Langsung ke konten utama

Cita-Cita

Seorang dosen yang baru pertama kali mengajar di kelas kami--setelah memberi ceramah motivatif dan menyampaikan kontrak belajar--menanyai nama, asal daerah, dan sekolah kami sebagaimana lazimnya dosen lain saat tatap muka perdana.

Tapi ada yang beda. Bapak dosen ini juga meminta untuk menyebutkan cita-cita yang kami impikan. Hanya satu cita-cita. Untuk acara perkenalan di jenjang Sekolah Dasar dan SMP, mungkin ini wajar. Namun di bangku perkuliahan semester tiga, pertanyaan ini menjadi aneh. Suasana kelas mendadak riuh.

"Saya hanya ingin tahu saja kalian ingin jadi apa," kata Pak Dosen.

Tentu saja jawaban-jawaban yang muncul sangat beragam dan saya kira, hampir di antara kami semua menjawab dengan asal-asalan. Ada yang memiliki cita-cita menjadi presiden, dosen, tentara, pengusaha, rektor UIN, bahkan waliyullah!

Saat menunggu giliran ditanya, saya sempat memikirkan apa yang harus saya jawab. Dan, jujur saja, saya bingung harus menjawab apa. Barangkali saya mengalami disorientasi hidup. Haha.

Saya menimang antara penulis, penyair, pengajar, dan pengusaha sebagai pilihan cita-cita. Lagi-lagi saya merasa profesi-profesi itu tidak benar-benar saya cita-citakan.

Tibalah giliran saya. Setelah menyebut nama, daerah, dan asal sekolah, saya menyampaikan cita-cita saya: "Saya ingin menjadi wakil presiden!" Lalu saya nyengir.

Tentu saja saya bercanda. Jawaban itu adalah satire untuk seorang politikus yang punya cita-cita menjadi wakil presiden sampai memajang foto dirinya lengkap dengan 'cita-cita'-nya sebagai wakil presiden. Eh, rupanya satire saya gagal. Baik dosen maupun teman-teman, menganggap saya menjawab dengan serius. Mereka tidak tertawa dan pasang mimik muka biasa saja. Entah karena mereka yang tidak ngeh, atau satire saya yang kurang manjur. Padahal saya kira, modal nama saya juga sudah mirip dengan si politikus. Nama saya Imdad, boleh juga lah dipanggil Cak Iim. Sebelas dua belas lah ya dengan si doi. Sama-sama berkacamata pula. Haha.

Pasca perkuliahan hari itu usai, sesampainya di kos, saya mengingat-ingat kembali kejadian itu dan mencoba mencari secara serius apa yang saya cita-citakan.

Berbagai profesi saya kumpulkan dan saya cocokkan dengan karakater diri. Benarkah saya ingin menjadi penulis? Bukankah kadang-kadang saya juga berhasrat ingin menjadi pengusaha? Ah, tidak. Saya kira pengajar adalah cita-cita yang sesuai dengan diri saya. Duh, tapi sebenarnya passion saya ada di dunia tulis menulis.

Dan terus begitu sampai saya akhirnya harus mengakui bahwa saya kembali gagal menentukan cita-cita saya. Jika menentukan saja sudah gagal, bagaimana bisa mencari? Apalagi meraih...

Belum terima dengan kegagalan, saya kembali berusaha mencari cita-cita saya. Kali ini lebih dari serius, dua rius.

Saking seriusnya, saya sampai rela membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengentri 'cita-cita'.

KBBI edisi V memberikan dua buah definisi tentang cita-cita. Pertama adalah
keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran. Kedua adalah tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan).

Dari definisi pertama yang ditawarkan KBBI, saya memilah cita-cita menjadi dua bagian. Ada cita-cita jangka pendek, ada cita-cita jangka panjang. Setiap orang pasti punya keinginan yang selalu ada dalam pikirannya. Tapi jangka waktu tentu akan memberi pengaruh dan menjadi garis demarkasi. Makan, misalnya, termasuk cita-cita jangka pendek. Mempunyai Lamborghini adalah contoh dari cita-cita jangka panjang.

Dan itupun relatif. Menikah, misalnya. Bagi sebagian orang, mungkin itu cita-cita jangka pendek. Namun bagi seorang jomblo akut stadium 4, menikah adalah kemewahan yang tentu saja menjadi cita-cita paling purna dari segala yang ingin ia capai.

Definisi kedua dari KBBI justru mengingatkan saya pada teori teleologis-nya Aristoteles. Bapak buyut filosof itu membagi tujuan manusia menjadi dua. Pertama adalah tujuan non-final yang hanya menjadi wasilah bagi tercapainya tujuan lain, seperti uang, rumah, pendidikan, dan lain sebagainya.Kedua adalah tujuan hakiki, yang menjadi akhir dari tujuan manusia, yakni kebahagiaan. Meski lagi-lagi, soal kebahagiaan itu tentu bersifat relatif sesuai interpretasi masing-masing orang.

KBBI ternyata tidak seperti slogan pegadaian. Belum selesai masalah cita-cita, malah menambah masalah di lain hal seputarnya. Walhasil saya kembali gagal menemukan cita-cita saya.

Tepat di ujung kegagalan, saya serasa mendapat ilham dan akhirnya menemukan apa yang menjadi cita-cita saya!

Karena tidak ada yang mustahil, saya katakan kepada diri saya bahwa cita-cita saya adalah "Menjadi orang yang tidak mempunyai cita-cita."

Hal ini berarti dua kemungkinan. Kemungkinan pertama berarti saya tidak memiliki keinginan dan tujuan. Pasti ada yang menyangkal bahwa mustahil bagi seseorang tidak punya keinginan.

Kemungkinan kedua berarti segala yang saya inginkan akan tercapai. Pasti juga masih ada yang menyangkal. Segala yang kau inginkan tercapai, memang situ Tuhan? Mustahil, lah...

Padahal saya sudah katakan bahwa tidak ada yang mustahil. Yang mustahil tentu tidak ada. Yang ada tentu tidak mustahil. Bingung?

Saya sudahi saja sampai di sini. Setiap orang yang sukses dan sudah mencapai cita-citanya, di baliknya pasti ada banyak orang yang mencibir bahwa mustahil ia dapat meraihnya. Hidup kita akan jalan di tempat, waktu dan energi akan mubadzir jika kita gunakan untuk meladeni orang-orang yang mencibir kita.

Kata Via Vallen, dalam theme song Asian Games, kita harus fokus, terus fokus pada titik itu. Apapun cita-cita yang kita miliki, tugas kita hanya harus selalu fokus mengarah ke situ. Dan cara paling mudah untuk fokus adalah dengan menikmati proses.

Ada yang bilang, "Gantunglah cita-citamu setinggi bintang, jikalau meleset, setidaknya kau akan jatuh di antara rembulan."

Pelajaran yang bisa kita ambil: Kalau punya cita-cita harus yang tinggi, jangan nanggung. Harusnya cita-cita itu jadi presiden. Kalau meleset ya bisa lah jadi wakil presiden.
Kalau cita-citanya jadi wakil presiden terus meleset? Ya jatuhnya jauh...

Ngomong-ngomong, orang yang punya cita-cita jadi wakil presiden, justru nggak jadi. Yang semula hanya wakil gubernur, lewat proses nganu, malah bisa naik jadi calon wakil presiden. Tuhan Maha Asyik!

Di sini kita tahu, untuk meraih cita-cita, tidak hanya modal fokus saja, melainkam juha dibutuhkan banyak doa. Eta terangkanlaaah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...