Seperti kebanyakan masalah yang kerap kali dialami oleh orang-orang yang begadang, malam itu, saya dan beberapa kawan terserang 'penyakit' alami; lapar tengah malam. Segera dipilih-lah tempat untuk menyembuhkannya; burjo alias warmindo -warung mie indomie. Alasan kenapa memilih warmindo sudah terang dan nyata; sehat bagi kantong. Klise namun baik.
Diantara gerombolan kawan yang terjangkit kelaparan malam itu, rupanya hanya saya yang memesan nasi. Dua orang memilih untuk menyantap mie instan, seorang lagi memercayakan tugas pengganjal perut yang berderit kepada sepiring omelet lokal ala warmindo.
Usai rampung melahap nasi, saya segera menyambar sebatang tembakau -sebab bagi perokok, salah satu waktu paling nikmat untuk menghisapnya adalah pasca makan pas.
Belum habis sebatang, tiba-tiba perut saya bermasalah, mules. Toilet di sudut warung melambai-lambaikan daun pintunya. Memanggil saya agar mendiaminya segera. Dan saya patuh. Sebelum menyatroni toilet, tak lupa saya berbekal sebatang rokok yang baru lagi untuk menemani saya selama be a be (BAB!).
FYI, termasuk waktu paling nikmat yang lain lagi untuk menghisap rokok adalah saat BAB berlangsung. Alasan saya untuk merokok saat BAB sebenarnya bukan melulu itu. Saya adalah orang yang punya kebiasaan untuk menjadikan rokok sebagai patokan waktu. Mau tidur, sebatang dulu. Mau bergegas, sebatang dulu. BAB pun lama waktunya rata-rata sebatang tembakau.
Sudah menjadi rahasia umum kalau saat BAB adalah salah satu waktu yang paling baik untuk merenung. Bahasa kekiniannya, BAB itu renunganable. Tubuh duduk terjongkok, tatapan mata kosong kedepan, mulut mengapulkan asap, dan urusan eksekutor BAB, percayakan saja pada (maaf) pantat. Yakinlah ia (pantat) tak pernah gagal dalam mengemban tugasnya.
Di tengah lamunan nan asyik itu, tiba-tiba perhatian saya terganggu saat pintu berbunyi seperti ada yang menggedor dari luar. Kait pintu yang mengunci sedikit bergeser. Seketika itu pula, ritual BAB saya tak lagi khidmat dan kehilangan nilai esensinya yang agung.
Karena tak lagi khusyu', lamunan saya pun kacau. Segera saya sudahi saja ritual BAB di warmindo malam itu, meski saya paham, pantat saya sebenarnya masih memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyempurnakan tugasnya, sebab sebatang rokok belum juga ludes. Namun karena gangguan non teknis yang tak terukur prediksi itu, saya memaksanya untuk bergegas menyudahi tugasnya.
Sekedar info, warmindo yang saya singgahi malam itu memang memiliki ukuran yang lebih besar dan pengunjung yang lebih ramai ketimbang warmindo lain kebanyakan. Namun sayangnya, hanya ada satu toilet yang dapat digunakan. Menurut saya, idealnya harusnya ada 2 sampai 3 toilet untuk warmindo sebesar itu.
Lamunan saya ternyata tetap berlanjut meski sudah tidak BAB lagi. Tema lamunan saya saat itu menyisir seputar BAB dan sekitarnya.
Pengalaman saya saat digedor pintu di tengah-tengah BAB berlangsung membuat saya berkesimpulan bahwa BAB merupakan sebuah prosesi alamiah yang harus dilaksanakan dengan penuh ketenangan dan kekhidmatan agar memperoleh kualitas BAB yang benar-benar optimal.
Ini serius. Kita seringkali menganggap BAB sebagai proses alamiah yang menjijikkan dan sebuah hal yang tabu untuk diperbincangkan, lebih-lebih didiskusikan (paling-paling, hanya orang-orang berlatarbelakang pendidikan medis yang sudi menjadikannya sebagai wacana diskusi). Padahal jika kita mau mengakui dan menyadari, saya kira, BAB merupakan salah satu representasi nikmat terbesar yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Melalui BAB, kita bisa merasakan kelegaan dan kepuasan luar biasa yang tidak dapat dibandingkan atau ditukarkan dengan apapun di dunia ini.
BAB juga menjadi salah satu kebutuhan primer. Bahkan paling primer -nomor satu- saat tiba saatnya. Saya sering kali membayangkan betapa meski seorang presiden yang tengah berpidato di hadapan ribuan orang dalam seminar internasional, atau saat memberikan wejangan di depan para menterinya dalam sebuah rapat darurat nan tertutup-pun tak akan sanggup menunda panggilan BAB jika hasrat BAB-nya sudah diujung tanduk. Sepenting apapun anda, seresmi apapun pekerjaan anda, jika BAB sudah memanggil, niscaya anda tidak akan mampu menduakannya dengan lain hal. Sebab menunda -apalagi menduakan- BAB amatlah beresiko. Jika anda siap malu, mungkin itu tak jadi soal.
Karena ketenangan menjadi harga mati dalam konteks ritus BAB, maka toilet umum atau toilet di warung-warung sering kali menjadi tempat yang kurang baik untuk menyelenggarakan BAB. Sebab kita tidak mampu memperkirakan ragam gangguan yang datang dari luar, seperti salah satunya, gedor-gedor dari calon pemakai toilet lainnya. Bagaimanapun, toilet rumahan adalah tempat terbaik untuk memperoleh maqam tertinggi dalam pencapaian 'rasa lega' BAB yang sempurna.
Tulisan ini, meski mungkin dirasa tidak penting dan dianggap sedikit tabu, setidaknya bertujuan untuk memberikan pengertian yang dalam bahwa BAB, selain juga merupakan salah satu tipikal nikmat yang teramat besar, juga sekaligus sebagai salah satu bentuk nikmat yang amat jarang disyukuri.
Semoga tulisan ini meningkatkan rasa syukur kita terhadap Tuhan atas anugerah berupa BAB yang tiap-tiap hari dicurahkan bagi hamba-hambaNya yang lemah lagi lalai. Amin.
Komentar
Posting Komentar