Sore itu, seorang kawan penikmat kopi berharga bintang lima mengajak saya mengunjungi cafe Olivier. Tujuan utamanya untuk merasakan sensasi ngopi ala Jessica-Mirna meski tidak ada niatan untuk menapak tilasi jejak mereka dengan membubuhi racun di cangkir kopi kami. Berangkatlah kami -saya dan tiga orang teman- sore itu juga.
Cafe Olivier terletak di lokasi Grand Indonesia West Mall GF (Sebelah Mad For Garlic) Jl. M. H. Thamrin No. 1 Jakarta Pusat. Sekedar info, Resto atau Cafe Olivier ini termasuk dalam kategori fine dining resto yang tarif rata-ratanya sekitar Rp. 500.000 untuk porsi dua orang. Tentu saja cafe ini bukan habitat yang baik bagi penikmat kopi kaki lima seperti saya.
Olivier secara interior mengambil desain dengan konsep awal tahun 1900 di mana salah satu bagiannya dipenuhi kaca besar yang memungkinkan kita untuk melihat lobby mall Grand Indonesia.
Setelah memarkir kendaraan, kami berempat segera meluncur ke Olivier. Saat kami hendak masuk, dengan cekatan seorang penjaga membukakan pintu kayu dengan kaca besar. Penjaga berpakaian serba hitam itu berbadan kekar meski tidak terlalu tinggi. Belum jauh langkah kami melewati pintu masuk, tiba-tiba penjaga pintu mengintervensi laju kami. "Maaf, Pak. Yang pakai sandal tidak bisa masuk. Yang pakai sepatu boleh."
Kami 4 orang. Saya dan dua orang memakai sepatu. Seorang kawan yang paling berhasrat mencicipi Olivier justru memakai sandal. Daripada tidak masuk satu orang, mending tidak masuk semuanya. Kami keluar. Tepat saat melewati pintu yang kembali dibuka oleh penjaga, dengan suara yang bisa didengar oleh si penjaga, saya bicara agak lantang, "Oke, kita beli sepatu dulu."
Pembaca yang budiman, ketika anda dianggap remeh hanya karena sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak remeh, anda musti menyombongkan diri.
Saya sempat melirik wajah penjaga. Ia sedikit tersenyum meski tampaknya agak terpaksa. Sebenarnya, bisa saja kami melakukannya dengan cara agak keras. Saya tahu, kawan saya yang bersandal itu membawa uang cash sepuluh juta lebih di dalam tasnya. Bisa saja ia melemparkan uang-uang itu di depan penjaga pintu dan menyuruhnya untuk membelikan sepatu seraya kami tunggu di situ. Tapi untungnya hal itu tidak terjadi. Bagaimanapun, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Dari mimik muka penjaga, saya rasa, kata-kata saya "Membeli sepatu" sudah cukup mujarab untuk membuat ia takut dan sedikit menghargai kami.
Kami meninggalkan Olivier. Tidak. Kami tidak benar-benar akan membeli sepatu. Kami pergi ke area parkir dan kawan saya mengganti sandalnya dengan sepatu yang sudah dibawanya.
Kawan saya yang bersandal tadi menawarkan pindah tempat di Starbucks. Namun salah seorang rekan mencegahnya. "Jangan, jika kita tidak kembali ke Olivier, penjaga itu akan benar-benar memiliki penilaian remeh kepada kita. Kita harus kembali ke sana. Kita harus ke Olivier dengan sepatu 'baru' agar ia tidak memandang kita dengan sebelah mata."
Sampailah kita untuk kedua kalinya. Kali ini penjaga membukakan pintu dengan sedikit senyum. Matanya melirik alas kaki kawan kami yang bersandal tadi. Sembari sedikit menunduk, ia mempersilahkan kami masuk.
Setibanya di kasir pemesanan, terjadi percakapan kecil antara kawan saya dan petugas wanita. Usut punya usut, meski tergolong tempat nongkrong kelas elite, Olivier dinikmati banyak pelanggan. Dan ini saya rasa tidak lepas dari advertising gratis yang dilakukan Jessica. Jessica lah yang berjasa melambungkan nama Olivier. Sangking ramainya, kami harus mengantre sebelas waiting list. Karena mempertimbangkan waktu bahwa pukul tujuh malam kami sudah harus meninggalkan Grand Indonesia -sebab kawan saya akan meninggalkan Jakarta via Gambir pukul 9 nanti- akhirnya kami urung nongkrong di Olivier.
Kami meninggalkan Olivier. Penjaga membukakan pintu lagi. Pilihan ngopi jatuh di Starbucks.
Peristiwa 'Sandal Dilarang Masuk' membuka mata saya terhadap aturan 'aneh' gaya hidup yang dibilang modern dan maju meski berbenturan dengan logika.
Apa yang salah dengan sandal? Saya punya itung-itungan logika. Sepatu itu tertutup. Kita bisa saja menyelipkan benda kecil semisal bom kecil atau senjata tajam di dalam sepatu. Tidak dengan sandal. Sebab sandal terbuka dan apa adanya. Sepatu? Banyak yang ia tutup-tutupi. Kalau boleh usul, seharusnya sepatulah yang dilarang masuk. Seharusnya sepatulah yang layak dicurigai. Bukan sandal. Sandal dilarang masuk saya rasa merupakan sebuah fenomena cacat logika yang masih kerap kita temui di mana-mana.
Hal serupa dapat kita temui dalam film Nagabonar jadi 2. Dalam film itu, saat Nagabonar ingin mencari makan dan masuk ke salah satu restoran, ia justru dibuat kaget hanya karena ia menempati kursi yang sudah dipesan. Reserved. Nagabonar mempertanyakan aturan itu dengan logika sederhana. "Saya mau pesan makan, eh, ini malah ada orang pesan meja." Begitu kira-kira celetuknya.
Di tengah gaung postmodern yang dituntut untuk berpikir kritis dan memiliki jangkauan pemikiran luas nan beragam, ternyata masih banyak hal-hal modern yang nyatanya malah tidak bisa dilogikakan secara sederhana.
Ah, hitung-hitungan logika dalam tulisan ini memang hanya sekedar bualan saja.Cukuplah niatan nongkrong di Olivier sebagai pengalaman hidup saja. Saya tentu lebih memilih menyeruput kopi handmade alias bikinan sendiri daripada kopi di tempat mahal yang malah menjajah kebebasan nurani dan logika. Minum kopi seharusnya sangatlah sederhana dan merdeka, tak perlu mempermasalahkan alas kaki yang kita kenakan. Entah itu sandal, entah itu sepatu. Yang bertelanjang kaki-pun berhak ngopi.
Tampaknya harus mulai ada pertimbangan mengenai Hak Asasi Menyeruput Kopi.
Komentar
Posting Komentar