"Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin."
Ketika masa sampai di penghujung ramadhan, ungkapan klise 'permintaan maaf' seperti itu mendadak populer. Bisa diungkapkan lewat bunyi (ucapan), ataupun via tulisan. Dan seringkali dipungkasi dengan kalimat simbolik; "Kosong kosong, ya".
Jika dipandang dari kacamata penikmat sepak bola, 'kosong kosong' mungkin sangat membosankan dan tak pernah diharapkan. Sebab 'kosong kosong' berarti bahwa pertandingan berakhir seri dengan tidak ada satu gol pun yang tercipta. Padahal dalam sepak bola, gol adalah puncak orgasme. Gol adalah eureka.
Namun kabar baiknya, dalam tulisan kali ini, saya tidak secara khusus mengenakan kacamata penikmat bola dalam mempreteli tema 'kosong kosong' disini. 'Kosong kosong' ini berkaitan dengan ungkapan klise dalam rangkaian permohonan maaf menjelang -atau ketika- Idul Fitri. Jadi saya harap, kalian tidak bosan dan semoga tulisan ini tidak membosankan pula.
Kosong adalah situasi dimana tidak ada isi; hampa. Maka 'kosong kosong' berarti nuansa kehampaan. Dalam konteks Idul Fitri, yang dimaksud -dan diharapkan- dari 'kosong kosong' adalah ketiadaan atau kehampaan salah, luput, khilaf maupun dosa-dosa yang sepanjang tahun telah berhasil memenuhi hati manusia. Antar manusia satu dengan manusia lainnya saling memaafkan kesalahan yang diperbuatnya. Masing-masing saling memberi amnesty. Harapannya, hati kita bersih kembali seolah direfresh. Dan bersih atau fitroh (fitri, suci) itu sesuai dengan semangat yang dikobarkan dalam momentum hari raya Idul Fitri.
Dalam spektrum yang lebih luas, kosong juga berarti ketidakmampuan; tidak berdaya. Jika pertandingan sepak bola berakhir dengan skor 'kosong kosong', artinya masing-masing dari kedua tim yang terlibat dalam pertandingan sama-sama tidak berdaya untuk menceploskan bola ke gawang lawan. Meski begitu, kedua tim tetap memiliki nilai plus, yakni sama-sama berhasil menjaga gawangnya dari serangan lawan sehingga pihak lawan gagal mencetak gol.
Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan terhadap manusia lainnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa interaksi sosial dengan orang lain. Seorang Adam yang dapat dikatakan sudah mendapatkan privilese kenikmatan surga saja masih membutuhkan Hawa demi meluluskan hasrat interaktif terhadap sesamanya.
Ketergantungan terhadap manusia ataupun makhluk lainnya merupakan indikator kuat bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah. Sesungguhnya bukan hanya manusia. Setiap hal adalah lemah kecuali Tuhan. Tidak ada daya dan upaya melainkan milik Tuhan. Ketidakberdayaan manusia terwakili dengan kosong. Pada hakikatnya, 'kosong kosong' juga berarti pengakuan jujur bahwasanya kita sebagai manusia tidak memiliki daya dan upaya apapun untuk mengatur segala hal. Jika pemahaman ini mampu dimengerti dan diterapkan secara aplikatif, akan muncul sikap rendah hati dan musnahnya egoisme sebab menyadari bahwa bagi manusia yang secara fitrah adalah lemah, tentu tidak ada yang patut dibangga-sombongkan. Ujungnya yang terlahir adalah sikap gotong royong dan saling menghargai antar sesama yang akan mengemuka.
Masih berangkat dari analogi seputar sepak bola. Dalam hidup, kita juga memiliki dua sikap-kondisional yang terus menerus kita jalankan. Kita harus menyerang (attacking) dan bertahan (defense) dengan sama baik. Persis seperti sepak bola. Bedanya, dalam hidup, kita terus menerus menyerang kebatilan, kezaliman, keburukan dan ketidakbaikan lainnya. Serta sekuat mungkin bertahan dari gempuran dan godaan iblis, nafsu, ego dan sifat-sifat tercela lainnya. Untuk persoalan ini (melawan segala ketidakbaikan) kita tentu harus menang telak. Kosong kosong adalah target kemungkinan paling minimum agar mampu survive (baca: selamat) dalam hidup. Bagi mereka yang tidak mampu memperbaiki sebuah situasi buruk, tidak tercemari oleh situasi buruk adalah hasil paling minimum yang musti diraih. Bagi mereka yang tidak pandai menyerang dan mencetak gol, menerapkan defense dengan kuat agar gawang tidak dibobol lawan adalah harga mati demi menghindari kekalahan.
Meminta dan memberi maaf adalah baik. Keduanya sama-sama terpuji. Dalam interaksi sosial, manusia sebagai makhluk lemah yang tak lepas dari salah dan alpa sudah selayaknya melanggengkan keduanya -meminta dan memberi maaf. Melapangkan dada, mengosongkan ruang dalam hati bagi keluputan dan kekhilafan yang diterima atau dicipta, baik yang sengaja maupun yang tidak disengaja. Impas. Kosong kosong.
Mumpung dalam momentum 'suci' Idul Fitri, saya pribadi juga menggunakan kesempatan ini untuk memohon maaf kepada pembaca sekalian. Sebab saya sadar betul, tulisan-tulisan saya masih jauh dari kata sempurna dan banyak belepotan kekurangan disana-sini. Dan yang terpenting, jika dalam tulisan saya terdapat sesuatu yang menyakiti benak pembaca sekalian, sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih.
Pesan dan harapan saya, semoga pasca lebaran, kita semua tidak meneladani seperti apa yang diucapkan oleh petugas SPBU; "Mulai dari nol, ya". Sebab kata 'mulai' berarti adalah mengawali lagi. Berarti berbuat salah lagi, berdosa lagi, beralpa, berluput dan berkhilaf lagi. Maka, apa yang sudah 'kosong kosong' ini, seyogyanya tidak perlu kita mulai lagi. Meski saya sadari, itu berat -jika tidak bisa dikatakan mustahil.
Selamat Idul Fitri 1438H. Kosong kosong, ya.
Komentar
Posting Komentar