Langsung ke konten utama

Dosa Yang Diberkahi



Lau kuntu a’lamu anni maa uwaqqiruhu
Katamtu sirran badaa lii minhu bilkatami

Oleh Imam Al-Bushiri, uban alias rambut yang memutih diibaratkan sebagai tamu dalam magnum opusnya, Burdah. Layaknya seorang tamu, terhadap uban, kita harus memperlakukan dengan istimewa di saat kedatangannya. Meski tentu saja berbeda dengan cara perlakuan terhadap tamu yang berupa manusia, tamu uban ini juga musti diagungkan. Sebab bagaimanapun, tamu adalah raja. Kalau kita gagal mengagungkan tamu uban ini, yang terjadi adalah kita akan menutupi kegagalan itu dengan semir hitam. Dan itu berarti sebuah penyesalan.

Uban ini adalah tamu yang kedatangannya membawa peringatan bahwa kuota hidup kita di dunia sudah hampir usai. Dengan kemunculan uban, kita musti sering-sering mengintrospeksi diri. Menambal dosa-dosa di masa lalu dengan menggaet sebanyak mungkin amal di masa depan.

Cak Kus—Kyai Kuswaidi Syafiie—mengatakan bahwa kalau seseorang berbuat dosa, ada dua nasib yang menantinya. Jika beruntung, ia akan menyesal sebelum ajal tiba. Jika tidak beruntung, ia akan menyesali dosa-dosanya di saat penyesalannya sudah tidak lagi berguna dan sia-sia. Dalam konteks Islam, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran, bahwa banyak orang yang terlambat menyesal. Orang-orang di akhirat kelak akan menyesali perbuatan buruk yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka ingin kembali lagi ke dunia untuk beramal sholih, tapi semuanya sudah tidak mungkin. Akhirat adalah alam panen, kita hanya menuai apa yang kita tanam selama di dunia, kita tidak lagi bercocok tanam amal perbuatan di sana.

Dalam eksplorasi yang lebih mendalam, Cak Kus menyatakan bahwa ada dosa yang diberkahi. Dosa jenis ini tidaklah sama dengan dosa pada umumnya. Dosa ini, kata Cak Kus, umumnya terjadi karena memang sengaja dituntun dan diarahkan langsung oleh Allah Swt. Salah satu ciri utama dosa jenis ini adalah fakta bahwa dosa ini mampu menjadi titik balik seseorang untuk berlari kencang menjarah segala kebaikan. Pintu gerbang dosa ini adalah penyesalan mendalam.

Banyak kisah para pendosa yang tiba-tiba berbalik sikap 180 derajat menjadi hamba Tuhan yang amat taat pasca melakukan dosa yang diberkahi ini. Penyesalan-penyesalan panjang terhadap dosa yang dilakukannya mampu mengubah kondisi spiritual rohaninya secara total dan komprehensif. Dampak baiknya, ia akan berhenti dan enggan melakukan kemaksiatan lagi.

Meski begitu, Cak Kus mewanti-wanti agar di antara kita tidak ada yang sengaja melakukan dosa tertentu sembari berniat untuk mencari dosa yang diberkahi ini. Kesengajaan untuk berbuat dosa tidak akan menimbulkan penyesalan, yang ada justru si pendosa akan menjadi lebih angkuh dan bangga terhadap kemaksiatan yang dilakukan. Dikhawatirkan, hal ini akan mengundang laknat. Naudzubillah. Maka termasuk juga diantara ciri dosa yang diberkahi ini adalah dosa yang tidak terencana atau tidak diniati sebelumnya.

Contoh paling sesuai dengan dosa yang diberkahi ini adalah ‘dosa’ yang dilakukan Nabi Adam As saat menuruti bujuk rayu iblis untuk memakan buah khuldi yang membuat beliau diusir ke bumi. Sengaja saya memberi tanda kutip untuk memberi label yang berbeda dengan pengertian dosa pada umumnya. Sebab banyak pendapat ulama soal dosa Nabi Adam As ini. Beberapa pendapat menyatakan bahwa apa yang dilakukan Nabi Adam As bukanlah sebuah dosa. Karena  sebagai seorang nabi, Adam As tentu memiliki sifat ma’shum, terjaga dari dosa. Sehingga menganggap perbuatan Nabi Adam As saat memakan buah khuldi sebagai sebuah dosa akan menciderai kema’shumannya. Maka lebih sopan jika saya beri tanda kutip terhadap ‘dosa’ yang dilakukan oleh Nabi Adam As ini sebagai penanda bahwa dosa yang beliau lakukan adalah termasuk ‘dosa’ yang diberkahi.

Konon, begitu diturunkan ke bumi, Nabi Adam As tak henti-hentinya menangis karena takut kepada Allah Swt akibat ‘kesalahan’ yang telah beliau perbuat. Beliau menginsyafi—dengan sebenar-benarnya insyaf—dosanya dengan penyesalan yang amat mendalam. Bahkan dikisahkan bahwa Nabi Adam As menangis selama 200 tahun. Dari tangisan penyesalannya itu, terbentuk sebuah danau di lembah Sarondiq, India.

Jika menjadi tua itu keniscayaan, dan dewasa adalah pilihan—saya sering iseng menambahi bahwa kelihatan awet muda adalah hasil perawatan—maka penyesalan adalah kunci emas untuk menjadi dewasa secara rohani dan mental spiritual. Meski setiap orang tidak luput dari dosa, tentu masing-masing dari mereka memiliki cara yang berbeda dalam menyikapinya. Orang yang secara rohani masih kekanak-kanakan, akan menyikapi biasa saja terhadap dosa yang telah diukirnya. Bahkan cenderung tidak sungkan dan malu untuk mengulanginya kembali. Sedangkan mereka yang sudah dewasa dan matang secara rohani, tentu akan menyikapinya dengan segera menambal dosa-dosanya dengan penyesalan, taubat, dan segera menggantinya dengan amal baik. Menurut Cak Kus, para sufi setiap menjelang tidur memiliki kebiasaan untuk mencatat dosa-dosa yang dilakukannya sepanjang hari dan menyesalinya. Hal ini mereka lakukan juga sebagai alarm peringatan bagi diri mereka sendiri agar tidak jatuh ke dalam kubangan dosa yang sama di hari-hari selanjutnya.

Lebih lanjut, Cak Kus menyitir pernyataan Ibnu ‘Arabi dalam Fushushul Hikam bahwa Firaun meninggal sebagai muslim (baca: orang yang mengakui keesaan Allah Swt). Sebab sesaat sebelum kematiannya saat tenggelam, Firaun sempat bersyahadat mengakui Tuhan Musa dan Harun yang tidak lain adalah Allah Swt. Adapun pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa Firaun tetap kufur adalah karena mereka melihat syahadatnya Firaun sebagai sebuah keterpaksaan. Kalau benar bahwa Firaun mengakui keesaan Allah Swt, maka Firaun yang terkenal super angkuh dan sombong minta ampun inipun berarti telah menyesali dosa-dosa yang diperbuatnya.

Jauh sebelum mendengar pernyataan Ibnu ‘Arabi yang dibahasakan oleh Cak Kus, saya sempat merenungkan soal betapa luas rahmat Allah Swt, betapa agung kasih sayang-Nya, meliputi semesta dosa. Dalam perenungan itu, sempat terbersit dalam pikiran saya bahwa Firaun pastilah kelak bisa masuk surga. Sebab saya pikir, betapapun besarnya dosa Firaun, pastilah bukan apa-apa jika dibandingkan dengan ke-mahabesar-an rahmat dan ampunan-Nya. Namun apa yang terbersit dalam benak itu segera saya buang jauh-jauh, sebab Al-Qur’an memberinya cap sebagai seorang pembangkang. Maka apakah Firaun menyesal dan kelak akan masuk surga? Wallahu a’lam. Jawaban yang paling benar hanyalah milik Allah Swt semata. Pastinya, mengandalkan keluasan rahmat Allah Swt dan menggunakannya sebagai dalih untuk melegitimasi dosa-dosa yang kita perbuat adalah sebuah keteledoran besar yang amat berbahaya.

Urgensi dari pernyataan Ibnu ‘Arabi soal penyesalan Firaun adalah ibrah bahwa hamba sekelas Firaun yang notabene sudah masyhur diberi label sebagai pembangkang hebat saja masih mau menyesal—terlepas dari benar tidaknya. Maka pertanyaannya sekarang adalah apakah kita yang sejak lahir sudah menjadi muslim—meski hanya muslim warisan—tetap angkuh dan enggan untuk menyesali dosa-dosa yang kita perbuat? Padahal rahmat Allah Swt amat sangat maha luas lagi dalam. Atau jangan-jangan kita justru lebih hebat dari Firaun dalam hal membangkang kepada Allah Swt? Semoga kita semua mati dalam keadaan husnul khatimah.

Cak Kus menutup kajian malam itu dengan pernyataannya, bahwa tidak mungkin seseorang dapat menembus langit, kecuali dilahirkan dua kali. Satu kelahiran dari rahim ibu. Kedua, kelahiran rohani. Para sufi setiap hari mampu mengulangi kelahiran rohani ini. Dan kelahiran ini mampu dibidani melalui penyesan-penyesalan mendalam. Inilah yang oleh Gus Miek disebut dalam doanya sebagai wiladah tsaniyah alias kelahiran kedua.

Ya Allah, semangatkanlah aku dengan bisa mati pertama (kematian hawa nafsu) dan kelahiran kedua (tanpa hawa nafsu). Dan hidupkanlah aku dengan kehidupan yang kekal (tanpa nafsu yang membahayakan) di dalam dunia yang fana ini. (Doa Gus Miek).

 .


*) Catatan ini saya buat sebagai oleh-oleh dari acara “Senandung Cinta; Qasidah dan Kajian Burdah Imam Bushiri” yang diampu oleh Kyai Kuswaidi Syafiie setiap hari Rabu pukul 20.00 WIB di Kafe Basabasi, Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...