Langsung ke konten utama

Huruf


HURUF
Oleh: Midadwathief*

            "Ini huruf apa?" Bu Lastri menulis huruf 'M' besar-besar di papan tulis. Ruangan kelas tampak lenggang menyisakan dua orang saja; Bu Lastri dan Rinto. Semua murid kecuali Rinto sudah pulang. Rinto masih tinggal di kelas, sebab ia adalah murid istimewa.
            "Ka...," jawab Rinto. Suaranya serak. Dahinya dipenuhi peluh meski cuaca tidak panas.
            "Huruf apa, Rinto? Ayo anak pandai, kamu pasti bisa." Bu Lastri mencoba memberi dorongan semangat kepada muridnya yang satu ini meski sebenarnya ia sendiri mulai jenuh dan putus asa.
            Kelas ektraekslusif ini sudah berlangsung hampir satu jam penuh dan belum juga tampak tanda-tanda akan membuahkan hasil. Sudah belasan kali Bu Lastri bertanya tentang huruf M, dan Rinto masih tetap menjawabnya sebagai huruf K. Ka...
            "Huft...," Bu Lastri mendesah sepelan mungkin, sekira cukup untuk didengarnya sendiri. Ia tak ingin Rinto mendengar desahan putus asanya. Bu Lastri menyerah untuk huruf M. "Baiklah, Rinto. Tidak apa-apa. Sekarang coba jawab ini huruf apa?" Bu Lastri menunjuk huruf C yang juga ditulisnya besar-besar.
            "Pe..."
            Bu Lastri terdiam. Ia pandangi wajah salah satu murid barunya itu, dari dasar kaki hingga ujung rambut. Hari ini adalah hari pertama Rinto mulai menapaki jenjang sekolah dasar. Ia masuk kelas satu bagian A. Wali kelasnya adalah Bu Lastri. Dan di hari pertama ini, Bu Lastri sudah mendapat PR berat; Rinto.
            Rinto sebenarnya tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia suka bermain, menghabiskan siang di sawah dengan bermain layang-layang, menggunakan jam istirahat untuk bermain kelereng di halaman sekolah yang belum dipaving, dan hal-hal lumrah lainnya yang kerap dilakukan oleh anak seumurannya. Satu-satunya hal yang membuat Rinto dianggap berbeda dengan yang lainnya adalah kenyataan bahwa di usianya yang sudah menginjak 6 tahun, ia masih kesulitan melafalkan beberapa huruf dengan benar. Meski begitu, sebenarnya ini juga masih tergolong hal yang wajar—dengan tanda kutip. Rinto tidak sendirian. Banyak orang yang hingga dewasa, bahkan tua, belum mampu melafalkan bunyi huruf dengan sempurna. Istilah untuk kesulitan ini biasanya disebut cadel. Umumnya orang yang cadel kesulitan melafalkan huruf R dengan baik dan benar. Dan untuk Rinto, selain huruf R, ia juga menambahkan huruf M, N dan C dalam daftar huruf-huruf yang sulit diucapkannya dengan benar.
            "Mm... Baiklah, Rinto. Tidak ada masalah. Rinto baik-baik saja kok," tutur Bu Lastri. Jelas sekali itu tidak baik-baik saja. Namun demi membesarkan hati Rinto, Bu Lastri merasa perlu berbohong. "Ini surat dari Bu Lastri, nanti begitu sampai di rumah, Rinto berikan surat ini untuk ibunya Rinto, ya." Bu Lastri mengelus lembut kepala Rinto. Rinto membalas dengan anggukan kecil.
                                                            ***
            Begitu sampai rumah, Rinto segera menyampaikan surat Bu Lastri kepada ibunya sebelum ia bergegas ke sawah, bergabung dengan teman sepermainannya; bermain layang-layang.
            "Kepada yang terhormat, Ibunda dari Rinto Setiawan, di kediaman," ibu Rinto mulai membaca surat. "Salam hormat untuk ibu, semoga kebaikan menaungi segala aktifitas ibu di manapun berada, Amin. Sebelumnya biarkan saya memperkenalkan diri. Saya Bu Lastri. Guru sekaligus Wali Kelasnya Rinto. Mungkin ibu bertanya-tanya kenapa saya tiba-tiba menulis surat untuk ibu. Saya hanya bisa katakan kalau kedatangan surat ini adalah karena Rinto, anak ibu dan anak saya juga." Ibu Rinto mengubah posisi duduknya.
            "Rinto anak yang baik, saya tahu itu. Dia juga tergolong anak yang aktif bergaul dan selalu tampak bersemangat selama mengikuti pelajaran. Namun sayangnya, Rinto oleh Tuhan dikaruniai beberapa hal tidak biasa yang membuatnya tampak berbeda dengan teman-temannya. Saya yakin ibu pasti sudah mengetahui bahwa Rinto memiliki masalah dalam melafalkan huruf R, M, N dan C. Rinto melafalkan R menjadi L, M menjadi K, C menjadi P dan N juga menjadi L, meski tidak persis sama dengan L-nya R. Istilah umum untuk anak seperti Rinto adalah cadel. Saya hanya bisa menyarankan ibu untuk membawa Rinto ke seorang dokter ahli terkait hal ini. Bukannya apa-apa, selagi belum terlambat, mumpung Rinto masih kecil (umur 6 tahun), segala usaha yang terbaik musti kita upayakan demi kebaikan Rinto di masa depan. Sebab yang paling saya khawatirkan dari keadaan Rinto saat ini bukan masalah ketidakmampuannya mengucapkan beberapa huruf dengan sempurna, tapi lebih ke perkembangan mental dan psikologisnya kelak. Sebab anak yang cadel rentan menjadi sasaran olok-olok temannya. Mungkin olok-olok tampak biasa saja, namun hal itu bisa mempengaruhi aspek psikis si anak, lebih-lebih jika olok-olok itu merembet menjadi sebuah tindakan bullying fisik, tentu akan sangat berbahaya bagi perkembangan karakter Rinto di masa depan. Maka dari itu, saya mengajak ibu untuk sama-sama berusaha demi kebaikan Rinto. Saya akan terus memberi pelajaran ekstra untuk Rinto di sekolah seusai jam pulang normal. Jadi ibu harap maklum jika Rinto pulang 1 jam lebih lambat dari teman-temannya yang lain. Salam hormat, Bu Lastri".
            Sebelum melipat kembali surat dari Bu Lastri, ibu Rinto menyadari sesuatu yang tertinggal. Ada kalimat yang belum dibacanya. NB: Saya dulunya juga cadel dan baru bisa mengucapkan huruf R dengan baik saat saya berusia 12 tahun. Jadi saya sangat memahami perasaan Rinto, anak ibu.
                                                            ***
            Sebulan belakangan ini, desa Rinto sedang dirundung desas-desus harimau putih jadi-jadian. Motif pelakunya tidak jelas bertujuan apa, namun isu ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Tiga orang sudah menjadi korban keganasan harimau putih jadi-jadian ini. Ketiganya tewas dengan cara yang sama: bekas gigitan di bagian kanan leher.
            Karena isu ini, anak-anak kecil dilarang keluar rumah mulai matahari tenggelam. Tiap malam, setidaknya ada sepuluh orang dewasa yang berjaga-jaga di pos ronda. Suasana desa benar-benar mencekam, sebab harimau jadi-jadian ini tak segan membunuh siapapun di hadapannya. Tak terlihat lagi majelis gosip kelompok ibu-ibu yang biasanya rutin di gelar secara bergiliran di teras-teras depan rumah. Pengajian dan arisan yang biasanya dilangsungkan di malam hari terpaksa dialihkan waktunya menjadi pagi atau siang hari. Dua hari sekali sejumlah polisi juga tampak turut berjaga-jaga, bahu-membahu bersama kaum lelaki dewasa di pos ronda.
            Rinto bukan lagi seorang bocah ingusan berusia 6 tahun. Ia kini berumur 13 tahun. Rinto sudah mulai beranjak remaja. Fisik tubuhnya tumbuh dengan baik. Tubuhnya tegap, parasnya juga tergolong rupawan. Sayangnya, pertumbuhan positif yang ditunjukkan fisik Rinto tidak diikuti dengan baik oleh pertumbuhan mentalnya. Ia tumbuh sesuai dengan kekhawatiran yang ditakutkan Bu Lastri: menjadi korban olok-olok dan bullying dari sesama temannya.
            Rinto masih cadel. Ia masih mengucapkan M dengan K, N dengan L dan C dengan P. Sebenarnya ibu Rinto sempat mengkonsultasikan masalah anaknya ini kepada salah seorang dokter.
            "Cadel, atau rhotacism dalam istilah kedokteran, bukan disebabkan oleh lidah yang pendek seperti anggapan kebanyakan orang. Perbedaan pada bagian yang bernama frenulum linguae-lah yang menyebabkan seseorang kesulitan melafalkan salah satu huruf atau lebih. Frenulum linguae dapat terlihat saat seseorang menggerakkan lidahnya ke atas. Terdapat seperti jaringan yang menghubungkan dasar mulut dan lidah; itulah frenulum linguae. Nah, perbedaan panjang dan pendek frenulum linguae inilah yang menyebabkan lidah sulit bergetar, sehingga pada akhirnya membuat seseorang kesulitan melafalkan salah satu huruf dengan baik dan benar. Namun Rinto sedikit berbeda. Memang selain rhotacism, ada istilah sigmatism bagi orang yang kesulitan mengucapkan huruf S. Mereka melafalkan S dengan mendesis. Ada juga lambdacism, bagi mereka yang kesulitan melafalkan huruf L. Dan untuk kasus Rinto, memang musti ada pemeriksaan lanjutan yang intensif untuk mengetahui penyebab kesulitannya dalam melafalkan beberapa huruf," ujar sang dokter.
            "Lalu solusinya bagaimana, Dok?" tanya ibu Rinto, waktu itu.
            "Sebenarnya ada beberapa metode untuk mengatasi masalah rhotacism, salah satunya dengan terapi bicara atau speech therapy oleh pakarnya. Namun terapi bicara ini bisa dilakukan dengan catatan, si pasien yang cadel, dalam hal ini anak ibu, Rinto, tidak mengidap kelainan atau gangguan kesehatan lain yang juga bisa menyebabkan keluhan ini. Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk melakukan speech therapy, terlebih dahulu kita harus lakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap Rinto, apalagi cadel yang dimiliki Rinto jelas-jelas berbeda dengan kebanyakan orang. Bahasa sederhananya, maaf, tidak normal."
            "Nanti yang memberi terapi anda ya, Dok?"
            "Oh, tidak. Saya bukan pakar dalam hal itu. Sebab terapi ini mencakup gerakan napas atau pelafalan huruf tertentu yang sulit bila dilakukan oleh orang yang bukan pakarnya, karena melibatkan koordinasi lidah dan bagian lain di rongga mulut. Namun ibu tenang saja, relasi saya sesama dokter ada yang ahli dalam urusan ini, nanti saya tuliskan surat pengantar rekomendasinya untuk pemeriksaan Rinto lebih lanjut."
            "Oh begitu ya, Dok."
            "Iya. Tapi sebelum itu, saya punya sedikit saran. Untuk benar-benar bisa mengatasi masalah Rinto, tidak hanya kami, para dokter saja yang berperan. Perlu ada peran aktif dari orang-orang dekat Rinto, terutama anda sebagai ibunya. Anak yang cadel sebisa mungkin jangan diejek atau diolok-olok. Orang-orang disekitarnya juga jangan mudah menggoda Rinto untuk ikut-ikutan berpura-pura cadel, itu bisa memperlambat kesembuhan si anak sendiri."
            Rupanya konsultasi 6 tahun yang lalu itu menjadi konsultasi pertama sekaligus terakhir. Ibu Rinto tidak pernah lagi memeriksakan Rinto ke dokter manapun. Dan alasannya sungguh klasik, khas orang desa: keterbatasan dana.
            Jadilah Rinto tumbuh menyongsong usia remajanya sebagai anak cadel. Teman-temannya mulai menjauh dan tidak mau lagi bermain dengannya. Kalaupun mau, itu karena mereka memang berniat menjadikan Rinto sebagai objek olok-olokan semata. Lingkungan keluarga yang diharapkan menjadi payung pelindung terakhir di tengah derasnya hujan cemoohan yang menimpa, justru ikut-ikutan menindas mentalnya. Setelah kematian ayahnya, 5 tahun lalu, Rinto lebih banyak diam. Dari ibunya, ia tidak mendapat porsi perhatian yang cukup. Dua orang kakaknya yang normal justru mendapatkan perhatian lebih besar daripada dirinya. Kedua kakaknya, kadang juga ibunya, seringkali mengejek Rinto dengan menirukan gaya cadelnya. Situasi yang sangat tidak kondusif ini sangat menyiksa jiwa Rinto. Maka pilihannya kini hanya diam saja. Sepanjang hari, Rinto hanya diam.
                                                            ***
            Malam itu, di ruang keluarga rumah Rinto, ibu dan kedua kakaknya menggelar rujakan. Rinto tidak ada di sana. Ia lebih memilih untuk berdiam diri di kamarnya, menghabiskan waktu bersama buku-buku.
            "Rinto! Ambilkan sendok sama piring di belakang," teriakan ibunya sampai ke telinga Rinto.
            Dengan enggan, Rinto bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke tempat yang disebut ibunya belakang itu. Kamar Rinto memang terletak paling belakang dari sisi rumah mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan belakang oleh ibunya adalah ruangan terbuka di belakang rumahnya, di mana terdapat sebuah sumur yang berfungsi sebagai sumber air untuk mandi, mencuci pakaian, hingga mencuci perkakas dapur.
            Saat hendak mengambil piring dan sendok di belakang, Rinto melihat sesuatu seperti cahaya putih di kebun yang berbatasan langsung dengan sisi belakang rumahnya. Lamat-lamat ia menatap cahaya putih itu dengan tajam. "Astaga!"
            Rinto segera masuk ke rumah. Piring dan sendok pesanan ibunya dibiarkan tergeletak begitu saja. Seperti orang kesetanan, Rinto berteriak kencang sekali, "KAPAL PUTIH! KAPAL PUTIH!". Sedang tangannya terus menerus menunjuk ke arah belakang. Ibu dan kedua kakakknya tak habis pikir melihat tingkah aneh Rinto.
            "Hei! Kapal putih apa? Kamu ini ngelantur, ya? Sudah cadel, ngelantur pula ngomongnya," ibu Rinto memaki dengan teriakan.
            Namun Rinto seperti tuli dan tidak peduli. Masih seperti orang kesetanan, Rinto berlari keluar rumah melewati pintu depan dan menyusuri sepanjang jalan sembari tak berhenti meneriakkan kapal putih.
                                                            ***
            Pagi hari. Rumah Rinto dipenuhi warga. Orang-orang berkerumun menyaksikan mayat korban ke empat dari keganasan teror harimau putih jadi-jadian. Ibu Rinto meregang nyawa di ruang keluarga dengan luka gigitan di sisi kanan lehernya. Kedua kakaknya berhasil selamat meski mengalami cedera serius dan harus diamputasi salah satu kakinya.
            Rinto duduk terdiam dengan tatapan kosong. Ia mereka ulang peristiwa mencekam yang terjadi semalam dalam ingatannya. Ia sudah memperingatkan Ibu dan kedua kakaknya. Ia merasa sudah berteriak dengan jelas: MACAN PUTIH!
            Rinto diam. "Mungkin orang-orang memang tak pernah benar-benar peduli dengan ucapan orang cadel," batinnya.
*) MIDADWATHIEF, lahir di Banyuwangi. Saat ini mengambil kuliah jurusan Akidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.                          


                                   
           


           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...