Langsung ke konten utama

Ibu; Pahlawan Tanpa Tanda Tanya

"Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu, ibu yang kan kusebut paling dahulu."

Penggalan lirik puisi Sang Celurit Emas, Zawawi Imron itu lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa luar biasanya peran seorang Ibu.

Banyaknya aforisme beraroma positif tentang Ibu menunjukkan bahwa sosok Ibu begitu istimewa di mata setiap orang. Tidak perlu ada voting, tidak perlu ada pengakuan resmi, tidak perlu ada pertimbangan, tidak perlu berpikir dua kali untuk mengangkat Ibu sebagai pahlawan. Tak jadi soal foto Ibu tak terpampang di dinding Sekolah Dasar bersama para pahlawan lainnya yang diakui Negara. Ibu, kasih sayangnya lebih dahulu terpampang di dinding hati setiap insan.

Saat diundang ke acara Mata Najwa, tampak sekali betapa pentingnya peran dan posisi seorang Ibu di dalam hati Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus. Dalam beberapa pertanyaan yang disampaikan Najwa Syihab, beliau banyak menyebut sosok Ibu. Ibu saya. Ibu saya.

Gus Mus juga pernah berujar, "Selama Ibu saya masih hidup, saya tidak pernah melakukan sholat Istikhoroh."

Secara harfiah, Ibu berarti wanita yang melahirkan kita. Namun dalam penggunaannya, kata 'Ibu' banyak difungsikan dengan muatan makna yang lebih luas dari itu. Ada istilah Ibu kota, ada istilah Ibu pertiwi dan lain sebagainya. Intinya, Ibu selalu diartikan baik.

Lahir atau kelahiran adalah kemunculan kita ke dunia setelah sebelumnya meringkuk berbulan-bulan di alam kandungan. Kelahiran memiliki turunan makna positif. Kelahiran berarti kehidupan. Kelahiran berarti harapan. Kelahiran berarti doa-doa. Kelahiran adalah sesuatu yang musti disyukuri.

Sebagai sosok yang melahirkan manusia, tidak sulit bagi Ibu untuk menjadi sosok yang amat dicintai. Kalau boleh terus terang, setiap orang yang memiliki cinta, Ibu adalah cinta pertamanya. Kepada Ibu-lah kita pertama kali jatuh cinta.

Jika merambah spektrum makna yang lebih luas, kita akan mendapati fakta bahwa 'Ibu' bukan melulu wanita. Setiap orang yang memberikan kita harapan baik dan dengan tulus memberi suport tanpa henti dengan suntikan kasih sayang, bisa disebut Ibu.

Jakarta adalah Ibu kota. Seharusnya, dengan menyandang gelar Ibu, Jakarta mampu menjadi tempat teduh, harapan-harapan baik dan cinta bagi anak-anak kota yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai Ibu, Jakarta harus mampu menjadi teladan sekaligus pengayom bagi anak-anaknya. Menyusui dengan cinta, mendidik dengan kasih sayang. Bukan menjadi tempat yang menindas, menginjak dan menghardik. Jika Jakarta tidak memuat nilai-nilai keibuan, tanggalkan saja gelar Ibu kota. Atau tambahkan sekalian menjadi Ibu Tiri Kota. Hanya Ibu Tiri, satu-satunya konotasi negatif yang melekat pada Ibu.

Itulah mengapa, jika Jakarta tidak beres, tidak beres pula-lah kota-kota lainnya. Sebab Jakarta adalah wajah Indonesia. Sebab Jakarta adalah Ibu kota Indonesia.

Ibu adalah universitas pertama bagi seorang anak. Baik buruknya pribadi anak, besar kemungkinan menurun dari ibunya. Namun begitu, seburuk apapun perangai seorang anak, ibu masih punya segudang cinta untuk menerima keluh kesahnya. Tidak dengan sebaliknya.

Segala hal, seluruhnya yang dimiliki seorang Ibu, akan ia beri dan upayakan demi kebaikan anaknya. Maka tidak ada alasan untuk tidak berbakti terhadap ibu. Tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta.

Ibu, sosok yang di dekap peluknya, kita mampu tertidur lelap. Tempat yang jauh lebih nyaman dan empuk ketimbang spring bed kualitas super sekalipun. Kita tidak pernah khawatir terhadap gigitan nyamuk-nyamuk yang berkeliaran di udara. Sebab kita yakin dan percaya, se-senti saja nyamuk-nyamuk itu bernyali mendekat ke arah kita, tangan-tangan Ibu akan menghalau dengan cinta.

Ibu, pahlawan tanpa tanda tanya. Pahlawan yang kepahlawanannya tidak perlu dipertanyakan.

Kenapa Ibu kita anggap sebagai pahlawan?
Tak perlu di jawab.
Tak perlu di tanya.
Sebab cintanya nyata.

10 November adalah Hari Pahlawan. Jika ada yang bertanya kepada kita tentang siapa pahlawan yang paling kita kagumi dan cintai? Bacalah puisi Zawawi Imron dan katakan dengan tegas, Ibu. Ibu. Ibu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...