Burdah 16: Tentang Nafsu*
Man
li biroddi jimahin min ghowayatiha
Kama
yuroddu jimahulkhoyli billujumi
“Secara logika, mana mungkin sesuatu
yang partikular bisa mengalahkan sesuatu yang sifatnya universal?” tanya Cak
Kus.
Pertanyaan yang sengaja dilontarkan
agar para audiens siap menerima
jawaban yang disampaikan nantinya itu dijawab sendiri oleh Cak Kus. Bahwa
nafsu, meski hanya sebagian kecil dari berbagai macam unsur yang menjadi
konstruksi utuh manusia, mampu merusak dan mengalahkan keseluruhan unsur-unsur
lainnya. Nafsu bahkan mampu melenyapkan label ‘manusia’ terhadap manusia itu
sendiri. Maka benarlah jika ada yang beranggapan bahwa manusia yang dikalahkan
oleh hawa nafsunya—dalam artian tidak mampu menjinakkannya—serupa dengan
binatang, bahkan lebih buruk daripada binatang. Kemanusiaannya lenyap,
menyisakan kebinatangan yang menonjol.
Mengapa manusia yang gagal
menjinakkan hawa nafsunya dianggap lebih ‘binatang’ ketimbang hewan yang paling
liar sekalipun? Alasannya tentu saja karena manusia punya akal dan hati, sedangkan
hewan tidak. Tentu amatlah wajar kalau hewan tampak begitu liar, hidupnya hanya
berkutat dalam persoalan perut dan birahi. Sebab mereka tak memiliki akal dan
hati sebagai alat untuk menimbang mana yang baik, mana yang benar, mana yang
pantas dan mana yang memalukan. Sebaliknya, jika ada manusia—yang padahal sudah
diberi bekal oleh Tuhan berupa akal dan hati sebagai senjata dalam memerangi
hawa nafsu—takluk terhadap nafsunya, tentu tingkat kebinatangannya melebihi
hewan yang notabene tak dibekali akal dan hati. Bukankah kekalahan prajurit
bersenjata lengkap lebih memalukan dan lebih pantas dicemooh ketimbang prajurit
yang bertarung dengan tangan kosong?
Dalam sebuah kesempatan, Haidar
Bagir penah mengatakan bahwa hujjah
Allah Swt kepada manusia ada dua; yakni hujjah
eksternal alias dhohir dan hujjah
internal alias batin. Hujjah
eksternal ini adalah para nabi. Maka ketika di akhirat kelak para pengusaha
yang kaya raya mendapat siksaan karena meninggalkan sholat dan berdalih bahwa
mereka tak sempat sholat karena waktunya habis akibat sibuk mengurusi hartanya
yang melimpah, Allah Swt akan menjadikan Nabi Sulaiman sebagai hujjah untuk membantah mereka. Nabi
Sulaiman yang kekayaannya amat dahsyat saja rajin sholat, masak kamu yang cuma
diberi kekayaan tak seberapa—dibandingkan dengan kekayaan Nabi Sulaiman—sudah berani
meninggalkan sholat? Begitu kira-kira hujjah
Tuhan. Kalau nantinya di hari penghakiman, seorang hamba dijebloskan ke neraka
karena menjadi budak hawa nafsunya dan ia berdalih bahwa Tuhan jualah yang
menciptakan hawa nafsu itu, Allah Swt akan menjadikan akal dan hati sebagai hujjah. Bukankah kalian sudah diberi
akal dan hati sebagai modal untuk berperang melawan hawa nafsu? Maka dalam
syariat, orang yang hilang akal tidak dibebani tuntutan dan kewajiban untuk
melaksanakan syariah yang diperintahkan.
Ketika nafsu memperbudak seseorang,
ruh berteriak penuh iba, “Tebus aku, aku tersandera…” Sementara nafsu
berjingkrak kegirangan.
Maka Shohibul Burdah, Imam Bushiri mempertanyakan
dalam baitnya, “Siapakah yang mampu menolongku dari jeratan hawa nafsu?”
Menurut Cak Kus, pertanyaan atau istifham ini ada dua kemungkinan, yakni istifham inkari dan istifham tamanni.
Jika ini istifham inkari, berarti
tidak ada seorang pun yang mampu menolong si penanya dari jeratan hawa nafsu.
Sebab yang mampu menolongnya dari hal itu hanyalah Allah Swt semata. Sedangkan
jika ini berupa istifham tamanni,
maka sesungguhnya si penanya, melalui pertanyaan ini, sedang mengiba penuh
harap kepada Allah Swt agar dilepaskan dari jeratan hawa nafsu.
Sebagai hamba, Cak Kus berpesan agar
kita tidak mempersempit pengharapan kita kepada Allah Swt dengan semisal
mengatakan sulit untuk berdzikir kepada Allah Swt, sulit untuk semangat
beribadah, dan sebagainya. Sebab pernyataan-pernyataan seperti itu merupakan
pernyataan keputusasaan terhadap kasih sayang-Nya yang maha luas.
Soal pengharapan ini, Cak Kus juga
menyatakan bahwa pengharapan Allah Swt tak terbatas dan tidak dapat dibatasi.
Dan Allah Swt mampu mengutus siapa saja untuk menyadarkan kita agar kita
terbebas dari jeratan hawa nafsu. Maka sudah seyogyanya kita mampu memandang
makhluk-makhluk Allah Swt sebagai pintu-pintu pengharapan untuk menuju
kehadirat-Nya—bahkan kepada mereka yang dianggap tuna susila sekalipun oleh
lingkungannya.
Seperti umumnya kebanyakan kajian
tasawwuf yang selalu memiliki terobosan pemikiran yang out of the box dan anti-mainstream,
Cak Kus juga menyinggung bahwa meski secara general, nafsu bersifat destruktif,
namun di sisi lain, nafsu juga bersifat positif. Dengan nafsu, manusia bisa
melebihi derajat malaikat. Sebab ibadah kepada Allah Swt yang terwujud setelah
sebelumnya berusaha matia-matian berperang melawan hawa nafsu tentu lebih
‘bernilai’ di hadapan Allah Swt ketimbang ibadah yang dilakukan oleh malaikat
yang notabene tidak memiliki ‘usaha’ dalam beribadah karena tidak memiliki hawa
nafsu. Hawa nafsu mampu menjadi batu loncatan kita untuk melampaui derajat para
malaikat.
Berangkat dari nafsu, pembahasan menjamah
ke persoalan lain yang masih berkaitan dengan hawa nafsu, yakni kemarahan.
Kemarahan yang timbul dari hawa nafsu mampu menimbulkan kekeruhan yang pekat di
dalam hati. Bahkan secara tegas, Imam Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya
Ulumiddin, menyatakan bahwa: ‘Engkau (manusia) dilihat dari perspektif
kemarahanmu adalah anjing. Engkau dari
perspektif syahwatmu adalah binatang. Dan engkau dari perspektif akalmu
adalah seorang raja’.
Tentu saja kemarahan yang
dimaksudkan Imam Ghazali adalah kemarahan yang berangkat dari hawa nafsu.
Dalam kacamata yang lebih luas dan
arif, kemarahan ada juga yang bersifat transendental. Kemarahan model ini tidak
dilatarbelakangi oleh nafsu, melainkan oleh hati yang bersih dan suci. Kemarahan
ini jamak kita temui dalam diri para kekasih Allah swt. Secara dhohir, mereka
tampak marah, namun sejatinya mereka sedang menebarkan cinta kasih. Hal ini
serupa dengan kemarahan seorang ibu saat melarang anaknya yang masih balita
untuk bermain pisau. Itu bukan kemarahan, melainkan cinta. Maka dalam
menghadapi orang-orang yang memiliki potensi dan kebiasaan marah secara
transendental ini, kata Cak Kus, hendaknya kita ‘menyediakan’ diri kita untuk
dimarahi.
Kembali kepada hawa nafsu, Cak Kus
menyampaikan bahwa akal yang sudah dikuasai oleh hawa nafsu akan gemar
mengakal-akali. Akal semacam ini tidak mampu berpikir secara objektif. Sebab
hakikatnya, ia hanya menjadi budak yang disetir oleh nafsu untuk dijerumuskan
ke dalam lembah hitam kemaksiatan.
Indikator yang menunjukkan bahwa
akal seseorang telah mencapai puncak kesempurnaan adalah ketika ia mampu memikirkan
sesamanya dan memiliki kasih sayang yang tinggi terhadap makhluk-makhluk Allah
Swt. Dan orang yang paling sempurna akalnya adalah Rasulullah Saw, sebab beliau
amat besar cinta dan kasih sayangnya terhadap seluruh makhluk sekalian alam.
Maka beliau dijuluki rahmatan lil
‘alamiin.
Terakhir adalah soal keyakinan.
Bahwa harga diri kita dihadapan Allah Swt ditentukan oleh seberapa tinggi
tingkat keyakinan kita kepada-Nya. Seberapa yakin kita terhadap kasih sayang
dan cinta-Nya. Seberapa yakin kita terhadap sifat-sifat agung-Nya, yang maha
memberi rejeki, yang maha pengampun, yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Itulah harga kita dihadapan Tuhan.
Semoga terhadap nafsu yang
menjerumuskan kepada kubangan dosa, kita diberikan kemampuan oleh Allah Swt
untuk menjadi layaknya seorang kusir terhadap kudanya. Sehingga kita mampu
mengendalikan nafsu dan menggunakannya sebagai wasilah untuk meraih derajat
yang luhur di mata Allah Swt. Bukan dikendalikan dan menghamba kepadanya. Amin tsumma na’udzubillah.
Wallahu
a’lam.
*)
Kajian Burdah oleh Kyai Kuswaidi Syafiie di Kafe Basabasi pada hari Rabu, 14
Maret 2018.
Komentar
Posting Komentar