Syahdan, suatu ketika Imam Ghazali dimintai nasihat oleh salah seorang koleganya. Beliau, yang meski sudah bergelar Hujjatul Islam alias Argumentator Islam dan secara keilmuan sangat kompeten dalam urusan memberi nasihat, tidak serta merta langsung mengiyakan permintaan si kolega. Dengan rendah hati, sang Imam bertutur bahwa beliau masih belum pantas, belum sampai pada level seorang penasihat.
Penggalan kisah di atas termuat dalam mukaddimah kitab Bidayah al Hidayah karangan Imam Ghazali. Konon, latar belakang riwayat penulisan kitab tersebut berawal dari permintaan nasihat kolega sang Imam.
Ulama salaf (tanpa-i) tempoe doeloe memiliki sebuah tradisi agung nan indah: saling meminta nasihat satu sama lain. Ketika seorang alim di daerah A mendengar bahwa ada seorang alim yang keilmuannya tersohor di daerah B, maka ia akan segera meminta nasihat kepadanya, begitu pula sebaliknya. Saling meminta nasihat, bukan saling mengajukan diri memberi nasihat. Tradisi ini menunjukkan betapa mereka, para ulama dahulu, memiliki kerendahan hati yang amat tinggi. Mereka semua alim, pandai. Meski begitu, kepandaian mereka tidak lantas menjadikan dirinya angkuh dan anti-nasihat. Justru sebaliknya, mereka merasa masih sangat butuh untuk dinasihati. Sebuah hal yang amat langka kita jumpai hari ini.
Pun, sama halnya seperti Imam Ghazali, ulama terdahulu tidak begitu saja nyerocos ceplas ceplos melontarkan beragam fatwa dan nasihat saat mereka diminta untuk itu. Lagi-lagi ini terjadi karena dominannya sikap rendah hati. Mereka selalu masih merasa tidak pantas, tidak kompeten. Dalam soal memberi nasihat, ulama terdahulu sangat berhati-hati. Sebab mereka sadar betul bahwa setiap ucapan, fatwa, atau nasihat memiliki porsi, akurasi dan tanggung jawabnya masing-masing. Serupa seperti panah: jika ia dilepas dari busurnya di saat yang tepat dengan akurasi dan sasaran bidik yang tepat pula, ia akan mendapat hasil yang baik, misalkan ketika digunakan untuk berburu. Namun jika si pemanah tidak memiliki kemampuan memanah dengan baik dan tidak mempunyai akurasi bidik yang bagus, jangankan mengenai target buruan, salah-salah ia malah nyasar mengenai orang yang melintas di sekitar.
Ironisnya, hari ini justru banyak sekali orang yang mendadak merasa sangat berkompeten dalam urusan memberi nasihat. Bahkan meski tanpa ada yang meminta nasihat kepada mereka-pun, mereka dengan senang hati akan memberi nasihat. Tak peduli meski sejatinya mereka sama sekali tidak memenuhi kualifikasi sebagai penasihat yang baik. Sebaliknya, orang-orang hari ini juga merasa berat dan enggan untuk meminta nasihat dan kritik dari orang lain. Pendek kata, semua merasa sama-sama pantas untuk menjadi penasihat, dan bukan pengemis nasihat. Sungguh sebuah fenomena yang sangat kontras jika kita bandingkan dengan tradisi yang berlaku pada era ulama terdahulu.
Lalu, Imam Ghazali, masih dalam mukaddimah Bidayah al Hidayah, menuturkan alasan keengganannya untuk segera memberi nasihat. "Nasihat itu serupa dengan zakat. Ia memiliki nisab (batas jumlah minimun yang harus dimiliki sebelum menunaikan zakat). Dan nisab dari nasihat adalah menasihati diri sendiri terlebih dahulu," kata Al Ghazali. Mana bisa orang memberi nasihat di sana-sini tapi kelakuannya sendiri masih perlu dinasihati? Apa pantas kita menasihati orang lain sementara tindak-tanduk kita sendiri malah justru bertentangan dengan apa yang kita nasihatkan? Mana mungkin bayangan sebuah kayu akan tampak lurus jika kayunya sendiri masih bengkok?
Beliau seolah ingin bertutur, "Perbaikilah terlebih dahulu dirimu sendiri sebelum memperbaiki orang lain."
Sementara yang terjadi hari ini adalah realita bahwa banyak orang merasa sudah mencapai level 'mampu' memperbaiki orang lain, padahal dirinya sendiri masih sakit, masih tidak baik-baik saja.
Menjadi seperti apa yang ditradisikan oleh ulama terdahulu dan apa yang dicontohkan oleh Al Ghazali memang amat sulit, namun bukan berarti mustahil. Selama ada niatan yang kuat dan aktualisasi diri yang sungguh-sungguh sebagai upaya ke arah itu, insyaallah Tuhan akan memberi jalan.
Semoga kita senantiasa berada dalam hidayah, cinta dan ridlo-Nya. Amin.
Wallahu a'lam.
Note:
Tulisan ini adalah nasehat untuk diri saya sendiri.
Buku tentang keistimewan hewan dan kelemahannya kayaknya yang paling unggul lebah, leres gih ra?
BalasHapusBuku tentang keistimewan hewan dan kelemahannya kayaknya yang paling unggul lebah, leres gih ra?
BalasHapus"Nasihat itu serupa dengan zakat. Ia memiliki nisab (batas jumlah minimun yang harus dimiliki sebelum menunaikan zakat). Dan nisab dari nasihat adalah menasihati diri sendiri terlebih dahulu," kata Al Ghazali.
BalasHapusmaaf pak, teks untuk kalimat di atas, belum ketemu di mukadimahnya. tolong ditunjukkan pak. terima kasih.