Langsung ke konten utama

Elektabilitas Hari Valentine Terjun Bebas

Tidak seperti biasanya, gaung hari valentine yang diperingati tiap 14 Februari lenyap tak menggema untuk edisi 2017 di Indonesia. 'Elektabilitas' hari valentine terjun bebas seperti hilang dari peradaban.

Hari valentine yang merupakan budaya non lokal alias impor itu kerap dicap sebagai hari kasih sayang. Hari dimana menyatakan cinta kepada pasangan akan menjadi sesuatu yang dianggap sakral, menembak gadis incaran bertahun-tahun menjadi sesuatu yang memorable, dan sekaligus menjadi hari dimana penjual beragam bunga, khususnya mawar, dan cokelat bergembira ria sebab barang dagangannya ludes terjual menjelang hari itu.

Indonesia sebagai negara yang penduduknya selalu heboh dalam menanggapi berbagai isu global sering menampakkan sikap reaktif begitu kalender mendekati tanggal 14 bulan Februari. Begitu lembar Januari ditinggalkan, perbincangan mengenai hari valentine akan mengemuka di berbagai tempat, lebih-lebih di sosial media. Bermacam topik seputar hari valentine seperti hukum memperingatinya, halal-haram pengucapan 'selamat hari valentine' hingga kenaikan drastis penjualan kondom menjelang hari valentine habis dikupas dalam banyak diskusi virtual.

Sebagai pengguna sosial media yang cukup aktif, saya tentu heran dengan lenyapnya pemberitaan mengenai hari valentine yang fenomenal itu. Bahkan hingga tulisan ini ditulis, 12 Februari 2017 alias H-2 hari valentine, saya hanya menemukan sekitar 3 saja pembahasan mengenai valentine. Ya, mungkin di luar sana yang tak sempat terjangkau oleh interaksi virtual akun saya masih banyak pembahasan mengenai hari valentine. Namun harus diakui, porsi mengenai hari valentine di Indonesia berkurang sangat drastis di tahun ini, 2017.

Entah karena putra-putri bangsa ini yang semakin cerdas atau bagaimana, saya sinyalir penurunan elektabilitas hari valentine ini terjadi karena adanya isu yang lebih besar daripada hari kasih sayang itu yang secara kebetulan waktunya berdekatan. Benar, pemilihan kepala daerah 2017. Wabil khusus Pilgub DKI 2017 yang gaungnya sudah ditabuh dengan keras sekali jauh-jauh hari sebelum hari H.

Hari valentine benar-benar ditinggalkan. Hari kasih sayang itu kalah populer dengan Pilgub DKI yang jatuh sehari setelahnya, 15 Februari. Isu-isu yang mengapung di permukaan tidak lagi soal halal-haramnya memperingati valentine, namun sudah beralih tentang halal-haramnya memilih pemimpin non KTP muslim. Perdebatan mengenai hakikat hari valentine sebagai hari kasih sayang ataukah hari peringatan kematian seorang martir suci kristiani bernama St Valentinus berganti haluan menjadi hakikat Pilgub DKI 2017 sebagai pertarungan politik ataukah sebagai panggung adu domba dalam menyikapi isu-isu sensitif soal rasisme, etnis dan agama.

Media lebih rajin memberitakan elektabilitas tiga paslon Cagub-Cawagub DKI ketimbang mengurusi tetek bengek perayaan valentine. Dan saya yakin, hari-hari ini, para penjual bunga sedang diliputi murung berkepanjangan, penjual cokelat cemas tak karuan, dan tentu saja penjual kondom bingung kelabakan. Mengingat adanya kemungkinan besar penurunan omset gila-gilaan komoditas dagangnya akibat hari valentine yang kalah populer dengan gaung Pilgub DKI. Kasihan ya?

Seperti halnya peringatan besar lainnya, hari valentine juga tidak luput dari perbedaan waktu mengenai tanggal pastinya. 14 Februari adalah Valentine's Day versi Gereja Katolik. Sedangkan menurut Gereja Ortodoks, hari valentine jatuh pada tanggal 7 Juli. Mungkin pendapat yang pertama dinilai lebih shohih dan dianggap lebih mendekati kebenaran sehingga pendapat itulah yang hingga kini menjadi acuan.

Sosok Valentinus sendiri sebenarnya masih diperdebatkan. Ada khilaf diantara Ulama' Kristen tentang sosok sejati dari Sang Santo. Menurut Ensiklopedi Katolik 1908, nama Valentinus sendiri bisa merujuk pada tiga nama martir atau santo yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Valentinus adalah seorang Pastor di Roma, Italia. Pendapat kedua menyatakan bahwa ia adalah seorang Uskup Terni, Italia. Dan menurut pendapat yang terakhir, ia merupakan seorang martir di Provinsi Romawi, Africa.

Cerita termasyhur mengenai 14 Februari sebagai tanggal kematian Sang Martir Santo Valentinus yang dipenjara dan dihukum gantung oleh Kaisar Cladius II ini pertama kali diperingati sebagai bagian dari perayaan gereja atas inisiatif Paus Gelasius I dengan nama St Valentine's Day. Sebelumnya mereka lebih mengenal peringatan Lupercalia di era Romawi Kuno yang bertepatan dengan tanggal 15 Februari (Dan ini sama sekali tidak berkaitan dengan Pilgub DKI 2017, Jadi saya mohon jangan dikait-kaitkan).

Kaitan hari valentine dengan hari kasih sayang sendiri mulai populer pada abad 14 di inggris dan Prancis. Jauh berabad-abad pasca peristiwa hukuman gantung Valentinus; 14 Februari 269 Masehi. Adalah sastrawan berkebangsaan Inggris, Geoffrey Chaucer, lewat tulisan ceritanya, Parlement of Foules, yang pertama kali mengaitkan 14 Februari sebagai hari cinta romantis. Sebab hari itu dipercaya sebagai hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin (Sekarang kita jadi tidak heran kenapa penjualan kondom meningkat menjelang hari valentine).

Dari situ, hari valentine sebagai hari kasih sayang kemudian tersebar ke seantero jagat raya. Termasuk Indonesia. Maka dapat dikatakan, bahwa hari valentine ini adalah budaya impor sebagaimana banyak budaya lain di Indonesia seperti Idul Fitri dan Idul Adha yang merupakan budaya adopsi dari Arab (Saya harap tidak terjadi gontok-gontokan, sebab budaya asli kita yang terdaftar di kalender sebagai hari libur nasional adalah tanggal 17 Agustus dan beberapa tanggal lain).

Dan tahun ini terasa istimewa. Istimewa karena berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dominasi valentine gulung tikar habis dibabat oleh dengung raksasa Pilkada, lagi-lagi, khususon Pilgub DKI 2017. Namun sayangnya, sebagaimana dalam kontestasi politik pada umumnya, Pilgub DKI 2017 ini diwarnai oleh banyak intrik, lempar hujat, macam caci maki dan ragam fitnah. Sehingga banyak terjadi gesekan di akar rumput. Terjadi pengkotak-kotakan dan benih-benih benci.

Ah, bicara soal benci, mungkin tensi kebencian yang meningkat akhir-akhir ini disebabkan kurang boomingnya gaung hari kasih sayang. Padahal orang Indonesia ini sudah kekurangan kasih sayang lebih dahulu sebelumnya, lha kok malah ditambah benci-benci politikiyah, lha kok malah ditambahi hilangnya gaung hari valentine yang 'katanya' hari kasih sayang. Ya, walhasil orang Indonesia semakin haus kasih sayang. Duh.

Yang tidak setuju dengan hari valentine, tidak usah marah-marah. Buang valentine-nya, ambil kasih sayangnya. Dan yang terpenting adalah bahwa kasih sayang tidak hanya ada pada saat 14 Februari saja. Setiap hari adalah hari kasih sayang. Peringatilah sepanjang tahun sebagai hari kasih sayang. Sebab kasih sayang adalah pondasi utama terciptanya sebuah kehidupan yang harmonis.

Terakhir, jangan lupa untuk menjadikan tanggal 15 Februari 2017 bagian dari hari kasih sayang juga. Apapun yang terjadi, siapapun yang menang, dan siapapun gubernurnya. Sepakat ya?

Kalau perlu, hari kasih sayangnya kita pindah tanggal 15 Februari saja bagaimana? Agar negara kita kelimpahan kasih sayang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...