Kalau kalian ditanya tentang cita-cita, jawabannya selalu luar biasa. Presiden, mentri, komisaris perusahaan, pebisnis, konglomerat dan sebagainya.
Profesi yang dicita-citakan selalu tampak wah. Bintang lima, atau kalau meminjam istilah komentator bola, emas bertahtakan permata. Sebab mindset sukses dalam benak kita terlanjur -hampir bisa dipastikan- identik dengan materi, khususnya uang.
Tidak bisa dipungkiri. Sayapun tidak akan mengelak dan menolak jika di zaman sekarang, uang adalah kekuatan penting. Money power adalah faktor penting penunjang kesuksesan seseorang dalam hal apapun. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.
Namun bicara soal profesi, saya selalu salut -dan terharu- tiap kali menyaksikan orang-orang yang berprofesi anti mainstream (baca: profesi yang dianggap rendah) semacam pengemis, pengamen jalanan dan pemulung sampah.
Terharu karena saya menyadari bahwa mereka, pada hakikatnya, tidak ada satupun yang bercita-cita menjadi seperti profesinya saat ini. Mana ada pemulung sampah bercita-cita menjadi pemulung? Bukankah kita harus bercita-cita setinggi bintang agar kalau gagal, setidak-tidaknya, kita akan mendapatkan rembulan?
Salut karena saya juga menyadari bahwa tidak semua orang mampu apalagi mau berprofesi seperti mereka. Mampukah seorang Jenderal berbintang empat memunguti dan memilah sampah-sampah yang menggunung? Maukah seorang presiden berbau-bau di bawah terik matahari memunguti sampah lalu dijual ke penadah demi uang tak seberapa yang hanya cukup untuk makan pada hari itu saja? Siapa yang mampu? Siapa yang mau? Siapa yang mampu dan mau? Acungkan tangan!
Saat citra diri begitu penting seperti sekarang, saya rasa sulit sekali menemukan orang yang akan mengacungkan tangan.
Saya kemudian beranggapan bahwa pemulung sampah adalah profesi yang paling ikhlas dan hebat -tanpa melihat isi hati orangnya. Bayangkan saja, bekerja sekian jam seharian di tengah-tengah gundukan sampah yang menggunung dengan bau sampah yang sama sekali tidak wangi (bahkan mungkin langsung muntah jika yang mengendus baunya adalah hidung orang-orang kaya dengan parfum jutaan), ditambah lagi upah yang didapat tak seberapa. Ikhlas dan hebat.
Orang-orang seperti merekalah yang mudah sekali mendapatkan kasih sayang Tuhan, selama mereka tidak mengeluh dengan takdir yang ditetapkan-Nya. Saya yakin, surga akan dijejali oleh pemulung yang sehari-harinya memunguti sampah demi sesuap nasi bagi anak istri.
Kalau Nabi Muhammad SAW sangat menghargai peluh yang membasahi tubuh seorang tukang kayu yang bekerja keras demi menghidupi keluarganya, tentu saja beliau juga mencintai umatnya yang berprofesi lebih rendah dari itu.
Pada dasarnya, semua orang sama di mata Tuhan. Yang membedakannya hanyalah seberapa tinggi tingkat ketakwaannya. Bukan seberapa tinggi gaji yang diterimanya. Tuhan tidak pernah melihat profesi seseorang. Tuhan tidak memastikan surga bagi kalangan birokrat, aristokrat atau konglomerat. Proletariat juga berhak mendapatkan surga-Nya. Dan yakinlah, bahwa Tuhan Maha Adil dan sebaik-baiknya penghitung amal.
Jadi apapun, jangan ragu. Selama itu baik, pantang untuk malu.
Komentar
Posting Komentar