"Ini huruf
apa?" Bu Lastri menulis huruf 'M' besar-besar di papan tulis. Ruangan
kelas tampak lenggang menyisakan dua orang saja; Bu Lastri dan Rinto. Semua
murid kecuali Rinto sudah pulang. Rinto masih tinggal di kelas,
sebab ia adalah murid istimewa.
"Ka...,"
jawab Rinto. Suaranya serak. Dahinya dipenuhi peluh meski cuaca tidak panas.
"Huruf apa,
Rinto? Ayo anak pandai, kamu pasti bisa." Bu Lastri mencoba memberi
dorongan semangat kepada muridnya yang satu ini meski sebenarnya ia sendiri
mulai jenuh dan putus asa.
Kelas ektraekslusif
ini sudah berlangsung hampir satu jam penuh dan belum juga tampak tanda-tanda akan
membuahkan hasil. Sudah belasan kali Bu Lastri bertanya tentang huruf M, dan
Rinto masih tetap menjawabnya sebagai huruf K. Ka...
"Huft...,"
Bu Lastri mendesah sepelan mungkin, sekira cukup untuk didengarnya sendiri. Ia
tak ingin Rinto mendengar desahan putus asanya. Bu Lastri menyerah untuk huruf
M. "Baiklah, Rinto. Tidak apa-apa. Sekarang coba jawab ini huruf
apa?" Bu Lastri menunjuk huruf C yang juga ditulisnya besar-besar.
"Pe..."
Bu Lastri terdiam.
Ia pandangi wajah salah satu murid barunya itu, dari dasar kaki hingga ujung
rambut. Hari ini adalah hari pertama Rinto mulai menapaki jenjang sekolah
dasar. Ia masuk kelas satu bagian A. Wali kelasnya adalah Bu Lastri. Dan di
hari pertama ini, Bu Lastri sudah mendapat PR berat; Rinto.
Rinto sebenarnya
tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia suka bermain, menghabiskan siang di
sawah dengan bermain layang-layang, menggunakan jam istirahat untuk bermain
kelereng di halaman sekolah yang belum dipaving, dan hal-hal lumrah lainnya
yang kerap dilakukan oleh anak seumurannya. Satu-satunya hal yang membuat Rinto
dianggap berbeda dengan yang lainnya adalah kenyataan bahwa di usianya yang
sudah menginjak 6 tahun, ia masih kesulitan melafalkan beberapa huruf dengan
benar. Meski begitu, sebenarnya ini juga masih tergolong hal yang wajar—dengan
tanda kutip. Rinto tidak sendirian. Banyak orang yang hingga dewasa, bahkan
tua, belum mampu melafalkan bunyi huruf dengan sempurna. Istilah untuk
kesulitan ini biasanya disebut cadel. Umumnya orang yang cadel kesulitan
melafalkan huruf R dengan baik dan benar. Dan untuk Rinto, selain huruf R, ia
juga menambahkan huruf M, N dan C dalam daftar huruf-huruf yang sulit
diucapkannya dengan benar.
"Mm...
Baiklah, Rinto. Tidak ada masalah. Rinto baik-baik saja kok," tutur Bu
Lastri. Jelas sekali itu tidak baik-baik saja. Namun demi membesarkan hati
Rinto, Bu Lastri merasa perlu berbohong. "Ini surat dari Bu Lastri, nanti
begitu sampai di rumah, Rinto berikan surat ini untuk ibunya Rinto, ya."
Bu Lastri mengelus lembut kepala Rinto. Rinto membalas dengan anggukan kecil.
***
Begitu sampai
rumah, Rinto segera menyampaikan surat Bu Lastri kepada ibunya sebelum ia
bergegas ke sawah, bergabung dengan teman sepermainannya; bermain
layang-layang.
"Kepada yang
terhormat, Ibunda dari Rinto Setiawan, di kediaman," ibu Rinto mulai
membaca surat. "Salam hormat untuk ibu, semoga kebaikan menaungi segala
aktifitas ibu di manapun berada, Amin. Sebelumnya biarkan saya memperkenalkan
diri. Saya Bu Lastri. Guru sekaligus Wali Kelasnya Rinto. Mungkin ibu
bertanya-tanya kenapa saya tiba-tiba menulis surat untuk ibu. Saya hanya bisa
katakan kalau kedatangan surat ini adalah karena Rinto, anak ibu dan anak saya
juga." Ibu Rinto mengubah posisi duduknya.
"Rinto anak
yang baik, saya tahu itu. Dia juga tergolong anak yang aktif bergaul dan selalu
tampak bersemangat selama mengikuti pelajaran. Namun sayangnya, Rinto oleh Tuhan
dikaruniai beberapa hal tidak biasa
yang membuatnya tampak berbeda dengan teman-temannya. Saya yakin ibu pasti
sudah mengetahui bahwa Rinto memiliki masalah dalam melafalkan huruf R, M, N
dan C. Rinto melafalkan R menjadi L, M menjadi K, C menjadi P dan N juga
menjadi L, meski tidak persis sama dengan L-nya R. Istilah umum untuk anak
seperti Rinto adalah cadel. Saya hanya bisa menyarankan ibu untuk membawa Rinto
ke seorang dokter ahli terkait hal ini. Bukannya apa-apa, selagi belum
terlambat, mumpung Rinto masih kecil (umur 6 tahun), segala usaha yang terbaik
musti kita upayakan demi kebaikan Rinto di masa depan. Sebab yang paling saya
khawatirkan dari keadaan Rinto saat ini bukan masalah ketidakmampuannya
mengucapkan beberapa huruf dengan sempurna, tapi lebih ke perkembangan mental
dan psikologisnya kelak. Sebab anak yang cadel rentan menjadi sasaran olok-olok
temannya. Mungkin olok-olok tampak biasa saja, namun hal itu bisa mempengaruhi
aspek psikis si anak, lebih-lebih jika olok-olok itu merembet menjadi sebuah
tindakan bullying fisik, tentu akan
sangat berbahaya bagi perkembangan karakter Rinto di masa depan. Maka dari itu,
saya mengajak ibu untuk sama-sama
berusaha demi kebaikan Rinto. Saya akan terus memberi pelajaran ekstra untuk
Rinto di sekolah seusai jam pulang normal. Jadi ibu harap maklum jika Rinto
pulang 1 jam lebih lambat dari teman-temannya yang lain. Salam hormat, Bu
Lastri".
Sebelum melipat
kembali surat dari Bu Lastri, ibu Rinto menyadari sesuatu yang tertinggal. Ada
kalimat yang belum dibacanya. NB: Saya dulunya juga cadel dan baru bisa mengucapkan
huruf R dengan baik saat saya berusia 12 tahun. Jadi saya sangat memahami
perasaan Rinto, anak ibu.
***
Sebulan belakangan
ini, desa Rinto sedang dirundung desas-desus harimau putih jadi-jadian. Motif
pelakunya tidak jelas bertujuan apa, namun isu ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Tiga orang sudah menjadi korban keganasan harimau putih
jadi-jadian ini. Ketiganya tewas dengan cara yang sama: bekas gigitan di bagian
kanan leher.
Karena isu ini,
anak-anak kecil dilarang keluar rumah mulai matahari tenggelam. Tiap malam,
setidaknya ada sepuluh orang dewasa yang berjaga-jaga di pos ronda. Suasana
desa benar-benar mencekam, sebab harimau jadi-jadian ini tak segan membunuh
siapapun di hadapannya. Tak terlihat lagi majelis gosip kelompok ibu-ibu yang
biasanya rutin di gelar secara bergiliran di teras-teras depan rumah. Pengajian
dan arisan yang biasanya dilangsungkan di malam hari terpaksa dialihkan
waktunya menjadi pagi atau siang hari. Dua hari sekali sejumlah polisi juga
tampak turut berjaga-jaga, bahu-membahu bersama kaum lelaki dewasa di pos
ronda.
Rinto bukan lagi
seorang bocah ingusan berusia 6 tahun. Ia kini berumur 13 tahun. Rinto sudah
mulai beranjak remaja. Fisik tubuhnya tumbuh dengan baik. Tubuhnya tegap,
parasnya juga tergolong rupawan. Sayangnya, pertumbuhan positif yang
ditunjukkan fisik Rinto tidak diikuti dengan baik oleh pertumbuhan mentalnya.
Ia tumbuh sesuai dengan kekhawatiran yang ditakutkan Bu Lastri: menjadi korban
olok-olok dan bullying dari sesama
temannya.
Rinto masih cadel.
Ia masih mengucapkan M dengan K, N dengan L dan C dengan P. Sebenarnya ibu
Rinto sempat mengkonsultasikan masalah anaknya ini kepada salah seorang dokter.
"Cadel, atau rhotacism dalam istilah kedokteran, bukan
disebabkan oleh lidah yang pendek seperti anggapan kebanyakan orang. Perbedaan
pada bagian yang bernama frenulum linguae-lah yang menyebabkan seseorang
kesulitan melafalkan salah satu huruf atau lebih. Frenulum linguae dapat
terlihat saat seseorang menggerakkan lidahnya ke atas. Terdapat seperti
jaringan yang menghubungkan dasar mulut dan lidah; itulah frenulum linguae. Nah,
perbedaan panjang dan pendek frenulum
linguae inilah yang menyebabkan lidah
sulit bergetar, sehingga pada akhirnya membuat seseorang kesulitan melafalkan salah
satu huruf dengan baik dan benar. Namun Rinto sedikit berbeda. Memang selain rhotacism, ada istilah sigmatism bagi orang yang kesulitan
mengucapkan huruf S. Mereka melafalkan S dengan mendesis. Ada juga lambdacism, bagi mereka yang kesulitan
melafalkan huruf L. Dan untuk kasus Rinto, memang musti ada pemeriksaan
lanjutan yang intensif untuk mengetahui penyebab kesulitannya dalam melafalkan
beberapa huruf," ujar sang dokter.
"Lalu
solusinya bagaimana, Dok?"
tanya ibu Rinto, waktu itu.
"Sebenarnya
ada beberapa metode untuk mengatasi masalah rhotacism,
salah satunya dengan terapi bicara atau speech
therapy oleh pakarnya. Namun terapi
bicara ini bisa dilakukan dengan catatan, si pasien yang cadel, dalam hal ini
anak ibu, Rinto, tidak mengidap kelainan atau gangguan kesehatan lain yang juga
bisa menyebabkan keluhan ini. Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk melakukan
speech therapy, terlebih dahulu kita harus lakukan pemeriksaan lebih
lanjut terhadap Rinto, apalagi cadel yang dimiliki Rinto jelas-jelas berbeda
dengan kebanyakan orang. Bahasa sederhananya, maaf, tidak normal."
"Nanti yang
memberi terapi anda ya, Dok?"
"Oh, tidak.
Saya bukan pakar dalam hal itu. Sebab terapi ini mencakup gerakan napas atau
pelafalan huruf tertentu yang sulit bila dilakukan oleh orang yang bukan
pakarnya, karena melibatkan koordinasi lidah dan bagian lain di rongga mulut.
Namun ibu tenang saja, relasi saya sesama dokter ada yang ahli dalam urusan ini,
nanti saya tuliskan surat pengantar rekomendasinya untuk pemeriksaan Rinto
lebih lanjut."
"Oh begitu
ya, Dok."
"Iya. Tapi
sebelum itu, saya punya sedikit saran. Untuk benar-benar bisa mengatasi masalah
Rinto, tidak hanya kami, para dokter saja yang berperan. Perlu ada peran aktif
dari orang-orang dekat Rinto, terutama anda sebagai ibunya. Anak yang cadel sebisa
mungkin jangan diejek atau diolok-olok. Orang-orang disekitarnya juga jangan
mudah menggoda Rinto untuk ikut-ikutan berpura-pura cadel, itu bisa
memperlambat kesembuhan si anak sendiri."
Rupanya konsultasi
6 tahun yang lalu itu menjadi konsultasi pertama sekaligus terakhir. Ibu Rinto
tidak pernah lagi memeriksakan Rinto ke dokter manapun. Dan alasannya sungguh
klasik, khas orang
desa: keterbatasan dana.
Jadilah Rinto
tumbuh menyongsong usia remajanya sebagai anak cadel. Teman-temannya mulai
menjauh dan tidak mau lagi bermain dengannya. Kalaupun mau, itu karena mereka
memang berniat menjadikan Rinto sebagai objek olok-olokan semata. Lingkungan
keluarga yang diharapkan menjadi payung pelindung terakhir di tengah derasnya
hujan cemoohan yang menimpa, justru ikut-ikutan menindas mentalnya. Setelah
kematian ayahnya, 5 tahun lalu, Rinto lebih banyak diam. Dari ibunya, ia tidak
mendapat porsi perhatian yang cukup. Dua orang kakaknya yang normal justru mendapatkan
perhatian lebih besar daripada dirinya. Kedua kakaknya, kadang juga ibunya,
seringkali mengejek Rinto dengan menirukan gaya cadelnya. Situasi yang sangat
tidak kondusif ini sangat menyiksa jiwa Rinto. Maka pilihannya kini hanya diam
saja. Sepanjang hari, Rinto hanya diam.
***
Malam itu, di
ruang keluarga rumah Rinto, ibu dan kedua kakaknya menggelar rujakan. Rinto tidak ada di sana. Ia lebih memilih untuk berdiam diri di
kamarnya, menghabiskan waktu bersama buku-buku.
"Rinto!
Ambilkan sendok sama piring di belakang," teriakan ibunya sampai ke
telinga Rinto.
Dengan enggan,
Rinto bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke tempat yang disebut ibunya belakang
itu. Kamar Rinto memang terletak paling belakang dari sisi rumah mereka.
Sedangkan yang dimaksud dengan belakang oleh ibunya adalah ruangan
terbuka di belakang rumahnya, di mana terdapat sebuah sumur yang berfungsi
sebagai sumber air untuk mandi, mencuci pakaian,
hingga mencuci perkakas dapur.
Saat hendak
mengambil piring dan sendok di belakang, Rinto melihat sesuatu seperti cahaya
putih di kebun yang berbatasan langsung dengan sisi belakang rumahnya. Lamat-lamat ia menatap cahaya putih itu dengan tajam.
"Astaga!"
Rinto segera masuk
ke rumah. Piring dan sendok pesanan ibunya dibiarkan tergeletak begitu saja.
Seperti orang kesetanan, Rinto berteriak kencang sekali, "KAPAL PUTIH!
KAPAL PUTIH!". Sedang tangannya terus menerus menunjuk ke
arah belakang. Ibu dan kedua kakakknya tak habis pikir melihat tingkah aneh
Rinto.
"Hei! Kapal
putih apa? Kamu ini ngelantur, ya?
Sudah cadel, ngelantur pula
ngomongnya," ibu Rinto memaki dengan teriakan.
Namun Rinto
seperti tuli dan tidak peduli. Masih seperti orang kesetanan, Rinto berlari
keluar rumah melewati pintu depan dan menyusuri sepanjang jalan sembari tak
berhenti meneriakkan kapal putih.
***
Pagi hari. Rumah
Rinto dipenuhi warga. Orang-orang berkerumun menyaksikan mayat korban ke empat
dari keganasan teror harimau putih jadi-jadian. Ibu Rinto meregang nyawa di
ruang keluarga dengan luka gigitan di sisi kanan lehernya. Kedua kakaknya
berhasil selamat meski mengalami cedera serius dan harus diamputasi salah satu
kakinya.
Rinto duduk terdiam
dengan tatapan kosong. Ia mereka ulang peristiwa mencekam yang terjadi semalam
dalam ingatannya. Ia sudah memperingatkan Ibu dan kedua kakaknya. Ia merasa sudah
berteriak dengan jelas: MACAN PUTIH!
Rinto diam.
"Mungkin orang-orang memang tak pernah benar-benar peduli dengan ucapan
orang cadel," batinnya.
*) MIDADWATHIEF, lahir di Banyuwangi. Saat
ini mengambil kuliah jurusan Akidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar