Langsung ke konten utama

Kopi dan Sari Roti

Syahdan, kelak di fase kehidupan selanjutnya (Afterlife), setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap segala perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Mulai dari yang sepele hingga yang prinsipil. Istimewanya, saat hari penghakiman kelak, mulut kita dikunci. Cecar pertanyaan yang diajukan dan dimintakan pertanggungjawaban akan dijawab oleh tangan, kepala, hingga kaki. Maka di hari itu, tak akan sempat ada pemutarbalikan fakta, tak ada kesempatan memanipulasi kenyataan. Segala yang terurai adalah kejujuran yang sejujur-jujurnya.

Di hari itu, Tuhan menunjukkan betapa Dia adalah Raja dari segala raja, Penguasa dari segala kuasa. Tiada yang mampu berkelit dan menyembunyikan sesuatu dari Sang Hakim yang Maha Adil lagi Maha Mengetahui. Tidak ada, meski hanya secuil debu.

Lantas berjuta-juta pertanyaan bertubi-tubi dimintakan pertanggungjawaban.

"Wahai Kaki, apakah tuanmu ini adalah orang yang tidak gemar bersilaturrahmi terhadap sesamanya?," tanya Sang Hakim.

Kaki-pun berujar membela tuannya, "Tidak Yang Mulia. Setahu hamba, tuan hamba selalu melangkahkan kakinya mengunjungi tempat-tempat kopi dengan penuh canda tawa dan kemesraan hangat bersama saudara-saudaranya."

"Wahai Tangan, apakah tuanmu ini adalah orang yang tidak pandai bersyukur?," tanya Sang Hakim, lagi.

Tangan-pun menjawab, "Tidak Yang Mulia. Setahu hamba, tuan saya selalu menyisihkan sedikit dari rezeki yang Engkau limpahkan kepadanya untuk mentraktir sahabat-sahabatnya di kedai kopi."

"Wahai Akal, apakah tuanmu ini adalah orang yang tidak pandai bertafakkur terhadap ciptaan-Ku yang bertebaran di seluruh Jagat Raya?," tanya Sang Hakim.

Akal-pun menyahut, "Tidak Yang Mulia. Setiap malam, ditemani secangkir kopi, tuan hamba selalu menggunakan hamba untuk merenung dan bertafakkur terhadap segala ciptaan-Mu. Bahkan tuan hamba kerap kali berkata, bahwa kopi adalah satu dari milyaran ayat-ayat keagungan-Mu yang memenuhi alam semesta. Bahkan tuan hamba memetik hikmah dari penciptaan kopi dan menganalogikannya dengan kehidupan; bahwa setiap orang harus menikmati dan mensyukuri bagiannya masing-masing, sebagaimana mereka mampu menikmati dan mensyukuri secangkir kopi, meski itu pahit."

Lalu Sang Hakim bertanya kepada Kopi, "Wahai Kopi, benarkah apa yang dikatakan oleh Kaki, Tangan dan Akal?"

Kopi yang hitam legam, mungil lagi pahit pekat menjawab dengan lantang dan tegas, "Betul Yang Mulia. Mereka semua berbicara jujur dan memang begitulah adanya."

Sang Hakim belum usai bertanya kepada Kopi. "Bagaimana pendapatmu tentang Sari Roti?"

"Ampuni hamba Yang Mulia. Setahu hamba, Sari Roti ikut memiliki andil saat jutaan orang berbondong-bondong membela agama-Mu. Ia memberi energi kepada peserta aksi hingga mulut-mulut mereka mampu meneriakkan 'Allahu Akbar' dengan lantang."

"Tapi mereka sudah membuat klarifikasi mengenai ketidakterlibatan langsung dan resmi terhadap aksi damai nan indah itu. Bagaimana pendapatmu?," tanya Sang Hakim, pada Kopi.

"Ampuni hamba Yang Mulia. Hamba hanyalah makhluk kecil yang Engkau ciptakan. Memang benar bahwa mereka telah membuat klarifikasi itu. Namun hamba tidak mengetahui niatan dan fakta yang sebenarnya terkait faktor-faktor yang membuatnya berlaku seperti itu. Hamba benar-benar tidak tahu-menahu soal itu. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui," kata Kopi, dengan terbata-bata.

"Baiklah. Kau tidak perlu ikut campur urusan ini. Sari Roti itu juga ciptaan-Ku. Sama sepertimu. Aku-lah yang berhak memutuskan segalanya. Sebab hanya Aku-lah yang mampu memenuhi hak seluruh makhluk-Ku dengan adil yang seadil-adilnya," pungkas Sang Hakim.

Kelak, ketika Sang Hakim meminta pertanggungjawaban terhadap jari-jariku yang menuliskan tulisan ini, jemariku sudah kuajarkan untuk menjawab, "Ampuni hamba Yang Mulia. Hamba hanya berprasangka baik terhadap-Mu. Hamba hanya menginginkan kebaikan dan kemesraan. Hamba hanya ingin menuliskan sesuatu yang hamba pikirkan. Dan lagipula, pikiran-pikiran itu-pun Engkau pulalah yang menggerakkannya. Hamba hanya ingin menyerahkan segala sesuatunya terhadap-Mu. Tidak peduli dunia berkata apa."

Mari meneguk kopi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumus Rindu

            Tanpa bermaksud mengerdilkan kekuatan super Dilan dalam menanggung beban berat sebuah rindu, sebagai mantan fisikawan abal-abal, saya akan mencoba merumuskan rindu dalam angka-angka untuk mengetahui seberapa berat sebuah rindu yang sedang kita pikul.             Seandainya rindu dapat diilmiah dan diejawantahkan dalam hitung-hitungan bilangan, saya akan katakan bahwa rumus dari rindu adalah jarak dikalikan waktu. Sebab rindu berbanding lurus dengan besaran rentang jarak dan waktu. Semakin jauh jarak seseorang dengan sosok yang dirindukan, semakin besar pula badai rindu yang melandanya. Dan semakin lama waktu terakhir kali berjumpa di antara keduanya, semakin berat pula rindu yang ditanggungnya. R = J x W . R adalah beban rindu yang ditanggung. Mengingat rindu dikaitkan dengan berat (begitu kata Dilan Sang Pakar Rindu), maka dapat dipastikan bahwa satuan ri...

Belajar Tahu Diri dari Gus Miek

"Yang penting kita harus tahu diri. Yaitu menanamkan robbana dholamna anfusana di dalam hati kita masing-masing." Gus Miek. Siapa yang tidak kenal Gus Miek? Mulai dari bromocorah, perempuan penjaja birahi, lady disco, pemabuk, pencuri, maling kelas teri, bandit kelas kakap, tukang becak, pejabat, santri hingga kiai hampir tahu dan mengenal Gus Miek. Gelar yang mereka sematkan kepada Gus Miek juga beragam. Waliyullah, kyai, gus, orang antik dan lain-lain. Gus Miek memang dikaruniai beberapa kelebihan oleh Tuhan. Bahkan ada yang percaya, begitu lahir dunia, Gus Miek sudah diangkat menjadi waliyullah. KekasihNya. Maka tanyakanlah pada setiap sarkub alias sarjana kuburan tentang cerita-cerita Gus Miek. Mereka akan bergairah bercerita beragam kisah seputar keistimewaan Gus Miek yang tidak habis dikisahkan semalam suntuk meski ditemani kepul kopi hitam panas dan gorengan hangat sepiring. Orang terlanjur melihat Gus Miek sebagai individu yang memiliki linuwih. Gus Miek adalah su...

Yai Din Ploso: Kyai Penggiat Jamaah

    Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Airlangga. Kerajaan itu bernama Kahuripan. Prabu Airlangga yang sudah memasuki usia senja berkeinginan untuk menjadi pertapa. Ia berniat meninggalkan kerajaan Kahuripan yang sudah dipimpinnya selama bertahun-tahun. Sebelum benar-benar menjadi pertapa, ia berkeinginan mewariskan tahta kerajaan Kahuripan kepada penerusnya. Sayang, dari permaisurinya, ia hanya dikaruniai seorang putri bernama Sanggramawijaya -sebelum mengganti nama dan lebih dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Sanggramawijaya tidak berkeinginan memimpin kerajaan Kahuripan. Ia juga memilih menjadi pertapa dan menolak untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan yang ditawarkan ayahandanya. Akhirnya Prabu Airlangga memberikan tahtanya kepada dua orang putra dari selirnya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Namun tidak mungkin jika kerajaan ini dipimpin oleh dua raja. Tidak ada dua matahari dalam satu langit. Prabu Airla...