Sejak dulu hingga sekarang, agama merupakan sebuah entitas yang kerap dicomot sekenanya dan diperbincangkan sesukanya oleh berbagai pihak demi meluluskan kepentingannya. Agama yang seharusnya suci dan sakral justru dimanfaatkan serta ditunggangi oleh beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab sehingga menjadi trigger dari setiap perselisihan yang panjang dan berlarut-larut.
Ibnu Rushd mengatakan, "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama."
Pernyataan ini dapat ditafsirkan dengan beragam. Namun satu hal yang pasti, statement Ibnu Rushd memberikan gambaran betapa mudahnya agama untuk dieksploitasi dan dijadikan kedok terhadap perbuatan batil. Jutaan nyawa terbuang atas nama agama. Jutaan dendam tersulut atas nama agama. Jutaan cekcok terlaksana atas nama agama.
Indonesia adalah negara overdosis agama. Nyalakan televisi, maka kalian akan dapati isu-isu kegamaan diberitakan. Kunjungilah Facebook atau media sosial yang lain, kalian akan temui pembicaraan-pembicaraan mengenai keagamaan yang dibahas penuh emosi hingga serupa perang urat syaraf tingkat tinggi. Dan yang membuat miris, pembicaraan-pembicaraan mengenai keagamaan itu lebih banyak dibumbui oleh debat kusir yang menjenuhkan. Mereka hanya saling melempar kebencian. Tidak mencari kebenaran.
Saat bangsa-bangsa lain sudah mencapai bulan dan melakukan penelitian mengenai kemungkinan hidup di Mars, Bangsa Indonesia justru masih terjebak dalam kubangan permusuhan berkedok agama. Saat negara-negara lain bahu membahu memperkuat ekonomi dan pendidikan, Negara Indonesia justru saling menggembosi diri dengan benturan-benturan agamawi. Inilah wajah negara kita. Inilah Indonesia. Jika terus dibiarkan, keadaan ini akan membuat Indonesia semakin tertinggal jauh oleh bangsa lain.
Siapa yang patut disalahkan? Tidak ada. Kalaupun ada, yang patut disalahkan adalah masing-masing dari kita yang masih mengaku berbangsa Indonesia. Sebagai mayoritas, umat Islam musti tampil sebagai pioneer terdepan yang dengan gagah dan penuh kasih sayang mengayomi saudara-saudara sebangsanya yang berlainan dalam hal keyakinan. Bukan justru sebaliknya memasang wajah galak dan menindas mereka yang minoritas. Yang minoritas pun harus pula bersikap begitu. Santun dan menghormati yang mayoritas. Jangan sesekali menyulut api yang mampu mengobarkan kemarahan kaum mayoritas. Konsep mayoritas-minoritas harus terbungkus dalam kemasan kakak-adik. Sehingga yang menjadi tali persaudaraannya adalah Indonesia. Ya, meski beda dalam keyakinan, kita berada dalam atap yang sama. Atap sebuah keluarga besar bernama Indonesia.
Sebagaimana pernyataan Bung Karno dalam bukunya, 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia';
"Pada dasarnya, kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakyat yang tahu akan kewajiban kami terhadap Tuhan. Kita dapat mengamati hal ini di Bali, di mana seni dan tradisi sama sekali dipersembahkan kepada Yang Maha Kuasa. Bila kita berjalan-jalan di kampung-kampung di Jawa Barat, setiap petang akan terdengar alunan ayat-ayat Alquran. Di Jawa Tengah berdiri sebuah monumen dari kehidupan spiritual yang tinggi nenek moyang kami. Itulah candi Prambanan yang menandai puncak peradaban Hindu. Lima puluh kilometer dari tempat itu terdapat candi Borobudur, kompleks candi Buddha yang terbesar di seluruh dunia. Ada banyak mesjid dan gereja di setiap dusun. Bangsa Indonesia dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tidak menjadi soal jalan kepercayaan mana yang kami lalui, kami mengaku hanya kekuasaan Tuhan-lah yang dapat membuat kami bertahan melalui berabad-abad penderitaan kami. Kami adalah bangsa agraris dan apa yang membuat segala sesuatu tumbuh? Tuhan, Yang Maha Pencipta! Kami menerima hal ini sebagai kenyataan hidup."
Perhatikan pernyataan Bung Karno, 'Bangsa Indonesia dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan'. Ragam rupa beda ini adalah rahmat dan anugerah dari Yang Maha Kuasa. Bukan sebuah modal yang ditanamkan untuk kemudian menghasilkan buah-buah permusuhan dan menghalalkan penistaan atas dasar perbedaan agama.
Kolonial Belanda sukses menjajah kita bertahun-tahun berkat propaganda divide et impera yang dilancarkan. Memang benar, adu domba adalah cara paling efektif dan efisien untuk merusak persatuan tidak hanya bagi sebuah bangsa, namun bagi apapun, semuanya. Kita dikotak-kotakkan dalam Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain-lain. Jangan sampai saat ini kita mau dikotak-kotak oleh Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan Konghucu. Ini adalah neo divide et impera yang dilancarkan kembali oleh neo-kolonialisme.
Usaha terbaik untuk menyudahi persoalan ini adalah dengan menanamkan rasa solidaritas internasionalisme atau kemanusiaan. Humanisme kebangsaan adalah titik temu. Ia adalah jalan damai. Bagaimanapun kita adalah manusia Indonesia yang berpegang teguh pada 'Persatuan Indonesia' dan 'Kemanusiaan yang adil dan beradab' serta 'Berketuhanan yang Maha Esa' meski dalam bingkai agama, kita memiliki jalan yang berbeda-beda.
Mari beragama yang baik. Mari berindonesia yang baik.
Salam.
Komentar
Posting Komentar