Langsung ke konten utama

Kelahiran Saya di Blog

    Saya senang menulis. Tapi kelahiran saya di dunia blogger baru tiga hari yang lalu. Alasan kenapa saya telat mempunyai blog saya kembalikan kepada anda, pembaca budiman. Anda bebas menerka alasan saya, bahkan boleh sekali jika anda menjadikan saya sebagai alasan kenapa anda tetap hidup -alay dikit. Namun alasan yang paling tepat menurut versi saya adalah karena saya buta pengetahuan tentang blog dan tetek bengeknya.
   
    Maka kelahiran saya di dunia blogger pun mustahil jika tanpa bantuan dukun bayi atau dokter ahli. Tuhan lebih memilihkan dokter bagi saya ketimbang persalinan tradisional via dukun. Dipilihlah dr. Adi Wibowo, dokter sungguhan, sebagai perantara proses persalinan saya. Tepat sekian menit sebelum adzan shubuh waktu Indonesia bagian Cempaka Putih, Jakarta, saya terlahir di dunia blogger dengan selamat. Berat badan 55 Kg dan panjang badan 160 Cm. Rencana aqiqoh dan selametan lainnya untuk sementara ini belum dijadwalkan, mengingat waktu kelahiran saya berdekatan dengan momentum Iedul Adha. Otomatis kambing sudah ludes terbantai -bahkan ada yang lebih mengenaskan nasibnya semisal menjadi sate atau gule. Mungkin masih ada kambing satu, dua di beberapa pasar. Namun saya lebih memilih tidak membelinya sekarang. Sebab saya yakin diantara kambing-kambing yang masih ada di pasar adalah kambing-kambing yang tidak dilirik oleh ahli qurban. Ibarat gadis, kambing-kambing itu adalah gadis yang tidak diminati oleh mata lelaki. Lebih bijak jika aqiqohan ini saya langsungkan kapan-kapan saja.
   
    Saya suka menulis apa saja. Puisi, iya. Cerpen, iya. Curhatan, iya. Menuliskan namamu di hatiku, iya sekali. Intinya saya tidak punya bidang khusus dalam dunia tulis menulis. Harapan saya juga agar saya dapat menjadi penulis yang merdeka tanpa intervensi dari berbagai pihak -terutama dari beberapa mantan yang acap kali ajak balikan. Karena saya percaya bahwa menulis tidak serumit jatuh cinta atau tidak seruwet politik yang kebanyakan intrik.

    Menulis-lah untuk keabadian, begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Saya pribadi menganggap menulis sebagai tamasya diri. Tanpa perlu kemana, dengan siapa, uang berapa, saya bisa memperoleh kelegaan batin dan rontoknya kegalauan di sana-sini dengan menulis.

    Orang-orang besar, pelaku sejarah, selalu gemar menulis. Mantan Presiden kita, Bapak Rudi Habibi -sekarang beliau lebih dikenal dengan nama Rudi Habibi ketimbang Baharuddin Jusuf Habibie, mengingat Rudi Habibi sudah menjadi judul film yang lumayan laris di bioskop- ketika galau berkepanjangan akibat ditinggal oleh wanita yang kata pak Habibie sudah manunggal dengan dirinya, memilih menulis sebagai terapi untuk move on-nya, atau bahasa elitnya self healing. Bimsalabim! Maka terbitlah buku Habibie-Ainun sebelum kemudian disusul versi filmnya juga. Terbukti, orang besar dan pelaku sejarah adalah penulis mumpuni atau sekurang-kurangnya gemar menulis. Meski begitu, saya tidak bercita-cita menjadi orang besar. Tapi saya akan lebih besar daripada orang besar -sesumbar untuk kebaikan akan membuat hidup anda tidak berjalan hambar.

    Ya, itulah. Kira-kira itu tujuan saya menulis secara umum dan lebih-lebih secara khusus di blog ini. Intinya saya cuma ingin merambah keluasan ilmu saja di dunia blogger. Meski begitu saya tetap suka dan merasa perlu untuk tetap menulis secara konvensional dengan pena dan kertas. Sebab menulis secara konvensional walau bagaimanapun tetap terasa lebih romantis. Sekian.

    O, iya. Saya hampir lupa. Dokter Adi yang membantu persalinan saya di blog juga punya akun blog, lho. Bisa dikunjungi di owobiwida.blogspot.com. Anggap saja promosi akun ini sebagai rasa terima kasih saya kepada dia yang merelakan waktu tidurnya malam itu lenyap gegara mentelengin laptop demi mengusahakan proses kelahiran saya di sini.

    Salam blogger! Jangan berhenti menulis.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...