Langsung ke konten utama

Kesan Ihya': Muqaddimah

Ceritanya, awal September 2021, kami--saya dan saudara-saudara Bani Djunaidi--memulai rutinitas pengajian Ihya' Ulumiddin setiap malam Selasa, dua minggu sekali. Tempat pengajian digilir bebas. Pengajian ini konsepnya santai saja ala NU, sambil nyemil, ngopi, merokok, ngelamun. Teknisnya, beberapa orang didapuk sebagai qari' dan mubayyin yang ditunjuk ditempat untuk membaca beberapa kalimat atau paragraf sekaligus memaparkan penjelasan, kemudian diselingi tanya jawab. Mengalir saja.

Beberapa orang menyarankan saya menuliskan hasil dari pengajian Ihya' Ulumiddin ini. Tapi saya punya gambaran lain. Jika yang ditulis hanya berupa 'terjemahan' dari Ihya', tentu tidak efektif. Sebab banyak terjemahan Ihya' Ulumiddin di mana-mana. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat rubrik Kesan Ihya' ini di blog saya pribadi. Kenapa saya memilih 'kesan'? Pertama, jujur saja, saya tidak dapat memahami semua hal yang tertulis dalam Ihya'. Untuk menghindari saya membicarakan hal-hal yang tidak saya pahami, maka saya hanya akan menyinggung hal-hal yang dapat saya mengerti saja. Kedua, dengan 'kesan', saya tidak berusaha 'menafsiri' kitab ini, tapi hanya menyampaikan apa yang saya rasakan saat mengaji. Sehingga, karena sifatnya yang subyektif, 'kesan' ini akan menjadi sangat pribadi.

Kesan Ihya' nantinya (rencananya) akan saya sajikan dengan format khusus yang terbagi menjadi 3 unsur, yakni hadd sebagai batasan pengajian. Kemudian ada kesan yang menjadi respon subyektif saya secara acak terhadap apa yang dituangkan oleh al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin. Terakhir terdapat highlight yang berisi cuplikan pilihan saya dari kitab Ihya' yang sedang dibahas--bisa jadi itu ayat al-Quran, hadits, atsar, maupun kalam ulama salaf.

Sebab tulisan ini sudah 'telat' hampir 2 bulan dari awal pengajian, maka saya harus segera menulis agar tidak semakin tertinggal. Rencananya, jika lancar, tiap selesai pengajian, saya akan segera memposting Kesan Ihya'. Semoga niat baik ini disambut oleh ma'unah Allah Swt.

Ini adalah Kesan Ihya' edisi pertama.

Had:
Muqaddimah

Kesan:
Setelah memulai kitab dengan pujian kepada Allah Swt dan menghaturkan sholawat kepada Kanjeng Nabi, al-Ghazali memaparkan fakta--yang menjadi salah satu motivasi beliau mengarang Ihya'--meresahkan di era itu. Al-Ghazali mengemukakan bahwa yang dapat menjadi pemandu umat di jalan Allah Swt adalah ulama yang notabene pewaris para nabi. Akan tetapi, di era tersebut (apalagi sekarang?) tidak ada ulama sejati. Tidak ada yang tersisa selain mutarassimuun, orang-orang yang 'tampak' seperti ulama. Mereka ini telah banyak yang terperdaya oleh setan dan terjangkiti sifat-sifat tercela.

فأدلّة الطريق هم العلماء الذين هم ورثة الأنبياء، وقد شغر منهم الزمان ولم يبق ألّا المترسّمون وقد إستحوذ على أكثرهم الشيطان واستغواهم الطغيان

Akhirnya, mereka menganggap yang ma'ruf sebagai munkar dan yang munkar dianggap ma'ruf.

Dampaknya, ilmu akhirat yang oleh Allah disebut sebagai 'fiqh', 'hikmah', 'ilm', 'cahaya', 'terang' dan 'petunjuk' diabaikan dan akhirnya terlupakan, nasiyan mansiyyan. Atas dasar itulah, al-Ghazali tergerak untuk menulis kitab ini, tujuannya untuk menghidupkan dan menggelorakan kembali ilmu-ilmu agama, ihyaa-an li'uluumi al-diin, dan menyibak jalan yang pernah ditempuh oleh para ulama salaf pendahulu.

Kemudian al-Ghazali menerangkan format penyusunan kitab Ihya' yang disebutnya sebagai arba'atul arbaa'. Kitab Ihya' ini dibagi menjadi 4 bagian besar, yakni rub'ul 'ibaadaat yang mencakup 10 pembahasan (ilmu, kaidah-kaidah dalam akidah, rahasia-rahasia bersuci, rahasia sholat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji, adab membaca al-Qur'an, dzikir dan doa-doa, wirid dan waktu-waktunya), lalu rub'ul 'aadat yang mencakup 10 pembahasan (tatakrama makan, pernikahan, kasab alias bekerja, halal dan haram, cara bergaul dan bersosialisasi dengan macam-macam makhluk, uzlah, tatakrama melakukan perjalanan, mendengarkan lagu atau musik, amar ma'ruf nahi munkar, ma'isyah alias mencari penghidupan dan akhlak para nabi), kemudian rub'ul muhlikaat yang mencakup 10 pembahasan (keindahan hati, mendidik hawa nafsu, bahaya dua syahwat--yakni syahwat perut dan kemaluan, bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, bahaya marah dan dengki, mencibir duniawi, mencibir harta dan kekikiran, mencibir pangkat, kedudukan dan riya', mencibir sombong dan ujub, mencibir tipu daya setan), dan yang terakhir rub'ul munjiyaat yang mencakup 10 pembahasan pula (taubat, sabar, syukur, takut dan pengharapan, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakkal, tentang cinta, rindu, rasa nyaman dan kerelaan, tentang niat, jujur dan ikhlas, muraqabah dan muhasabah, tafakkur, ingat mati).

Meski sekilas, al-Ghazali juga memaparkan tinjauan pustaka penulisan Ihya'. Ia memaparkan dengan jujur bahwa banyak ulama di era sebelumnya yang telah mencoba membahas hal-hal yang akan ia paparkan dalam Ihya'. Akan tetapi, setiap ulama tentu memiliki gaya penulisan dan perhatian yang berbeda terhadap apa yang hendak ditulisnya. Ini menjadikan Ihya' tetap berbeda ketimbang karya-karya tasawuf lainnya.

Menurut al-Ghazali, setidaknya ada 5 poin yang membuat Ihya' berbeda dengan karya-karya terdahulu. Pertama, Ihya' mengudari kerumitan-kerumitan pembahasan yang terdapat dalam karya terdahulu sekaligus menjelaskan hal-hal yang masih bersifat umum. Kedua, mengklasifikasi pembahasan-pembahasan yang terpisah dalam karya-karya sebelumnya. Ketiga, meringkas dan merampingkan hal-hal yang bertele-tele dan membuat batasan-batasan terhadap sesuatu yang telah ditetapkan. Keempat, menyisihkan sesuatu yang kerap diulang-ulang sekaligus mencantumkan sesuatu yang luput dicatut dalam karya-karya terdahulu. Kelima, menjelaskan hal-hal yang samar dan rumit secara jelas yang tidak dijelaskan sama sekali dalam karya-karya sebelumnya.

Lebih lanjut, al-Ghazali memaparkan bahwa ilmu yang dapat mengantar seseorang menuju akhirat (ilmu akhirat) terbagi menjadi dua, yakni ilmu mukasyafah dan ilmu mu'amalah. Definisi ilmu mukasyafah menurut al-Ghazali adalah ilmu yang dicari hanya untuk menyibak sesuatu yang diketahui. Sementara ilmu mu'amalah adalah ilmu yang dicari untuk diamalkan--selain untuk menyibak hal yang diketahui pula.

أعني بعلم المكاشفة ما يطلب منه كشف المعلوم فقط. وأعني بعلم المعاملة ما يطلب منه مع الكشف العمل به

Secara tegas al-Ghazali menyatakan bahwa objek material penulisan Ihya' adalah ilmu mu'amalah saja, bukan ilmu mukasyafah. Al-Ghazali mendasarinya dengan argumentasi bahwa ilmu mukasyafah, meskipun penting, tapi tidak pernah dijelaskan secara gamblang oleh para nabi melainkan melalui tamsil dan isyarat semata. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia pada umumnya terlalu sempit untuk menerima ilmu mukasyafah. Oleh karena para ulama adalah pewaris para nabi, maka sudah seyogyanya mereka tidak bergeser dari cara para nabi berdakwah. Sebab itulah dipilih ilmu mu'amalah sebagai objek materialnya. Sementara itu, ilmu mu'amalah sendiri tak lain adalah tentang cara ataupun metode untuk memperoleh ilmu mukasyafah.

Membaca pemaparan 'latar belakang' penulisan Ihya' yang disuguhkan al-Ghazali membuat saya teringat terhadap teknis dan aturan penulisan artikel akademik. Unsur-unsur seperti reason academic, tinjauan pustaka, objek material, dan lain-lain bagi saya menegaskan status al-Ghazali di masa lampau sebagai rektor di Madrasah Nizamiyah di era Nizam al-Mulk. Artinya, Ihya' Ulumiddin ini, meskipun kitab tasawuf, akan tetapi ditulis dan disajikan dengan nuansa akademik yang kental.

Pemilihan ilmu mu'amalah sebagai objek material dan argumentasi yang dijelaskan al-Ghazali juga semakin memperkuat anggapan bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalah khuluqi amali, alih-alih falsafi. Meskipun tentu saja tidak dapat dinafikan bahwa al-Ghazali merupakan salah satu filsuf terbaik dan berpengaruh yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Wallahu a'lam.

Highlight:
أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله سبحانه بعلمه
"Manusia yang paling berat siksanya di hari Kiamat adalah orang alim yang ilmunya tidak diberikan kemanfaatan oleh Allah." (H.R. Thabrani).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...