Langsung ke konten utama

Senyumin Aja

Dalam Fiqh, ada sebuah kaidah berbunyi "Al-khuruuj minal-khilaaf mustahaabbun" yang kalau diartikan kurang lebih seperti ini: keluar dari khilaf atau sebuah pertentangan adalah sunnah.

Itu hanya pengertian bebas saja. Sebab dalam ushul fiqh, ada perbedaan mendasar antara 'al mandub', 'as sunnah' dan 'al mustahab'.

Al Mandub adalah sesuatu yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan tidak mendapat dosa bagi yang meninggalkannya.

As sunnah adalah sebuah perbuatan yang rutin dilakukan oleh Rasulullah SAW meski perbuatan tersebut tidak dilabeli wajib dalam tatanan syariat.

Sedangkan Al Mustahab adalah sesuatu yang sesekali dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.

Maka pengertian saya bahwa 'Keluar dari khilaf adalah sunnah' hanya demi memudahkan penerjemahan saja. Karena pada hakikatnya, sunnah dan mustahab memiliki muatan berbeda. Namun nilai yang perlu ditekankan di sini sebenarnya adalah muatan kaidah fiqh tersebut. Bahwa keluar dari khilaf adalah sesuatu yang baik. Itu saja. Sunnah, mandub dan mustahab sama-sama baik.

Kaidah fiqh ini masih sangat relevan untuk diterapkan ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Apalagi akhir-akhir ini, kita banyak menemui berbagai fenomena yang sebenarnya sama-sama benar, namun dikemas dengan ala kadarnya serta dibumbui oleh hal-hal eksternal sehingga membuat seolah-olah kedua hal tersebut saling bertentangan atau kontradiktif.

Mau tidak mau, saya terpaksa -lagi-lagi- harus mengambil contoh peristiwa 411 yang tidak bisa dikatakan sebagai fenomena kecil dan biasa.

Saat 411 berlangsung, umat Islam terpecah menjadi dua golongan. Golongan ikut demo dan golongan tidak ikut demo. Sebenarnya, jika kita melihat dua kubu ini dengan kaca mata positif, tidak akan dijumpai perbedaan yang menjurus pada pertentangan di antara keduanya. Yang demo berarti memperjuangkan Ayat-ayat suci, yang tidak demo juga didasari oleh hal-hal yang baik dan suci. Misalnya karena kekhawatiran keselamatan dirinya dan lain lain. Toh, yang tidak ikut demo juga memback-up mereka yang turun ke jalan dengan doa-doa yang dipanjatkan melalui berbagai macam tahlil dan istighosah di surau-surau. Tujuannya pun sama: meminta keadilan ditegakkan seadil-adilnya.

Bumbu-bumbu dari berbagai kalangan-lah yang membuat kedua kubu menjadi tampak bertentangan. Yang ikut demo mengumpat yang tidak ikut dengan kata-kata munafik, cemen atau Islam karbitan lah. Yang tidak ikut demo juga mencibir yang demo sebagai Islam ekstrimis, keterlaluan, Islam tidak rahmatan lil alamin lah dsb. Sentilan-sentilan ini pada akhirnya menjadi sumbu kompor yang menyulut permusuhan di kalangan umat Islam sendiri. Terjadilah pengkotak-kotakan. Yang rugi siapa? Umat Islam sendiri.

Dalam bahasa anak gaul, ada jargon "Senyumin aja". Tampaknya jargon ini biasa saja. Namun jika kita telaah lebih dalam, sesungguhnya jargon ini memiliki muatan yang hampir serupa dengan kaidah fiqh di atas.

Kita dicibir orang lain, dihantam umpatan kanan-kiri, diperolok atas-bawah, senyumin aja. Senyumin aja adalah representasi sikap yang sangat penting dalam menyikapi cibiran. Dengan 'senyumin aja', kita berarti telah turut serta untuk tidak membesarkan api permusuhan. Bayangkan saja apa jadinya jika kita dicibir lantas kita balas mencibir? Apakah cibiran itu akan berhenti? Bukankah ia akan semakin menjadi-jadi? Yang rugi siapa? Kita sendiri.

Kalau kita dicibir seseorang, anggap saja itu sebagai angin lalu atau butiran debu. Lalu kita dengan anggun melangkah di depan muka si pencibir dengan senyum mempesona. Jleb.

Mungkin kebencian si pencibir akan menjadi-jadi. Namun paling tidak kita sudah melakukan hal yang benar dengan tidak ikut menggubris cibiran mereka. Bisa jadi, karena kita tidak pernah menggubris cibiran mereka, si pencibir lama kelamaan akan merasa bosan mengumpat kita. Lambat laun, cibiran itu akan mereda sebelum pada akhirnya lenyap seluruhnya.

Yang ikut demo, tidak perlu menanggapi suara sumbang tentang Islam ekstrimis yang ditujukan. Yang tidak ikut demo, tidak perlu meladeni tuduhan munafiq yang dilayangkan.

Sikap seperti itu akan membuat kita keluar dari pertentangan. Membebaskan kita dari kubangan permusuhan internal yang padahal sama sekali tidak ada yang harus dipertentangkan.

Kalau kita terus-terusan menanggapi upaya-upaya berbagai pihak yang tidak suka dengan kedamaian Islam di Indonesia, saya yakin, bangsa ini akan seperti ini saja. Jalan di tempat. Terus begini sampai kita saling bunuh sesama saudara sebagaimana yang diharapkan oleh oknum yang mengadu domba. Naudzubillah.

Kaidah fiqh ini musti di hembuskan dalam setiap aspek kehidupan sebagai bentuk pendewasaan diri menghadapi berbagai persoalan yang seperti tidak pernah berhenti menghantam.

Semoga kebaikan berdatangan dari segala penjuru. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...