Sebagai mahasiswa yang tidak (baca: belum) ditakdirkan berkantong tebal, lagi-lagi, saya musti rajin menyatroni Warmindo demi cekoki asupan perut yang mulai tampak sedikit membuncit.
Di Perumahan Polri, Gowok, Sleman Yogyakarta, saya punya Warmindo langganan yang tiap hari, paling tidak, sekali saya kunjungi. Malam itu, saya gagal mengingat tanggal pastinya, sekira pukul sembilan malam, karena urusan perut, saya harus mengunjungi Warmindo itu dan memesan sepiring nasi goreng telur plus segelas teh hangat.
Saat itu, Warmindo sedang sepi pengunjung. Mungkin karena sedang tidak ada Moto Gp atau kesebelasan sepak bola yang berlaga. Kalau tidak keliru menghitung, hanya ada satu orang pengunjung setibanya saya di sana. Begitu pesanan saya tersaji di depan mata, segera saja saya menyantapnya dengan lahap, tanpa perlu menawari beberapa pengunjung dari bangsa Jin yang mungkin saja ada dan nimbrung di sekitar saya. Di tengah keasyikan menghabiskan nasgor, dari arah selatan, datang seorang lelaki dewasa yang menurut taksiran saya berumur sekitar 28 tahunan lebih menggandeng seorang gadis kecil seumuran anak yang mengenyam bangku pendidikan anak usia dini, PAUD.
Sembari makan, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengamati mereka berdua, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Lelaki dewasa berkaos hitam dan berkulit coklat legam kehitaman tampak sangar. Setidaknya guratan-guratan tegas di wajahnya menyiratkan begitu. Asesoris sebuah anting yang menggantung di salah satu daun telinganya semakin menambah kesan garang. Meski postur tubuhnya tidak begitu bagus apalagi atletis untuk profesi preman, namun kebanyakan orang yang baru pertama kali berjumpa dengannya mungkin akan mengira bahwa ia seorang preman, sebagaimana saya mengira begitu. Sebaliknya, gadis kecil berkaos orange yang datang bersamanya, meski tampak agak kumal, namun saya tahu, ia adalah seorang anak yang periang lagi lucu.
Lelaki garang itu memesan sepiring nasi telur dengan sambal dan segelas es teh. Si kecil merengek meminta es susu dancow dan lelaki itu, alhamdulillah, meluluskan permintaannya. Mereka berdua memilih tempat duduk di hadapan saya. Walhasil, saya semakin mudah memperhatikan gerak-gerik mereka berdua.
Seringkali, kita terlalu cepat menilai seseorang dari pandangan pertama. Don't judge the book by the cover. Mungkin ungkapan itu sangat cocok untuk menampar kesadaran saya malam itu. Saya tidak pernah membayangkan lelaki yang berpenampilan, katakanlah premanable, seperti itu memiliki hati yang begitu tulus. Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk balik menilainya sebagai orang baik dan penuh perhatian. Cara lelaki itu menyuapi si kecil tampak begitu murni dan sangat kebapakan. Jika sebelum memberi suapan nasi kepada gadis kecil itu sendok yang juga digunakannya untuk menciduk nasi bagi dirinya sendiri terkena sambal, ia akan lebih dahulu membersihkan bekas sambal yang menempel di sendok, agar si kecil tidak merasakan pedas saat ia menyantap nasi telurnya.
Dari cara lelaki itu menyuapi dan memandang si kecil, saya segera tahu bahwa hatinya tak segarang penampilan luarnya. Bahwa meski kulitnya hitam, saya yakin nuraninya putih, tulus dan murni.
Malam itu saya benar-benar merasa ditampar di depan muka. Mengapa saya begitu cepat menilai seseorang dari penampilannya? Mengapa saya merasa tak perlu melihat ke dalam hatinya untuk memberi stempel buruk terhadap seseorang? Mengapa saya enteng sekali menuduh keburukan, meski tuduhan itu hanya dalam batin, terhadap orang lain tanpa berusaha untuk lebih mengenalnya terlebih dahulu? Mengapa susah sekali untuk berbaik sangka meski hanya dalam pikiran? Mengapa?
Dan ratusan mengapa-mengapa lain silih berganti menghantam kesadaran saya sesaat setelah lelaki garang yang baik hati dan gadis kecilnya undur diri dari hadapan saya.
Pandangan sepasang bola mata saya mengantar mereka berdua pergi meninggalkan Warmindo di ujung kelokan sebelum raga keduanya tak lagi hinggap di jangkau edar pandang saya yang sangat terbatas.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua yang secara tidak langsung, telah sudi memberikan pelajaran berharga terhadap diri saya malam itu. Namun mereka terlalu cepat pergi dari hadapan saya. Sementara tubuh saya masih terpaku di bangku panjang Warmindo sembari mengitung-hitung dosa.
Gowok, 19 September 2017.
Komentar
Posting Komentar