Langsung ke konten utama

Macet; Budaya Ibu Kota

Jika terdengar kata 'macet', yang pertama kali muncul dibenak pastilah gambaran keruwetan lalu lintas Ibu Kota. Jakarta, sedari dulu, memang identik dengan kemacetan. Faktor penyebabnya sangat beragam.

Sebagai kota yang menjadi poros terbesar berputarnya uang di Indonesia, Jakarta adalah magnet yang menarik jutaan manusia untuk turut mengais rizki di dalamnya. Orang-orang luar Jakarta berduyun-duyun memadati Ibu Kota.

Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa waktu adalah uang. Time is money. Adagium itu terasa sekali di Jakarta. Anda akan menemui ribuan orang rela berdesak-desakan di jalanan, tumplek blek jadi satu dalam kemacetan. Alasannya tentu rupa-rupa. Mulai takut terlambat kerja, takut kehilangan pekerjaan, takut melewatkan kesempatan dan lain sebagainya. Secara umum alasan mereka dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi.

Dari berbagai sumber yang saya baca, Ibu Kota seperti 'belum' siap untuk menuntaskan masalah kemacetan ini. Bahkan dalam beberapa artikel, mereka menyematkan gelar 'hampir mustahil' untuk penyelesaian kemacetan yang sekan sudah menjelma sebagai sebuah budaya di Ibu Kota.

Kemacetan terjadi karena berbagai hal. Diantaranya adalah sarana dan fasilitas angkutan kendaraan umum yang belum memadai dan memuaskan, volume kendaran yang terus meningkat alias overload, tata ruang (khususnya perihal lalu lintas) yang kurang efektif dan tentu saja kesadaran pengguna jalan yang masih minim.

Singapura juga negara padat. Tapi mereka mampu menerapkan berbagai aturan dengan sangat ketat serta dipraktekkan oleh penduduknya dengan sangat taat. Demi mengatasi kemacetan lalu lintas, pemerintah Singapura melakukan berbagai antisipasi. Mulai dari pajak mobil yang tinggi, biaya parkir kendaraan yang mahal, aturan plat nomor khusus (misalnya dengan warna tertentu, plat hitam bisa berarti weekday car alias mobil ini hanya boleh melintas saat weekend saja dan lain-lain), penyediaan layanan publik terkait urusan lalu lintas nomer satu hingga sarana transportasi yang memadai dan memuaskan.

Tidak, saya tidak pernah bermaksud untuk mendiskreditkan kinerja pemerintahan kita dan memaksanya untuk berkiblat kepada Negara Tetangga. Saya hanya curhat saja, tidak lebih (sekaligus mewakili curahatan hati beberapa orang yang senasib). Kalau pemerintah kita punya usulan solusi yang lebih menarik dan brilian, kenapa tidak? Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendukungnya semampu saya. Asalkan pemerintah benar-benar serius untuk memiliki niatan serta iktikad yang baik untuk membenahi permasalahan Ibu Kota kita.

Meski begitu, saya akan berusaha menikmati kemacetan ini dengan cara saya sendiri. Ambillah keindahan dalam segala keburukan. Selalu ada sebenang hikmah dalam selembar kain kesewenang-wenangan. Lihat sekeliling, pandangi tingkah laku para pengguna jalan, niscaya kalian akan mendapatkan setidaknya hiburan di tengah kemacetan. Seperti yang saya lakukan pagi ini. Saat saya terjebak di kemacetan pagi, saya menikmati ketenangan seorang pengendara yang karena saking lamanya ia menunggu giliran jalan, malah asyik menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, seolah tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Ada juga seorang gadis (lihat foto) yang tampaknya akan berangkat menuju sekolah, dengan cermat serta efisien plus efektif memanfaatkan moment kemacetan ini untuk berhias diri, menyempurnakan detail-detail kecil yang dirasa belum atau kurang sempurna. Ia menarik kecil simpul kerudungnya sampai batas cantik dan pas menurutnya sendiri sembari memanfaatkan fungsi spion sepeda motor yang ditumpangi sebagai media bercermin dan memantaskan diri. Ada pula yang berjualan lemper ayam ditengah kerumunan macet, dan masih banyak lagi yang bisa menghibur waktu sia-sia kalian saat macet. Atau kalau kalian tidak sudi melakukan obesrvasi ke sekeliling, kalian bisa berlatih olah vokal dengan menutup rapat-rapat jendela mobil sambil mengeraskan volume music, satu dua tiga, bibir anda otomatis ikut bernyanyi, kualitas suara anda meningkat secara tidak terduga.

Jika ada yang harus kita lakukan dan itu baik sekaligus menghibur, kenapa kita harus ikut-ikutan merengut sembari memaki-maki pengendara lain yang kalian anggap kurang tertib saat berlalu-lintas?

Semua ada bagiannya masing-masing dan tugas kita hanya mensyukuri dan menikmatinya. Termasuk kemacetan ini. Maka nikmatilah.

Semoga Jakarta semakin baik.

(Tulisan ini dibuat tanpa pretensi. Tidak ada kecondongan terhadap salah satu Cabup-Cawabup DKI, dan percayalah, saya tidak mendapatkan bayaran dari mereka atas tulisan remeh ini. Meski begitu, saya tetap menikmati)

Ditulis di Pom Bensin, saat menanti macet surut, Senin pagi 9 Januari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...