Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2017

Puisi Pagi

Tanpa berani kupejamkan barang sedetikpun Mata ini menelanjangi hari Ia relakan kelopaknya digagahi mentari Melibatkan diri dalam skema kebahagian pagi Masih tak ada desing mesin-mesin Masih tak ada deru roda-roda Dedaunan menguning Bukan karena tak sedap Sebab hijaunya bercumbu dengan sinar Sang Surya Tuhan menugaskan malaikatnya Mengitari penjuru bumi Mencari manusia yang terjaga di awal hari Baginya rejeki; tiap-tiap pagi Ayam jantan masih berisik Entah untuk siapa ia berkokok Takdirnya memang begitu Teriak sana teriak sini Tiap pagi Sampai serak suara di tenggorok Tuhan tugaskan mentari Bagi rejeki bagi pepohonan yang tumbuh rapi Klorofil-klorofil itu bereproduksi bersama sehaluan cahaya matahari Fotosintesis itu anugerah ilahi Ia rejeki yang menyuplai tenaga bagi akar-akar untuk memeluk bumi Ia gizi bagi batang-batang kokoh untuk tegak berdiri Kemana pula embun yang menunggang dedaunan? Tak kujumpai ia walau sebutir Siapa yang beruntung menghisapnya lebi...

Sekarang Aku, Besok Kamu

Dini hari; saat seorang lelaki tiba-tiba terbangun, beranjak dari tempat tidurnya. Jemarinya merayap-raba di permukaan meja. Pandangannya belum kembali normal seperti seharusnya. Matanya kunang-kunang. Keadaan segera membaik. Lelaki itu beringsut ke atas kursi. Kini ia duduk sempurna menghadap meja. Tangannya mantap menggenggam pena. Di sampingnya, secarik kertas tergeletak begitu saja. Seperti rela digagahi tinta-tinta. "Aku akan menulis cerpen," kata lelaki itu, pada hampa. Seolah sedang memperagakan meditasi konsentrasi, lelaki itu memejamkan mata dalam-dalam. Mengundang energi positif yang berkeliaran di remang-remang malam. "Aku akan menuliskannya..." Air muka lelaki itu berubah cepat, tiba-tiba. Nuansanya rupa-rupa. Seperti ada nuansa cinta, tapi ada pula duka. Ada gembira sekaligus lara. Ada tawa sekalian luka. HIASAN DINDING. Lelaki itu menulis besar-besar judul cerpennya. "Aku akan menulis cerpen." _________________________ Menurutku, aku...

Agama Indonesia

Sejak dulu hingga sekarang, agama merupakan sebuah entitas yang kerap dicomot sekenanya dan diperbincangkan sesukanya oleh berbagai pihak demi meluluskan kepentingannya. Agama yang seharusnya suci dan sakral justru dimanfaatkan serta ditunggangi oleh beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab sehingga menjadi trigger dari setiap perselisihan yang panjang dan berlarut-larut. Ibnu Rushd mengatakan, "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama." Pernyataan ini dapat ditafsirkan dengan beragam. Namun satu hal yang pasti, statement Ibnu Rushd memberikan gambaran betapa mudahnya agama untuk dieksploitasi dan dijadikan kedok terhadap perbuatan batil. Jutaan nyawa terbuang atas nama agama. Jutaan dendam tersulut atas nama agama. Jutaan cekcok terlaksana atas nama agama. Indonesia adalah negara overdosis agama. Nyalakan televisi, maka kalian akan dapati isu-isu kegamaan diberitakan. Kunjungilah Facebook atau media sosial yang lain...

Umur Berapa? Rahasia!

Usia termasuk satu dari beberapa rahasia ilahi yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Seperti halnya rezeki, usia atau umur sudah diatur oleh Tuhan dan tiap-tiap orang memiliki jatahnya masing-masing. Maka ada diantara kita yang diberi jatah usia hingga ratusan tahun, bahkan lebih. Ada pula yang hanya diberi kesempatan hidup sehari atau bahkan kurang. Dalam perkembangannya, selain sebagai indikator waktu seseorang semenjak dilahirkan, usia ternyata juga menjadi tolak ukur kualitas pemikiran dan sikap seseorang. Muncullah istilah usia mental. Usia mental tidak memiliki acuan ukur resmi yang terstandar. Namun ia bisa diketahui dengan membandingkan usia hidup seseorang dan cara mereka dalam menyikapi berbagai persoalan. Seseorang yang sudah berusia 30 tahun tapi menangis meronta-ronta saat kawannya merebut permen miliknya dapat dikatakan memiliki usia mental rendah. Taksir saja, paling mentok usia mentalnya hanya 5 tahun. Pun sebaliknya, jika kita temui seorang bocah yang hidungnya ma...

Macet; Budaya Ibu Kota

Jika terdengar kata 'macet', yang pertama kali muncul dibenak pastilah gambaran keruwetan lalu lintas Ibu Kota. Jakarta, sedari dulu, memang identik dengan kemacetan. Faktor penyebabnya sangat beragam. Sebagai kota yang menjadi poros terbesar berputarnya uang di Indonesia, Jakarta adalah magnet yang menarik jutaan manusia untuk turut mengais rizki di dalamnya. Orang-orang luar Jakarta berduyun-duyun memadati Ibu Kota. Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa waktu adalah uang. Time is money. Adagium itu terasa sekali di Jakarta. Anda akan menemui ribuan orang rela berdesak-desakan di jalanan, tumplek blek jadi satu dalam kemacetan. Alasannya tentu rupa-rupa. Mulai takut terlambat kerja, takut kehilangan pekerjaan, takut melewatkan kesempatan dan lain sebagainya. Secara umum alasan mereka dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Dari berbagai sumber yang saya baca, Ibu Kota seperti 'belum' siap untuk menuntaskan masalah kemacetan ini. Bahkan dalam beberapa artikel, me...