Konon di akhirat kelak, saat hari penghakiman, kita akan dicecar berbagai pertanyaan dan dimintai pertanggungjawaban mengenai segala perbuatan yang kita lakukan selama hidup di dunia. Bukan mulut dan lisan kita yang memberi persaksian, melainkan anggota tubuh kita yang lain: tangan, kaki dan sejenisnya.
Mulut kita bisu (dibisukan). Tangan kita yang 'berbicara'. Saya sempat berkelakar soal ini. Zaman sekarang, di era medsos, sesungguhnya hal itu sudah terjadi. Mulut kita diam, tapi tangan kita yang 'ngomong' lewat status di medsos. Curhat di medsos, doa di medsos, gosip di medsos, mengumpat di medsos.
Barangkali, kelak Facebook dan platform sosia medial juga akan dicecar pertanyaan oleh Tuhan, dimintai persaksian tentang dosa-dosa akun digital di dalamnya. Wallahu a'lam.
Sosmed bisa menjadi dunia alternatif bagi seseorang. Sosmed tidak selalu (kalau tidak bisa dikatakan tidak sama sekali) merupakan cerminan asli watak dan karakter seseorang. Ia, sebagaimana yang saya sebutkan, bisa menjelma menjadi dunia alternatif. Kita bisa menjadi diri kita yang lain. Kita bisa menjadi orang yang tampak bijak. Menjadi diri kita yang ideal.
Maka ada istilah pencitraan.
Pencitraan tidak buruk, sejauh apa yang dicitrakan merupakan kebaikan dan kebenaran yang sesuai dengan karakter kita. Pencitraan ada karena memang manusia, secara naluriah, selalu ingin tampak baik di hadapan manusia lainnya. Dan sosmed, sebagai dunia alternatif, adalah habitat yang cocok untuk pencitraan.
Melalui pencitraan, tujuan kita untuk memiliki harga diri yang baik di depan manusia memungkinkan untuk terwujud.
Menyoal harga diri, sebenarnya tidak hanya melalui pencitraan di sosmed saja. Di dunia nyata, kita juga selalu berupaya untuk membranding diri kita agar tampak baik di hadapan orang lain dan memiliki harga diri yang baik pula. Terlepas branding itu sengaja dibuat-buat untuk suatu hal tertentu atau memang sudah menjadi karakter asli, bukan urusan kita untuk menyibak motif di baliknya. Saya kira kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk menyelidiki alasan di balik perbuatan seseorang. Sebab hal itu rawan membuat kita tergelincir di kubang dalam prasangka buruk. Right?
Saya pun mengalami hal itu: pencitraan, baik di dunia nyata maupun maya. Siapa sih yang tidak ingin dipandang baik oleh sekelilingnya?
Itu normal, naturally. Tapi saya sering merenung: kira-kira, bagaimana harga diri saya di hadapan Tuhan?
Sudahkah kita menjadi makhluk yang baik dan sesuai dengan keinginan Tuhan? Sudahkah kita menunaikan kewajiban kita kepada Tuhan dengan sempurna sehingga harga diri kita bernilai tinggi di hadapanNya? Sudahkah?
Tuhan tidak bisa dibohongi. Maka pencitraan palsu yang dibuat-buat, tidak akan menaikkan harga diri kita di hadapanNya. Alih-alih naik, harga diri kita justru semakin jeblok. Sebab Tuhan Maha Tahu, mana yang tulus, mana yang modus. Tuhan tahu, mana pencitraan, mana citra sesungguhnya.
Lalu bagaimana kita bisa mengetahui tinggi-rendahnya harga diri kita di hadapan Tuhan?
Al-Quran menegaskan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Tuhan adalah mereka yang paling bertakwa kepada-Nya (Al-Hujurat: 13). Takwa berarti menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Nabi Muhammad Saw menambahkan soal itu: bahwa Tuhan tidak melihat rupa dan harta manusia. Tuhan melihat hati dan amal kita.
Maka kita tidak pernah tahu harga diri kita di hadapan Tuhan. Meski begitu, kita dapat mempertanyakan hal itu kepada diri kita sendiri: sudahkah hati dan amal kita bernilai baik di hadapan Tuhan?
Karena indikatornya berupa takwa, maka pandanglah diri kita sendiri. Lihatlah, apa kita sudah taat kepadaNya? Atau jangan-jangan justru lebih sering menerabas laranganNya?
Soal urusan harga diri kita di hadapan Tuhan, sering-seringlah melihat diri sendiri. Jangan justru melihat dan coba-coba menakar harga diri orang lain di hadapan-Nya. Sebab cara Tuhan menilai dan memandang, tidaklah sama dengan cara pandang dan penilaian kita. Bisa jadi kita melihat orang lain buruk, namun justru ialah yang terbaik di hadapan Tuhan, dan sebaliknya. Maka sekali lagi, berhentilah menilai orang lain. Takar dan nilai diri kita sendiri dahulu.
Bersikap dan berbuat agar kita memiliki harga diri yang baik di hadapan manusia adalah wajar dan baik selama tidak merugikan. Namun yang paling penting adalah bersikap dan berbuat agar harga diri kita baik pula di hadapan Tuhan. Itulah yang utama.
By the way, amal kita di media sosial juga mempengaruhi harga diri kita di hadapan Tuhan. Maka sudah sepatutnya pula kita rajin instrospeksi terhadap apa yang sudah kita lakukan di medsos. Sudahkah postingan-postingan kita mencerminkan sikap takwa kepada-Nya pula?
Sudahkah harga diri kita baik di hadapan Tuhan? Mari menengok ke dalam diri kita masing-masing. Kalau saya, sejujurnya belum.
Komentar
Posting Komentar