ISTRIKU YANG MALANG
Sudah jam 9 malam dan Paiman belum juga datang. Gatot melirik Swiss Army KW yang melilit di pergelangan tangannya, hampir dua jam lebih ia duduk di sini, sendiri. Kopi hitam di hadapannya menyisakan sekali teguk saja, tegukan setelahnya adalah ampas kopi.
Gatot meraih sebatang rokok terakhirnya. Ia membuat batas waktu sendiri: kalau sampai sebatang terakhir ini habis dan Paiman masih belum juga tampak batang hidungnya yang sama sekali tak mancung itu, Gatot angkat kaki dari warung kopi lesehan di bibir sungai. "Kampret, mulai dulu sampai sekarang tetap nggak berubah si Paiman itu. Masih juga nggak tepat waktu," umpat Gatot, dalam hati.
"Sseppp...," hisapan terakhir dari batang rokok terakhir Gatot. Ia membanting batang rokok yang hanya menyisakan gabus filter.
Gatot sudah berdiri hendak beranjak pulang saat pundak kanannya ditepuk seseorang. "Lah, mau kemana?" Paiman muncul, cengengesan.
Hampir saja Gatot menjitak kepala Paiman. "Kamu ini nggak berubah ya, mulai dulu tiap ada janji pasti molor," kata Gatot, geram.
"Haha. Lha mau bagimana lagi? Di negeri kita ini, budaya jam karet sudah terlanjur mengakar kokoh. Masak iya aku sebagai warga negara yang baik nggak ikut melestarikan budayanya? Kan gimana gitu nanti kata orang-orang," Paiman berkelakar.
"Ya, ya, ya sudah. Terserah kamu. Seenak kamu aja, lah."
Paiman memesan kopi, Gatot teh. Dua cangkir kopi dalam sekali duduk dapat menyebabkan perut kembung dan melipatgandakan frekuensi buang angin, begitu wanti-wanti Gatot pada dirinya sendiri.
"Ada apa, Tot? Kamu ngajakin aku ngopi mendadak ini ada ihwal apa? Mau bahas Pilkada Ibu kota to? Sory, aku lepas tangan soal pilkada. Aku capek ngomongin orang-orang ruwet kayak mereka. Wong hidupku sendiri aja sudah ruwet, kok ini malah mau ditambahi sama ruwetnya pilkada. No, no, no."
"Bukan. Ini bukan soal pilkada. Lagian aku juga tahu kok kalau hidupmu mulai dulu ruwet, nggak usah curhat gitu dong," balas Gatot.
"Asem, lha terus ada apa?" tanya Paiman.
"Ini soal istriku..."
"Lah, itu lagi, itu lagi," potong Paiman. "Ada apa lagi dengan istrimu? Ngambek kayak dulu lagi gara-gara uang jajan make up-nya kurang? Apa nggak mau kelon sama kamu gara-gara bibirmu itu nggak mau berhenti ngemut rokok, hah? Hahaha."
"Sst, kali ini serius, Man." Gatot memelankan suaranya.
"Oke, oke, bagaimana?"
"Istriku kayaknya sudah gak cinta lagi sama aku, Man."
"Hahaha, Tooot, Gatot, kayak anak SMA aja kamu itu. Emang repot ya kalau punya istri masih umur belasan. Meskipun kuat di ranjang, tapi masih labil pikirannya." Paiman terpingkal.
"Man! Please, jangan teriak-teriak," Gatot memberi isyarat kepada Paiman untuk melirihkan suaranya. Orang-orang menolehkan kepala.
"Sory, sory," tawa Paiman mereda.
"Istriku akhir-akhir ini bertingkah aneh. Dia seperti orang linglung. Tiga hari gak makan nasi sama sekali, cuma makan cemilan," mimik Gatot serius.
"Wah, gawat beneran kalau ini. Lha kenapa kok gak mau makan?"
"Ya itu tadi. Dia bilang kalau sudah gak cinta lagi sama aku. Dia minta cerai, Man."
"Celaka tiga belas, eh, astaghfirullah...," Paiman keceplosan. "alasannya apa? Orang minta cerai kan pasti ada alasannya, to?"
Gatot mengangkat bahu. "Nah itu masalahnya. Soalnya selama ini aku sama dia gak pernah cekcok berlebihan yang sampai mengarah ke tindakan KDRT."
"Rumit juga, ya."
"Aku udah bilang sama istriku dan ini sudah aku pertimbangkan baik-baik. Kalau memang dia sudah gak cinta lagi sama aku dan minta cerai, ya apa boleh buat," ujar Gatot.
"Jadi kamu menyetujui permintaan cerainya?" sontak Paiman.
"Mau bagaimana lagi, Man? Daripada dia mati gara-gara nggak mau makan? Toh dia bilang kalau dia sudah nggak cinta lagi sama aku. Cinta nggak bisa dipaksakan, kan? Aku sih positive thinking aja, mungkin dia memang bukan jodohku kali...," Gatot tampak pasrah.
"Hm, jadi aksi mogok makan yang dilakukan istrimu itu sebagai bentuk protes agar kamu segera menceraikan dia, ya," Paiman mengelus janggut.
"Ya, kira-kira seperti itu."
"Lha kamu selama ini tahu apa nggak kalau istrimu punya orang lain yang dia cintai?" tanya Paiman.
"Awalnya aku nggak tau. Tapi akhirnya istriku bilang sendiri kalau rupanya ia sekarang mencintai seseorang lain selain aku."
"Kita datengin saja orangnya, Tot. Kita kasih pelajaran. Kamu tahu kan rumah orang yang ngerebut istrimu?" Paiman tampak emosi.
"Ya, aku tahu rumahnya. Tapi kan kita nggak bisa main hakim sendiri gitu juga, Man."
"Lho tapi kan dia itu merusak keharmonisan rumah tangga orang lain. Itu nggak bisa dibiarkan, Tot." Paiman semakin menjadi-jadi.
"Sudahlah, Man."
"Kamu jangan pasrah gitu dong, Tot. Rumah tangga yang susah-susah dibina musti diperjuangkan bagaimanapun caranya. Kalau ada orang lain yang berusaha merongrong keharmonisan rumah tangga kita, ya kita nggak bisa berdiam diri dan pasrah kayak gini," jelas Paiman.
Paiman menarik tangan Gatot. "Ayo, Tot!"
"Kemana?"
"Kerumah orang yang ngerebut istrimu, lah. Kasih pelajaran," Paiman sudah kehilangan kesabaran. Ia tidak terima jika biduk rumah tangga seorang sahabat yang sudah ia anggap saudara sendiri harus hancur begitu saja gara-gara orang lain.
"Tenang, Man. Duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik," Gatot mendudukkan kembali Paiman yang tadi sudah berdiri, bersiap memberi pelajaran si perebut istri orang.
"Apanya yang baik-baik? Kamu ini sedang tidak dalam kondisi baik, Tot. Kamu sudah menikah dua kali. Masak iya kamu mau cerai dua kali juga. Ayolah, Tot, kali ini perjuangkan pernikahanmu, pikirkan segala resikonya. Cerai itu bukan urusan remeh, lho. Kawin-cerai jangan disamakan dengan putus-nyambung ala cinta monyet," sanggah Paiman.
"Minum dulu kopimu. Biar pikiranmu agak tenang," Gatot tersenyum kecut.
"Aku jadi heran sama kamu, Tot. Kok bisa-bisanya masih senyam-senyum kayak gitu padahal istrimu mau diembat orang."
"Aku kasihan sama istriku, Man."
"Lha, harusnya yang perlu dikasihani itu kamu sendiri. Kamu kan gak salah. Justru dalam kasus ini kamu sebagai pihak yang diselingkuhi. Kamu korban, Tot. Kamu terdzolimi!" tukas Paiman.
"Aku khawatir sama jalan hidupnya kelak."
"Apanya yang perlu dikhawatirkan? Istrimu enak dapat suami baru. Lha yang justru perlu dikhawatirkan itu ya nasibmu, Tot. Kamu masih harus cari istri lagi, dan ini yang ketiga kalinya pula," emosi Paiman agak mereda. Disulutnya sebatang kretek. Cess...
"Nggak, bukan itu..."
Tiba-tiba seorang wanita berumur tigapuluhan menghampiri tempat Gatot dan Paiman.
"Hei, Gatot, kalau istrimu sudah gak cinta lagi sama kamu ya sudah, ceraikan saja. Jangan dipaksa. Dasar suami nggak peka!" bentak wanita itu. Setelah puas memaki Gatot tepat di depan mukanya, wanita itu langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
Gatot diam saja. Paiman yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
"Eh, Tot, wanita itu tadi bukannya si Indah, mantan istrimu dulu?" tanya Paiman.
"Ya, itu Indah."
"Lah, kok si Indah tau permasalahanmu dengan istrimu yang sekarang? Memangnya kamu cerita ke Indah?"
"Enggak. Bukan aku. Tapi istriku, Nurma, yang cerita ke si Indah tentang apa yang dialaminya selama ini," jawab Gatot, dingin.
"Wah, jadi semakin rumit ini. Berarti ada konspirasi terselubung antara Indah selaku mantan istrimu dengan si Nurma yang notabene statusnya sebagai istri resmimu saat ini untuk meluluskan perpecahan kehidupan rumah tanggamu. Dan jika sebuah konspirasi telah melibatkan peran perempuan, maka akan semakin rumit duduk persoalannya," celoteh Paiman, berbusa-busa.
"Ya, dan tahukah kamu siapa perebut istriku yang mati-matian dicintainya sehingga cintaku tak berarti apa-apa lagi dihadapannya?" tanya Gatot.
Paiman menggeleng.
"Orang yang kau sebut sebagai perebut istriku dan mau kauberi pelajaran tadi adalah Indah, mantan istriku. Nurma jatuh cinta kepada Indah," pungkas Gatot.
"Hah?" suara Paiman tercekat. Tubuhnya terhuyung. Ia pingsan.
Depok, 22 Maret 2017.
Komentar
Posting Komentar