Secara bahasa, Balaghoh dapat diartikan sebagai puncak, selesai atau purna. Sedangkan dalam sudut pandang istilah, Balaghoh berarti menyampaikan makna dengan jelas menggunakan kata-kata yang fasih serta memiliki kesan di dalam hati dan menarik, juga sesuai dengan kondisi dan situasi lawan bicaranya.
Balaghoh menjadi sangat penting, sebab berkaitan dengan keindahan bahasa dan retorika. Dengan mempelajari ilmu balaghoh, diharapkan tidak terjadi 'gagal paham' terhadap sesuatu yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar.
Untuk menjadi manusia yang baligh -menguasai balaghoh- diperlukan banyak aspek. Balaghoh tidak hanya tentang pilihan kata yang memukau dan diksi yang mempesona, lebih jauh dari itu, konteks pengucapan yang meliputi pembicara dan kondisi audien menjadi salah satu faktor paling besar penentu baligh tidaknya sang khotib alias pembicara.
Tidaklah balaghoh, ketika seseorang berbicara kepada anak kecil bahwa bintang memiliki ukuran lebih besar daripada bulan. Meskipun pernyataan itu benar secara faktual, tapi akan terjadi ketidaksesuaian ketika ucapan itu dilontarkan kepada audien yang notabene masih belum siap menerima fakta tersebut. Dalam kasus ini, yang keliru bukanlah si pendengar, melainkan si pembicara.
Seorang dokter mendapati hasil diagnosa terhadap penyakit pasiennya. Secara medis, umur si pasien tidak akan lebih dari sebulan. Ketika pasien bertanya, "Bagaimana kondisi saya, Dok?" Dan tanpa babibu si Dokter mengutarakan hasil diagnosa sebenarnya, "Usia anda tidak lebih dari satu bulan". Jelaslah dokter tersebut belum bisa dikatakan dokter yang baligh.
Orang yang balaghoh selalu berpikir sebelum berbicara. Berpikir dan memilah kata-kata yang tepat. Berpikir tentang cara penyampaian yang elok dan elegan. Berpikir tentang pantas tidaknya kalimat itu disampaikan dan didengar oleh lawan bicaranya dengan kondisinya yang beragam. Orang yang balaghoh tidak asal bicara.
Tidak termasuk orang yang balaghoh, mereka yang berbicara mengenai sesuatu di luar domainnya. Seseorang yang dengan berbusa-busa menjelentrehkan sesuatu yang tidak dikuasainya sama saja dengan pembual. Omong kosong.
Karena setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang sudah dikatakannya, maka sudah semestinya mereka memikirkan dampak yang ditimbulkan dari apa yang akan diucapkan.
Menimbang dan memilah menjadi sesuatu yang amat vital. Oleh karenanya, orang yang balaghoh akan menjadi pribadi yang bijak dan arif. Setiap kalimat yang terlontar adalah hasil filterisasi ketat.
Keteledoran dan kesalahpahaman merupakan hasil dari ketidakbalaghohan seseorang. Contoh nyata sudah kita saksikan bersama. Betapa Bapak Gubernur Ibu Kota dengan santai dan ceplas ceplos berbicara mengenai hal yang sebenarnya di luar jangkauan dan kapasitasnya. Apa dampak yang terjadi selanjutnya? Silahkan anda nilai sendiri kedahsyatan peristiwa 411.
Andaikan Bapak Gubernur adalah manusia yang balaghoh, tentu hal seperti itu tidak perlu terjadi. Meski maaf sudah diucapkan, proses hukum akan tetap berjalan. Keteledoran atas pernyataan itu terlalu ringan jika bisa ditebus hanya dengan segepok maaf. Sekali lagi, ini terhadi karena kurangnya penguasaan balaghoh. Padahal balaghoh bisa menjadi indikator kebijaksanaan seseorang. Maka, patut kiranya belajar balaghoh bagi mereka yang hobi bicara.
Ajining diri songko lathi.
Ajining rogo songko busono.
Kehormatan diri berasal dari lisan.
Kehormatan raga berasal dari pakaian.
Mari menjadi manusia balaghoh.
Komentar
Posting Komentar