Usia termasuk satu dari beberapa rahasia ilahi yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Seperti halnya rezeki, usia atau umur sudah diatur oleh Tuhan dan tiap-tiap orang memiliki jatahnya masing-masing. Maka ada diantara kita yang diberi jatah usia hingga ratusan tahun, bahkan lebih. Ada pula yang hanya diberi kesempatan hidup sehari atau bahkan kurang.
Dalam perkembangannya, selain sebagai indikator waktu seseorang semenjak dilahirkan, usia ternyata juga menjadi tolak ukur kualitas pemikiran dan sikap seseorang. Muncullah istilah usia mental. Usia mental tidak memiliki acuan ukur resmi yang terstandar. Namun ia bisa diketahui dengan membandingkan usia hidup seseorang dan cara mereka dalam menyikapi berbagai persoalan.
Seseorang yang sudah berusia 30 tahun tapi menangis meronta-ronta saat kawannya merebut permen miliknya dapat dikatakan memiliki usia mental rendah. Taksir saja, paling mentok usia mentalnya hanya 5 tahun. Pun sebaliknya, jika kita temui seorang bocah yang hidungnya masih dilumuri ingus berumur 5 tahun dengan bijak mendahulukan teman-temannya saat gurunya sedang membagi-bagikan permen, bisa kita anggap ia memiliki usia mental yang lebih tua dibanding usia hidupnya.
Meski begitu, lazimnya usia hidup seseorang akan memengaruhi usia mentalnya. Sebab semakin lama seseorang hidup, semakin banyak pula ia belajar. Dari pembelajaran dalam hidupnya, mental dan karakternya terbentuk sedikit demi sedikit.
Ada sebuah kalam hikmah dalam bahasa Arab yang tidak saya ketahui siapa yang mengucapkannya, "Laisa min al-muru-ati
an yukhbiro ar-rojulu bi sinnihi li annahu in kaana shoghiiron, istahqoruuhu. Wa in kaana kabiiron, istahromuuhu". Kurang lebih bermakna: Bukanlah termasuk menjaga harga diri, seseorang yang memberi-tahukan usianya. Sebab jika ia muda, orang-orang akan meremehkannya. Dan apabila tua, orang-orang akan menganggapnya renta.
Kalam ini, dalam satu sisi menunjukkan adanya kesesuaian antara usia hidup dengan usia mental. Hal ini tertuang dalam kasus ketika kita memberitahu usia muda kita. Orang-orang cenderung akan menganggap remeh yang usianya lebih muda, sebab mereka menyangka bahwa lazimnya, yang berusia muda juga memiliki usia mental yang muda pula. Padahal hal ini tidak sepenuhnya benar. Sedangkan dalam menanggapi usia seseorang yang sudah tua, orang-orang lebih menilai kekuatan fisiknya. Maka langkah yang lebih baik adalah merahasiakannya. Hal itu dinilai lebih bisa menjaga harga diri kita agar tidak dipandang sebelah mata.
Namun fakta yang saya temui, kebanyakan orang lebih suka mengaku berusia lebih muda saat ditanya perihal umur. Lebih-lebih mereka yang belum menikah alias jomblo. Lebih-lebih jika yang bertanya adalah lawan jenisnya. Alasannya sederhana saja, mereka takut dianggap tidak laku. Dengan usia yang seharusnya sudah beristri atau bersuami, kok masih saja betah hidup sendiri. Nah.
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa perihal menikah dan mendapat jodoh juga termasuk dari rahasia ilahi yang tidak dapat kita ketahui kapan pastinya, di mana tempatnya dan dengan siapa orangnya. Bisa jadi kita menikah saat berusia belia, bisa saja kita bertemu dengan jodoh kita dengan cara tidak sengaja seperti dalam kisah-kisah yang terdapat dalam FTV, bisa jadi jodoh kita memiliki kriteria yang tidak sesuai dengan standar jodoh yang sudah diangan-angankan dan dicanang-idamkan sejak jauh-jauh hari. Bisa jadi.
Namun kembali saya harus jujur, bahwa setiap kali ada orang yang bertanya kepada saya tentang usia, saya akan menjawabnya dengan usia yang lebih muda. Alasannya sederhana saja, agar mendapatkan pasangan yang usianya juga jauh lebih muda, sebab saya lelaki. Lalu kalau kalian melabrak saya dengan statement yang saya ungkapkan di atas bahwa jodoh adalah rahasia ilahi sehingga saya tidak punya wewenang untuk menentukan siapa-siapanya dan kapan waktu datangnya, saya akan menjawab dengan santai saja: "Namanya juga ikhtiar.... Gitu aja kok repot."
Pada akhirnya, kembali saya harus mengutip dawuh Mahaguru saya yang meski berulangkali saya comot dan kutip dalam berbagai tulisan dan berbagai persoalan, tetap saja saya harus mengutipnya lagi kali ini. Sebab saya rasa, dawuh beliau masih sangat relevan dengan pembahasan tulisan ini.
"Setiap orang punya bagiannya masing-masing. Maka nikmatilah bagianmu."
Bekasi, 11 Januari 2017.
saya mengamini kata2 hikmahnya aja gus
BalasHapus