Langsung ke konten utama

Hari Ibu

Aku mulai menulis coretan ini tepat pukul 23.18, 22 Desember 2016. Aku rasa, jam segini, selarut ini, ibuku sudah terlelap cantik dengan paras teduh seperti biasa di tempat tidurnya.

Aku hanya mampu merasakan, tidak memastikan. Sebab aku sedang terlibat LDR dengan wanita yang mengandungku. Aku di Ibu kota. Sedang ibuku nun jauh di sana.

Ibuku tidak mengerti teknologi. Ia tidak memiliki akun facebook, instagram atau bahkan twitter -apalagi blog. Jangankan itu semua, handphone saja ia tidak punya -sekaligus tidak mampu mengoperasikannya. Bahasa kasarnya, ibuku kolot alias ketinggalan jaman. Tapi ibuku tahu persis bagaimana menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Dan itu aku rasa jauh lebih penting daripada sekedar melek teknologi.

Tentu saja ibuku tidak tahu menahu soal 'Om telolet om' yang mendunia. Bahkan, bisa jadi, ibuku tidak pernah tahu jika hari ini adalah hari ibu. Maka, kalaupun tulisanku ini kupersembahkan sebagai kado untuknya, aku tidak akan kecewa meski ia tidak membacanya. Toh, dengan begitu, aku kira tulisanku akan menjadi lebih murni. Bukankah rindu yang paling ikhlas adalah kerinduan yang tak sempat tersalurkan? Bukankah seorang pecinta yang memendam dalam-dalam cintanya tanpa pernah sekalipun mengutarakannya akan diganjar gelar syahid saat ia meninggal kelak?

Aku mencintai ibuku sama seperti kebanyakan orang. Mungkin terdengar biasa saja dan tidak ada istimewa-istimewanya. Namun andaikan 'ku tuangkan perasaan cinta itu dalam tulisan, tak akan sanggup kalimat manapun memikulnya, huruf-huruf akan mengundurkan diri sebab ia tak mampu mewakilinya, dan kata-kata akan tersipu malu menutup rapat-rapat mukanya karena ia tak pernah kuasa mendeskripsikan dengan persis perasaan cinta seorang anak kepada ibunya atau sebaliknya, perasaan cintaku pada ibuku dan sebaliknya.

Biarlah tulisan ini menjadi secuil bongkahan super kecil dari keping puzzle raksasa luapan cinta seorang anak kepada ibunya. Meski sudah seharusnya ungkapan cinta kasih kepada ibu tidak hanya diucapkan saat hari ibu saja, namun sengaja aku menulisnya hari ini, sebagai partisipasi kecil seorang bocah yang merasa sangat beruntung memiliki sosok ibu yang luar biasa hebat. Dan tulisan ini tidak lebih dari sekedar panjatan syukur kepada Tuhan yang telah mentakdirkanku terlahir dari rahim ibuku.

Ibuku, begitu juga ibu kalian, tidak butuh ucapan 'Selamat Hari Ibu' dariku dan dari kalian, anak-anaknya. Seorang ibu tidak pernah menuntut macam-macam terhadap putra-putrinya. Ia akan menerima keadaan kalian apa adanya. Sebab cintanya menafikan segala dosa. Sebab kasih sayangnya memaafkan segala luka. Sebab perhatiannya memaklumi segala alpa.

Cita-cita seorang ibu terhadap buah hatinya sangatlah sederhana. Ia hanya ingin, ANAKNYA TETAP TERSENYUM DAN MEMBUATNYA TERSENYUM. Aku dan kalian tidak perlu menjadi apa-apa. Tidak perlu menjadi pejabat, mentri, presiden, manusia super atau apapun. Cukup -entah dengan menjadi apa saja- kalian hidup bahagia dan kebahagiaan kalian membuat ibu kalian bahagia pula. Itu saja.

Pandanglah wajah kebahagiaan seorang ibu saat menyaksikan jagoan kecilnya tersenyum lucu sembari memamerkan gigi-gigi kecilnya yang baru tumbuh dua. Sempatkanlah menatap mata ibunya dalam-dalam. Kau akan mendapati ketulusan cinta yang tak bisa ditukar dengan apapun!

Saat kecil dulu, hampir setiap kita pernah membuat ibu kita tersenyum bahagia. Maka jangan sampai kemampuan itu hilang begitu saja saat kita beranjak dewasa. Jika kita sudah lupa caranya, ingat-ingatlah lagi, tengoklah masa lalu. Bagaimana bisa dahulu, hampir setiap hari, kalian selalu mampu membuat ibu kalian bahagia dengan tingkah laku kalian yang sederhana. Ibu kita tidak pernah meminta uang atau harta kita. Ia bahkan tidak meminta cinta. Ia hanya ingin anaknya bahagia. Sebab pada hakikatnya, cinta kasih seorang ibu tidak pernah mengharapkan pamrih. Tak peduli meski anaknya membenci, seorang ibu tidak akan pernah berhenti mencintai. Tentu hanya anak tak tahu diri yang menafikan cinta seorang ibu dan membalasnya dengan caci maki.

Seorang bijak berkata, "Jika di atas langit ada surga, maka di kolong langit ada bunda."

Terima kasih, Tuhan. Atas takdir-Mu yang memilihkan wanita penuh cinta itu sebagai ibuku. Maka aku meminta kepada para nabi, malaikat dan seisi semesta raya untuk merapalkan doa-doa baik untuk ibuku. Sebab aku sadar sepenuhnya, bahwa jika hanya doaku saja, sampai kapanpun tak akan sanggup membalas cinta dan kasih sayangnya. Selamat Hari Ibu, Surgaku!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...