Jujur, dalam banyak hal, saya lebih suka menyendiri daripada terjebak dalam keramaian. Saya lebih menyukai berinteraksi dengan kehampaan ketimbang dengan celoteh orang. Ada banyak hal yang bisa diselesaikan dengan merenung daripada diceritakan kepada orang lain.
Renungan, kontemplasi atau tafakkur bisa menenangkan pikiran, menjernihkan perasaan dan menstabilkan emosi. Seolah-olah kita berdiskusi dengan Tuhan. Akrab tanpa sekat.
Ada sebuah hadits qudsi yang berbunyi, "Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadapKu". Maka, dalam perenungan, saya seringkali berinteraksi dengan Tuhan yang mempunyai banyak karakter. Kadang saya menyangka Tuhan Maha Baik, Maha Bercanda, Maha Lucu, Maha Penyayang dan lain lain.
Persangkaan saya terhadap Tuhan kerap kali sebagai pelampiasan atas persoalan yang melanda. Contoh, saya sedang dikecewakan wanita dan ia pergi meninggalkan saya. Maka saya akan merenung dan berprasangka bahwa Tuhan Maha Baik, sehingga nantinya Tuhan pasti akan mencarikan wanita lain yang lebih dan paling bisa membahagiakan saya. Sekejap kilat, kekecewaan saya terhadap wanita itu sirna. Lenyap tak tersisa. Menjadi semacam butiran debu yang menggelitik bulu hidung belaka. Watchhiii! Setelah bersin, ia musnah.
Maka setiap kali selesai melakukan dosa, saya langsung berprasangka bahwa Tuhan Maha Pengampun. Setiap kali ada persoalan apapun, Tuhan saya jadikan sebagai jawaban untuk menutupnya.
Memang, sesekali pikiran saya liar. Bahkan tidak jarang menembus rambu-rambu etika Tuhan. Perenungan memang harus diimbangi dengan kematangan ilmu. Terutama ilmu etika alias tasawuf.
Dan saya rasa, saya masih nol besar perihal itu. Namun begitu, saya tetap tidak berhenti merenung dan bertafakkur.
Sampai pada suatu ketika, saya tidak sengaja membaca kalam hikmah via twitter yang secara bebas berbunyi begini, "Jangan terlalu banyak berpikir, tapi perbanyaklah meminta ampun (istighfar). Karena Tuhan akan membuka pintu-pintu dengan istighfar, tidak dengan tafakkur (kontemplasi)".
Jleb. Saya langsung tertohok. Seperti dihantam godam raksasa. Kalimat itu muncul di time line tanpa dosa begitu saja. Kemunculannya seolah-seolah memang diperuntukkan untuk memperingatkan saya.
Saya malah merenungi twit hikmah itu. Lama saya merenung, rasa-rasanya saya harus mengimbangi tafakkur-tafakkur saya dengan istighfar. Sebab pikiran itu tak terbatas dan bebas. Dikhawatirkan, pikiran kita tanpa sadar terjerumus terhadap hal yang tidak-tidak seperti kemusyrikan dll. Naudzubillah.
Alangkah bijaknya jika saya kemudian mau banyak beristighfar sembari tidak berhenti bertafakkur. Maka saya akan mencoba berlatih membiasakan diri meminta ampunan.
Keputusan sudah saya buat: tetap bertafakkur dan berusaha memperbanyak beristighfar. Saya kira, Tuhan juga setuju dengan ide saya kali ini.
Astaghfirullahal'adzim.
Catatan tambahan: tulisannya agak morat-marit. Saya menulisnya dalam keadaan ngantuk di atas tempat duduk KA Jayabaya Jakarta-Malang. Maaf jika ada kesalahan di sana-sini.
Komentar
Posting Komentar