Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Nasehat Adalah Zakat

Syahdan, suatu ketika Imam Ghazali dimintai nasihat oleh salah seorang koleganya. Beliau, yang meski sudah bergelar Hujjatul Islam alias Argumentator Islam dan secara keilmuan sangat kompeten dalam urusan memberi nasihat, tidak serta merta langsung mengiyakan permintaan si kolega. Dengan rendah hati, sang Imam bertutur bahwa beliau masih belum pantas, belum sampai pada level seorang penasihat. Penggalan kisah di atas termuat dalam mukaddimah kitab Bidayah al Hidayah karangan Imam Ghazali. Konon, latar belakang riwayat penulisan kitab tersebut berawal dari permintaan nasihat kolega sang Imam. Ulama salaf (tanpa-i) tempoe doeloe memiliki sebuah tradisi agung nan indah: saling meminta nasihat satu sama lain. Ketika seorang alim di daerah A mendengar bahwa ada seorang alim yang keilmuannya tersohor di daerah B, maka ia akan segera meminta nasihat kepadanya, begitu pula sebaliknya. Saling meminta nasihat, bukan saling mengajukan diri memberi nasihat. Tradisi ini menunjukkan betapa mereka,...

Cerita dari Warmindo

Sebagai mahasiswa yang tidak (baca: belum) ditakdirkan berkantong tebal, lagi-lagi, saya musti rajin menyatroni Warmindo demi cekoki asupan perut yang mulai tampak sedikit membuncit. Di Perumahan Polri, Gowok, Sleman Yogyakarta, saya punya Warmindo langganan yang tiap hari, paling tidak, sekali saya kunjungi. Malam itu, saya gagal mengingat tanggal pastinya, sekira pukul sembilan malam, karena urusan perut, saya harus mengunjungi Warmindo itu dan memesan sepiring nasi goreng telur plus segelas teh hangat. Saat itu, Warmindo sedang sepi pengunjung. Mungkin karena sedang tidak ada Moto Gp atau kesebelasan sepak bola yang berlaga. Kalau tidak keliru menghitung, hanya ada satu orang pengunjung setibanya saya di sana. Begitu pesanan saya tersaji di depan mata, segera saja saya menyantapnya dengan lahap, tanpa perlu menawari beberapa pengunjung dari bangsa Jin yang mungkin saja ada dan nimbrung di sekitar saya. Di tengah keasyikan menghabiskan nasgor, dari arah selatan, datang seorang lela...

Istriku yang Malang

ISTRIKU YANG MALANG Sudah jam 9 malam dan Paiman belum juga datang. Gatot melirik Swiss Army KW yang melilit di pergelangan tangannya, hampir dua jam lebih ia duduk di sini, sendiri. Kopi hitam di hadapannya menyisakan sekali teguk saja, tegukan setelahnya adalah ampas kopi. Gatot meraih sebatang rokok terakhirnya. Ia membuat batas waktu sendiri: kalau sampai sebatang terakhir ini habis dan Paiman masih belum juga tampak batang hidungnya yang sama sekali tak mancung itu, Gatot angkat kaki dari warung kopi lesehan di bibir sungai. "Kampret, mulai dulu sampai sekarang tetap nggak berubah si Paiman itu. Masih juga nggak tepat waktu," umpat Gatot, dalam hati. "Sseppp...," hisapan terakhir dari batang rokok terakhir Gatot. Ia membanting batang rokok yang hanya menyisakan gabus filter. Gatot sudah berdiri hendak beranjak pulang saat pundak kanannya ditepuk seseorang. "Lah, mau kemana?" Paiman muncul, cengengesan. Hampir saja Gatot menjitak kepala Paima...