Jumat, 30 Juni 2017. Selepas sholat Isya, suasana Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan mendadak mencekam. Kegiatan salat berjamaah yang seharusnya menciptakan kondisi khusyuk, tenang dan damai tiba-tiba berubah 180 derajat saat persis setelah salam, seorang lelaki yang juga mengikuti ritus ibadah sholat Isya sebagai makmum di shaaf ketiga -shaaf paling belakang- petang itu membabi buta menusuk ke arah kepala salah seorang jamaah yang sekaligus anggota Brimob. Dalam beberapa menit ke depan, Masjid Falatehan dihinggapi kecemasan hingga pelaku berhasil dilumpuhkan oleh aparat. Fakta yang paling miris adalah kenyataan bahwa sebelum menusuk, pelaku dengan lantang dan tegas sempat meneriakkan seruan atas keagungan Tuhan: Allahu Akbar!
Seolah-olah perbuatannya memperoleh legitimasi dari Tuhan. Seakan-akan ia adalah aparat Tuhan yang diutus olehNya untuk melukai saudaranya sendiri. Di rumah Tuhan, pelaku mencatut nama Tuhan untuk tindakan dan perbuatan keji. Ya Allah...
Saya hanya mampu mengelus dada saat berita itu sampai di telinga. Dilihat dari sudut pandang apapun, perbuatan ini tidak bisa dibenarkan apalagi didukung. Dan saya jelas mengutuk keras teror mengerikan yang terjadi malam itu.
Bukankah sholat seharusnya mampu mencegah kekejian dan kemungkaran?
Dalam ritus ibadah apapun dan dalam agama apapun, saya kira seharusnya mampu membuat pengamalnya memiliki sikap yang baik dan terpuji. Sebab ibadah, khusunya sholat, adalah sebuah ritual intim antara seorang hamba dengan Tuhan. Ibadah merupakan charger spiritual yang menyirami kegersangan hati pengamalnya. Maka di dalam Islam, jika kita sedang marah dan dirundung kegelapan emosional, Nabi menganjurkan kita untuk berwudlu. Tentu saja anjuran Nabi ini bukan hanya bersifat fisikal dan material belaka. Kalau benar air biasa -bukan wudlu- mampu meredakan emosi yang meluap, mungkin Nabi tidak perlu memerintahkan ummatnya untuk berwudlu. Meneguk segelas air putih mungkin justru lebih mujarab. Sebab logikanya, air minum yang diteguk masuk ke dalam tubuh dan menyegarkan dahaga di dalam dada, dan emosi adalah perkara abstrak yang berkaitan dengan hati. Tapi mengapa Nabi menganjurkan kita untuk berwudlu, bukan meminum air saja? Jelas karena wudlu adalah sebuah ibadah. Dan sebuah ibadah pasti memiliki nilai dan esensi moral spiritual melalui pemaknaan dan perenungan dalam yang out put-nya mampu membuat si pengamalnya menjadi berhiaskan sikap-sifat yang terpuji. Sehingga melalui media ibadah berwudlu, luapan kemarahan yang sudah memuncak mampu mereda seketika.
Padahal sholat adalah ibadah yang paling utama bagi umat Islam. Jika sholatnya bagus, Insyaallah perbuatan lainnya bagus pula, dan sebaliknya.
Lalu, siapa yang patut disalahkan atas peristiwa mencekam pasca sholat berjamaah di Masjid Falatehan semalam? Tentu saja kita tidak sedang dibohongi oleh Tuhan atau agama yang menyatakan bahwa sholat mampu mencegah kekejian dan kemungkaran. Ibadah tidak pernah salah. Walhasil, jika setelah beribadah kita masih berbuat salah, maka yang error adalah manusianya, bukan ibadahnya. Ini tidak hanya berlaku bagi pelaku teror semalam, namun bagi kita semua secara keseluruhan. Kita meski sudah sholat berkali-kali, nyatanya masih juga seringkali tidak bisa lepas dari perbuatan dosa dan keji. Sebagaimana seseorang yang sudah bergelar haji dan bolak-balik Mekkah-Madinah tiap tahun namun masih juga betah -dan tidak mau berhenti- melakukan korupsi. Persis!
Kenapa ibadah tidak pernah salah? Karena ia -ibadah- adalah perintah Tuhan dan Tuhan tentu saja mengharapkan kebaikan bagi tiap-tiap hambaNya. Tuhan tidak pernah memerintahkan keburukan. Kalau kemudian kesalahan ditimpakan kepada ibadah, itu sama artinya dengan melimpahkan kesalahan kepada Tuhan, dan ketahuilah, itu adalah perbuatan yang sangat kurang ajar, dan baik secara fakta maupun logika, Tuhan mustahil memerintahkan hambaNya untuk melakukan perbuatan keji. Maka ibadah dan Tuhan tidak pernah salah. Mutlak!
Dzikrullah -mengingat atau menyebut Allah- juga merupakan bentuk ibadah. Dalam Kitab Suci Al-Qur'an, Allah juga memfirmankan bahwa "Hanya dengan mengingat -atau menyebut- Allah lah hati bisa menjadi tenang -dan tenteram". Pertanyaannya, ketenangan dan ketenteraman hati mana yang tega melukai sesama saudara muslimnya sembari menyebut nama Tuhannya -Allahu Akbar? Sekali lagi, yang salah bukan dzikirnya, melainkan manusianya.
Terhadap peristiwa ini, saya tidak bermaksud dan berkeinginan untuk menyalahkan oknum atau pihak tertentu. Meski saya, secara lahir dan batin, mengutuk keras perbuatan biadab ini, saya tidak ingin berspekulasi berlebihan dan ceroboh dan menuding salah satu pihak sebagai kambing hitam di balik tragedi memilukan tersebut. Sebab sebelum saya ingin melimpahkan kesalahan kepada pihak lain, saya lebih dahulu merasa mendapat teguran atas peristiwa ini. Alih-alih menuduh, saya justru merasa tersindir. Apakah sholat saya sudah benar-benar baik dan mencapai level 'mencegah dari perbuatan keji dan mungkar' sehingga saya bisa terhindar dan bersih dari perbuatan keji dan mungkar? Apakah ibadah-ibadah yang saya lakukan selama ini sudah murni dan tulus sebagai wujud penghambaan tertinggi kepada Tuhan tanpa ada embel-embel motivasi materialisme atau timbal balik puji-pujian dan sematan sebagai orang baik, orang alim, orang sholeh dan sebagainya? Apakah dzikir-dzikir yang saya lantun-langitkan benar semata-mata sebagai persembahan untuk mengagungkanNya dan membuat hati tenang dan tenteram, bukan justru menimbulkan kemarahan dan kebencian? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu hanya satu; rupanya saya belum mencapai level minimum untuk berhak menyandang sematan sebagai seorang hamba yang baik.
Terakhir menyoal peristiwa kelam Jumat malam kemarin adalah terkait pengatasnamaan Tuhan dalam perbuatan keji.
Sederhana saja. Bayangkan, misalnya kamu menghajar temanmu, dan ketika sedang akan memukulnya, kamu mengatakan bahwa perbuatan ini -menghajar atau memukul- merupakan perintah dari ibunya. Padahal faktanya, ibu temanmu tidak pernah memerintahkanmu untuk memukul apalagi menghajar anaknya. Dan kamu dengan enteng menghajar temanmu sambil mencatut nama ibunya. Kira-kira apa yang terjadi? Bagaimana reaksi si ibu begitu mengetahui bahwa kau mencatut namanya untuk perbuatan tercela -menghajar- terhadap anaknya sendiri? Pastinya, kamu akan dijauhi sekaligus dibenci oleh temanmu dan juga ibunya. Dan itu lumrah!
Lalu bagaimana kira-kira jadinya jika kalian mencatut dan mengatasnamakan Tuhan untuk perbuatan tercela padahal kita telah sepakat sebelumnya bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk bertindak tidak terpuji? Akankah kalian masih bisa menyangka akan selamat dari murkaNya? Pikir dan renungkan!
Sekali lagi, ibadah tidak pernah salah. Tempat salah dan lupa adalah kita, manusia.
Peristiwa teror di Masjid Falatehan benar-benar biadab. Namun kita tetap harus mampu memetik hikmah dan pelajaran atas peristiwa dan segala hal yang terjadi, bahkan dari yang paling gelap dan kelam sekalipun.
Semoga kebaikan dan kebenaran berdatangan dari segala penjuru menaungi segala tindak lampah hidup hingga kematian kita. Amin.
Komentar
Posting Komentar