Tulisan ini saya buat sebagai kenang-kenangan acara Annual Conference yang diselenggarakan oleh jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari Kamis, 13 September 2018, bertempat di Gedung Teatrikal Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Mengangkat tema "Kontribusi Akidah dan Filsafat Islam bagi Kemanusiaan di Era Milenial", kongkow ilmiah ini dinarasumberi oleh Dr. Haidar Bagir (Direktur Utama Penerbit Mizan, Bandung), Dr. Kholid Al-Walid (Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta) dan Kaprodi kami yang meski namanya tercantum sebagai narasumber, namun perannya lebih ke moderator, Dr. Roby Habiba Abror.
Setelah hiburan pra-acara berupa pembacaan sholawat diiringi grup rebana dadakan dari prodi Akidah dan Filsafat Islam (AFI), acara yang sejatinya dijadwalkan mulai pukul 08.00 molor beberapa menit karena menanti Pak Haidar Bagir yang belum datang--mungkin terjebak macet atau beliau kecapekan karena sehari sebelumnya juga menjadi narasumber seminar di UGM.
Begitu Pak Haidar Bagir datang, acara segera dimulai. Pasca pembacaan ayat-ayat suci Alquran dan sambutan dari Kaprodi, dua narasumber kami--sudah saya katakan, sebenarnya tercantum tiga nama narasumber, tapi Pak Roby memoderatorkan diri--memaparkan pidato seputar tema. Pak Haidar mendapat giliran pertama.
Pelopor gerakan Islam Cinta dan penulis produktif itu memulai pidatonya dengan menyadur gagasan Almarhum Stephen Hawking soal artificial intelligence.
Menurut Hawking, artificial intelligence yang tumbuh dan berkembang secara masif berpotensi menepikan peran manusia di alam jagat raya.
Kalau diartikan bebas, artificial intelligence berarti kecerdasan artifisial, kecerdasan buatan, kecerdasan palsu dan bla bla bla. Sederhananya berarti teknologi.
Sebelum dijemput oleh Malaikat Maut--meski kita ketahui bersama bahwa Hawking tidak mempercayai hal-hal gaib semacam itu--Stephen Hawking sempat memprediksi bahwa kelak di masa depan, peran manusia akan tergantikan oleh artificial intelligence. Jika ditilik, ada benarnya juga opini pesohor fisikawan tersebut. Teknologi berkembang semakin cepat tanpa bisa dihambat.
Dulu misalnya, peran sebagai Tukang Pos yang mengirim surat masih banyak. Sekarang sudah mulai tereduksi. Digantikan oleh gadget. Contoh lain, di beberapa restoran luar negeri sudah banyak yang memanfaatkan tenaga robot sebagai juru masak hingga waitress. Seratus tahun lalu, mustahil bagi kita untuk menatap muka seseorang yang sedang bejarak ribuan kilometer secara live. Hari ini, via video call, hal itu dapat dengan mudah kita lakukan.
Teknologi dan kemudahan-kemudahan yang disajikannya ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi ia mempermudah sekaligus mempercepat pekerjaan manusia. Di lain sisi ia sejatinya menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Anda bayangkan saja, dengan percepatan teknologi seperti sekarang, bukan mustahil beberapa tahun mendatang segala pekerjaan akan diambil alih oleh robot. Sementara manusia akan menjadi pengangguran secara berjamaah!
Imbas negatif lainnya, teknologi mampu mengikis rasa kemanusiaan. Saya kira tak perlu dijelaskan bagaimana itu terjadi. Semua sudah paham.
Maka jangan heran jika suatu saat akan datang sebuah era di mana ramalan Stephen Hawking terjadi.
Gagasan Hawking yang dipaparkan oleh Pak Haidar sejenak membuat saya dipenuhi rasa pesimis dan keprihatinan mendalam terhadap nasib manusia di masa depan. Saya khawatir tentang nasib anak cucu kelak. Saya khawatir keturunan saya hidup tanpa mengenal tetangganya sendiri, tidak memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Saking khawatirnya terhadap anak cucu, saya sampai lupa kalau saya belum menikah! Boro-boro anak cucu, menikah saja belum! Walhasil kekhawatiran saya tak lebih sebagai angan-angan kosong belaka. Lebih baik saya mengkhawatirkan nasib saya sendiri yang masih menjomblo dan tak laku-laku. Saya kira itu lebih realistis!
"Tapi saya tidak setuju dengan Stephen Hawking," tutur Pak Haidar.
Pak Haidar justru menanggapi positif isu 'ancaman' artificial intelligence. Menurutnya, kelak ketika semua pekerjaan yang biasa manusia lakukan tergantikan oleh teknologi dan manusia menjadi pengangguran, justru saat itulah manusia menjadi manusia yang sebenarnya!
Bagaimana itu bisa terjadi?
Ketika manusia sudah tidak melakukan pekerjaan yang sifatnya fisik dan intelektual, ia tidak akan sibuk lagi memikirkan hal-hal duniawi dan profan. Manusia akan lebih fokus menggarap dimensi spiritual yang sakral.
Orang-orang akan menghabiskan waktu untuk beribadah dan mengasah kemampuan intuitifnya. Dimensi ini tentu saja tidak dimiliki oleh artificial intelligence (AF).
Pernyataan Pak Haidar ini diamini oleh Pak Kholid. Mengutip pemikiran Mullah Sadra, Pak Kholid menjelaskan bahwa manusia akan terus bergerak secara sempurna, Al-Harokah At-Takmiliyyah. Gerakan sempurna ini adalah bentuk aktualisasi dari seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia.
Sesungguhnya manusia terus tumbuh dan bergerak. Tidak secara kuantitasnya saja, melainkan pula secara kualitas. Secara fisik, mulai dari bayi hingga dewasa lalu tua, manusia berubah, tumbuh. Secara pemikiran dan kejiwaan sejatinya manusia juga terus tumbuh. Pun demikian halnya dengan kemampuan spiritual. Inilah arak gerakan sempurna manusia, dari potensi menuju aktual.
Sehingga, menurut Pak Kholid, kiamat akan terjadi setelah semua potensi yang ada di alam semesta ini dapat teraktualisasi secara sempurna. Maka kita tidak perlu risau terhadap ancaman AF. Manusia akan merespon tantangan AF dengan caranya sendiri yang mungkin tidak akan pernah kita bayangkan sebelumnya.
Setelah dua narasumber beres menyampaikan materi, tibalah sesi tanya jawab. Saya menjadi salah satu penanya.
"Saya tertarik soal artificial intelligence. Saya kira, apa yang diungkapkan oleh Hawking, maupun pendapat Pak Haidar dan Pak Kholid sama-sama belum terjadi. Opini Stephen Hawking lebih sebagai sebuah ramalan atau prediksi. Sedangkan yang dikemukakan oleh Pak Haidar dan Pak Kholid saya kira lebih ke sebuah harapan. Pendapat siapa yang akan benar-benar terbukti nanti, wallahu a'lam.
"Namun yang terjadi hari ini, faktanya adalah, AF sudah mendominasi dan mengambil banyak hal dalam tatanan hidup manusia. Lebih dari itu, AF, yang notabene buatan manusia, justru malah balik menyerang manusia, memecah belah manusia. Contoh sederhana adalah soal cebong dan kampret. Harus diakui, salah satu poros permusuhan manusia sekarang banyak terjadi di sosial media. Sosial media adalah anak dari AF. (Kalau mau contoh lain, ada di lirik lagu 'Perdamaian': Banyak gedung kau dirikan, kemudian kau hancurkan. Bingung, bingung, ku memikirnya...)
"Yang hendak saya tanyakan, bagaimana peran Akidah dan Filsafat Islam dalam menanggapi soal tantangan AF hari ini? Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa orang filsafat hanya sibuk mengurus teori, lupa pada aspek praktis. Maka jangan heran kalau lulusan filsafat banyak yang jadi pengangguran," kataku.
Gara-gara menyebut lulusan filsafat banyak yang jadi pengangguran, seorang dosen Tasawuf yang duduk di barisan depan menunjuk-nunjuk saya sambil ngomel bahwa apa yang saya omongkan tidak ada datanya dan bualan belaka. Padahal yang saya maksud dengan pengangguran adalah tidak kerja, tapi mempekerjakan orang alias menjadi bos. Haha.
Merespon pertanyaanku, Pak Haidar berpesan kepada para dosen AFI di UIN: Dosen harus mampu mentransformasikan nilai-nilai filsafat dalam diri mahasiswa agar filsafat tidak berhenti di ranah teoritis.
Benar juga. Memang berbeda antara orang yang belajar filsafat dan filosof. Ahli filsafat tidak sama dengan filosof atau filsuf. Ahli filsafat hanya mengerti dan mungkin hafal teori-teori filsafat. Sedangkan filsuf adalah orang yang tenggelam dengan filsafat, artinya filsafat sudah terinternalisasi dalam pemikiran dan tindakannya, meskipun ia tidak pernah sama sekali belajar teori filsafat.
Filsafat mengajarkan untuk berpikir kritis secara radikal-sistematis. Filsafat berupaya mencari solusi dari setiap keresahan dan kejanggalan. Maka memang sebenarnya segala hal mampu dijamah oleh filsafat.
Filsafat, lebih-lebih Filsafat Islam, seyogyanya mampu mengawal perkembangan pesat AF agar tidak tumbuh sebagai kekuatan yang mereduksi peran manusia dan kemanusiaan. Seperti asal katanya, philo dan sophia, filsafat mencintai kebijaksanaan.
AF musti diberdayakan secara bijak. Pada akhirnya, keputusan ada di tangan manusia selaku brain ware. Kalau manusianya bijak, tentu perkembangan AF akan memberi manfaat dan sangat membantu manusia. Sebaliknya, kalau manusianya tidak bijak, jangan salahkan Hawking kalau kelak ramalannya benar-benar terjadi.
Saya jadi membayangkan peperangan artificial intelligence melawan manusia sebagai infinity war. Entah siapa yang ada di pihak Avenger, siapa yang ada di tim Thanos.
By the way, dua hari pasca menjadi narasumber di seminar, tulisan Pak Haidar berjudul "Pendidikan Manusia VS Kecerdasan Buatan" dimuat di Kompas pada tanggal 15 September 2018. Isinya soal isu artificial intelligence ini. Silahkan dicari sendiri kalau minat.
Komentar
Posting Komentar