. Baidlowi Bagelan dan KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Magelang. Abdul Hamid ini putra Sultan Hamengkubuwono III dari selirnya asal Pacitan. Ia sangat gagah melawan penjajah dan memimpin Perang Diponegoro 1825-1830. Orang sekarang mengenal Abdul Hamid sebagai Pangeran Diponegoro. Bapakmu kasih nama Abdul Hamid agar kamu tertular kebaikan Pangeran Diponegoro. Ada juga Suwardi Suryaningrat, santrinya Kiai Sulaiman Zainuddin Kalasan Prambanan. Ia sekarang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro dengan Tut Wuri Handayaninya yang terkenal dan diangkat sebagai bapak pendidikan nasional. Di Surabaya, perlawanan arek-arek Suroboyo yang berhasil membuat gentar Inggris diawali oleh Resolusi Jihad yang digagas Mbah Hasyim Asy’ari untuk kemudian digelorakan oleh Bung Tomo. Masih banyak santri-santri lain yang berperan penting bagi Negara ini. Sayang sejarah tidak menulisnya sebagai santri. Tidak perlu ragu dengan nasionalisme para Santri. Indonesia lahir dari tangan orang Pesantren. Pesantren adalah Indonesia kecil.”
Aku menundukkan kepala dalam-dalam dihadapan Kiai. Aku malu terhadap pikiran dan keraguanku terhadap pesantren. Malam ini, aku ditelanjangi habis oleh Kiai Marzuki.
Bapak benar-benar menjemputku keesokan harinya.
“Tetap disini, apa pulang ke rumah, Mid?” tanya bapak.
“Saya tetap disini, pak. Saya bangga dan bahagia menjadi santri.”
Bapak tersenyum.
Komentar
Posting Komentar