Pada hakikatnya, manusia memiliki dua aspek; jasmani dan rohani. Ada raga ada jiwa. Raga atau jasmani meliputi bentuk fisik tubuh seseorang. Sedangkan rohani mencangkup hal-hal yang sifatnya ghoib (tak kasatmata) semisal akal (bukan otak), hati (bukan jantung) dan nurani (bukan empedu). Jasmani adalah kemasan. Rohani adalah isi.
Asal kamu rajin mandi paling tidak tiga kali sehari (bukan resep dokter), jasmanimu akan tampak sehat. Lain soal jika urusannya dengan rohani.
Salah satu bagian terpenting dari aspek rohani adalah hati. Hati yang saya maksud bukan jantung atau empedu. Ia semacam perasaan yang mampu mempengaruhi cuaca langit-langit jiwa. Ia halus. Teramat halus. Saking halusnya, hingga timbul pertanyaan pesimistis, "Hati orang siapa yang tahu?"
Dalam bahasa arab, hati disebut qalb (dengan "Q" bukan "K") yang secara harfiah bermakna bolak-balik, gonta-ganti, naik-turun. Sebab memang 'tingkah laku' hati tak menentu. Ia bisa tiba-tiba tertawa meledak meski beberapa detik sebelumnya menangis terisak. Dan itu benar-benar dapat terjadi secara tiba-tiba. Drastis.
Pernah dengar lagu Andra and The Backbone berjudul Main Hati? Yap, jelas yang dimaksud Andra adalah keterlibatan perasaan terhadap seorang wanita setelah sebelumnya "seribu wanita yang pernah singgah hanya datang dan pergi dan tak ada hati". Judul ini sedikit mengganggu saya. Sebab saya tahu, main hati itu sulit. Apalagi main-main dengan hati; dobel sulit plus rumit berbelit.
Tinggalkan Andra. Saya pernah memiliki pengalaman hidup perihal hati dan pergolakan di dalamnya. Dan kisah ini memberi pengetahuan kepada saya betapa sulitnya mendidik hati.
Suatu hari saya berada di kantor pusat departemen agama di Jakarta. Saat itu saya bermaksud menyerahkan doomy (model jadi) buku hasil riset orang-orang depag di Belanda dan London yang kebetulan memakai jasa edit saya. Setelah penyerahan doomy rampung, saya bergegas menuju mesjid yang masih berada di lokasi kementrian agama. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul setengah 3 dan saya belum sowan dhuhur keharibaan Gusti, maka saya bergegas.
Sebelum sholat, administrasi yang wajib di lunasi dulu adalah bersuci alias wudlu. Ini penting sekali. Sebab sifatnya wajib. Ora keno ora. Tidak bisa tidak.
Ritual wudlu saya baru sampai pada mengusap kepala, saat kran tetangga pas saya didekati oleh seorang tua yang berniat 'mengambil' wudlu pula. Usianya saya taksir 50an ke atas. Setelah menyingkap tinggi celana dan lengan bajunya, pak tua tetangga kran saya memulai ritualnya.
Fokus saya terbelah. Sembari tetap meneruskan wudlu, diam-diam saya juga mengamati gerak-gerik wudlu pak tua. Saya tertegun saat menyaksikan bagaimana cara pak tua itu 'mengusap' kedua tangannya. Telapak tangannya dibasahi air, lalu diusap memanjang dari punggung tangan hingga siku-siku. Ya, dia 'mengusap' tangannya. Tidak 'membasuh'. Usai menyaksikan peristiwa itu, terjadi pergolakan luar biasa di hati saya. Terjadi pertempuran dan kecamuk yang melibatkan 'hati saya' versus 'hati saya' sendiri di sana.
Berikut cuplikan pertarungan itu:
Sejauh pengetahuan dangkal yang saya ketahui, dalam bab yurisprudensi islam (baca: fiqh), terdapat dua perbedaan mendasar dalam memperlakukan anggota-anggota tubuh yang wajib disertakan dalam ritus wudlu yang sakral itu. Ada anggota tubuh yang harus 'dibasuh' (ghoslu) dan ada yang 'diusap' (mashu). Bagian yang harus dibasuh meliputi wajah, tangan dan kaki. Sedangkan bagian yang diusap mecangkup sebagian kepala saja (adapun telinga, itu hanya sunnah saja). Membasuh berarti 'harus' ada aliran air. Mengusap tidak harus ada aliran, cukup basahi telapak tangan, lalu usapkan di bagian kepala anda, maka secara fiqh, anda sudah menggugurkan kewajiban mengusap kepala. Karena mengusap lebih rendah daripada membasuh, konsekuensi logisnya adalah 'bagian yang diusap bisa tercukupi dengan basuhan' dan tidak sebaliknya (yang dibasuh harus dibasuh, tidak cukup hanya dengan basuhan).
Maka dalam kasus pak tua diatas, secara fiqh, wudlunya tidak sah. Sebab bagian yang seharusnya dibasuh (tangan, red) justru ia usap saja.
Hati saya semakin bergejolak:
Jika wudlunya saja tidak sah, bagaimana dengan sholatnya? Jika sholatnya tidak sah, bagaimana nasibnya?
Sebab sholat adalah amal yang pertama kali dihisab kelak. Jika sholatnya bagus, maka baguslah seluruh amalnya. Jika sholatnya buruk, buruklah kesemuanya.
Gejolak hati saya semakin meninggi:
Bagaimana sholat-sholat pak tua itu sepanjang hidupnya. Katakanlah ia sudah berusia 50 tahun. Bagaimana jika sholat-sholat sebelumnya juga tidak sah? Bagaimana?
Miris.
Lalu saya terjebak dalam keadaan dilematis; apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya berdiam diri saja padahal saya tahu wudlunya tidak baik-baik saja? Ataukah saya harus menegurnya dan 'membenarkan' wudlunya? Jika saya tegur dan pak tua itu sakit hati, bagaimana? Bagaimana dengan hadits yang kebetulan pernah saya dengar tentang nasib buruk yang akan menimpa seseorang yang tahu akan kebenaran tapi ia tidak mau mengungkapkannya?
Bagaimana?
Bagaimana?
Saya lunglai. Luruh merosot. Tubi-tubi pertanyaan itu bergantian menghantui saya. Meminta pertimbangan mana sikap yang seharusnya saya ambil dan laksanakan.
Pergolakan hati itu memakan waktu dan energi saya. Hingga orang itu selesai sholat dan pergi dari pandangan, saya tetap diam dan tidak pernah sempat menyatakannya. Alasan saya sederhana saja; saya tidak enak hati dan takut melukai perasaannya jika saya tiba-tiba menginterupsi wudlunya dan dengan gaya sok 'alim saya menuntunnya untuk melaksanakan wudlu dengan benar.
Seperti belum kapok mempermainkan saya, sisa-sisa peperangan hati itu menyisakan pertanyaan yang mengkebiri:
Loh, alasanmu 'tidak enak hati dan takut melukai perasaan pak tua' itu bukannya merupakan bentuk suudzon? Bukankah dengan sikap diammu itu dan alasanmu yang sok diplomatis itu mengindikasikan kau telah berburuk sangka pada pak tua itu? Ya, mungkin prasangkamu akan sesuai jika seandainya dia benar-benar marah dan terluka saat kamu menyatakan pendapatmu kepadanya. Lha jika tidak? Jika seandainya pak tua itu malah berterimakasih karena kamu telah membenarkan cara wudlunya, bagaimana? Jangan keburu berburuk sangka dulu lah. Masih banyak orang baik di dunia ini. Alasanmu itu hanya pembenaran atas kemalasanmu saja. Kamu naif!
Degh! Aku kalah. Aku diskakmatch oleh hatiku sendiri.
Saya rasa diantara kalian juga pernah mengalami peristiwa dilematis serupa meski berbeda cerita.
Nah, Andra, saya sudah membuktikan bahwa Main Hati itu tak pernah mudah. Selalu saja meninggalkan celah gelisah.
Komentar
Posting Komentar