Saya tidak sedang bercanda dengan judul tulisan ini. Saya benar-benar tidak ingin menjadi Presiden. Sumpah!
Saya, sebagaimana kebanyakan orang lainnya, semasa kecil sempat berkeinginan menjadi seorang Presiden. Setiap siapapun bertanya kepada saya tentang 'Kalau sudah besar nanti mau jadi apa?', saya selalu menjawab dengan tegas dan sedikit polos, 'Presiden'. Apalagi setelah saya amati, ternyata tanggal lahir saya, 6 Juni, bersamaan dengan tanggal lahir Presiden Soekarno. Pengamatan ini saya lakukan saat duduk di sekolah dasar. Lalu pikiran saya mengimajinasikan sebuah kesimpulan bahwa pastilah saya adalah reinkarnasi dari Presiden Soekarno. Imajinasi, mimpi dan cita-cita itu tumbuh sehat dengan asupan nutrisi tinggi, hingga setelah melalui berbagai hari, bulan dan tahun, semakin kesini, mimpi itu memudar sedikit demi sedikit sampai akhirnya saya memutuskan dengan tekad bulat bahwa saya akan membunuh mimpi masa kecil itu. Bahwa saya tidak akan, bahwa saya tidak ingin -bercita-cita lagi- menjadi seorang Presiden. Keputusan ini sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Jadi saya harap, kalian tidak meminta saya menjadi Presiden suatu hari nanti.
Mengubur cita-cita masa kecil bukan sebuah hal sepele bin sederhana. Ketika anda sempat memiliki mimpi, maka anda pernah menebar benih pengharapan. Lalu harapan itu sirna. Bayangkan! Tidak sederhana, bukan? Rasanya kurang lebih sama seperti, kalau dalam bahasa kekiniannya, menjadi korban PHP. Nah.
Namun setidaknya saya akan membeberkan beberapa alasan terkait keputusan ini, sehingga nantinya saya tidak perlu mengadakan konferensi pers lagi. Sebab perlu kalian ketahui, saya phobia tenar.
Baiklah. Untuk yang pertama dan paling utama, saya tidak kredibel, saya sangat-sangat tidak kredibel. Kualifikasi kepantasan seseorang untuk mampu menjadi Presiden pastilah dan sudah seharusnya sangat ketat. Selain juga harus tidak bodoh, entah itu secara akademis ataupun secara sosial, seorang Presiden harus mempunyai kebesaran jiwa. Keduanya, tidak bodoh dan berjiwa besar sama-sama tidak ada di dalam diri saya. Saya bodoh dan tidak berjiwa besar. Buktinya, bukannya meneruskan mimpi masa kecil, saya malah membunuhnya. Bukankah itu tindakan seorang pecundang?
Kedua, kesadaran penuh saya pribadi terhadap resiko dan tanggung jawab super berat yang diemban oleh seorang Presiden. Ada sebuah hadits -au kama qool- "Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) terhadap rakyat yang dipimpinnya." Presiden adalah pemegang otoritas tertinggi dalam kepemimpinan sebuah negara, khususnya Indonesia. Maka pilihannya cuma satu. Jika masuk neraka, Presiden akan masuk neraka paling dahulu dan ditempatkan di neraka yang paling jahannam. Jika masuk surga, ia akan masuk surga paling awal dan ditempatkan di surga yang paling firdaus.
Dewasa ini, Presiden semakin intens disorot. Mulai dari kinerjanya, keputusannya, jaket yang dikenakannya, bahkan baru-baru ini, payung yang digunakannya saat melenggang menuju Monas, tempat Presiden akan melaksanakan sholat Jum'at.
Kemajuan tekhnologi membuat rakyat dapat memantau langsung kinerja Presidennya. Sosial media benar-benar menjadi media sosial untuk meluluskan hal itu. Namun sayangnya, banyak pengguna sosial media yang kurang bijak dalam mengelola 'kehidupannya' di dunia maya. Seperti baru-baru ini. Saat aksi 4 November berlangsung, Presiden Jokowi tidak menemui langsung para demonstran yang sudah menanti mulai pagi hingga petang di depan Istana. Reaksi beragam muncul di sosial media. Cibiran nyinyir dialamatkan kepada Pak Jokowi. Ada yang bilang Pak Presiden tidak menghargai demonstran yang datang jauh-jauh dari berbagai daerah karena beliau tidak menemui langsung, ada yang bilang pengecutlah, ada yang bilang Presiden membela tersangka, dan lain-lain. Aksi berikutnya yang tak kalah fenomenal, 2 Desember, Presiden Jokowi datang dan menyapa langsung rakyatnya yang tergabung dalam aksi damai. Bahkan Presiden memberikan pidato singkat di hadapan massa yang diperkirakan berjumlah jutaan itu. Apa kata mereka? Ternyata cibiran itu masih saja ada dan saya rasa memang tidak akan pernah mereda. Ada yang bilang pidatonya aneh, pidatonya seperti bentuk pengusiran, dan lain-lain. Ayolah, kemana perginya pikiran-pikiran positif itu? Apa susahnya menghargai niat baik Presiden? Apa susahnya?
Kalian yang sempat punya mimpi jadi Presiden, masih maukah menjadi Presiden? Jika kalian tidak pernah mempunyai jiwa besar, saya sarankan kalian mengikuti langkah saya.
Tidak. Saya tidak sedang menggembosi cita-cita kalian. Tulisan ini hanya pandangan subyektif saja dan tentu saja saya tidak akan menyebarkan ideologi tentang 'ketidaknyamanan menjadi Presiden' ini. Kalian boleh menjadi vegetarian, tapi jangan jadikan itu sebagai ideologi. Kalau ideologi itu benar-benar terjadi, jalan-jalan akan dipenuhi oleh ayam, kebun binatang akan dijejali kambing dan sapi sebab tidak ada yang mengkonsumsi mereka, sebab semua orang telah menjadi vegetarian. Maka, orang yang memilik cita-cita menjadi Presiden harus tetap ada. Presiden harus ada. Apa jadinya Negara ini tanpa adanya seorang Presiden?
Saya hanya mewanti-wanti bahwa menjadi Presiden bukanlah tugas ringan. Mana ada tugas mulia yang ringan di dunia ini? Kalau ada berarti itu tak lebih dari sekedar omong kosong belaka. Bullshit.
Maka, tujuan utama saya menulis ini pada dasarnya adalah mengajak anda, siapapun anda yang membaca tulisan ini, untuk saling bergandengan tangan dan memback up Presiden kita dengan hal-hal yang positif. Utamanya yang bersifat moril. Cibiran-cibiran itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kritik sah-sah saja. Asal disampaikan dengan elok dan beretika. Saya sudah katakan, jadi Presiden itu tidak mudah, maka kalian tidak usah menambah-nambahi dengan tudingan-tudingan yang membuat resah. Itu justru memperparah, mempersusah dan menambah masalah. Sampai kapan kalian tidak percaya dengan Presiden yang kalian pilih sendiri? Sampai kapan?
Kalau kalian menganggap Presiden masih belum baik, mari kita perbaiki dengan cara yang baik. Tentu hal ini lebih baik daripada menuding-tuduh dengan hal-hal yang tidak baik. Bagaimanapun, Presiden juga manusia (sama seperti rocker) biasa. Ia bukan manusia super atau Nabi.
Saya rasa pemaparan saya lebih dari cukup sebagai argumen dari ketidakinginan saya untuk menjadi Presiden dan mengubur hidup-hidup mimpi masa kecil saya. Saya rasa tidak mungkin juga saya akan menjadi Presiden hanya dengan modal kesamaan tanggal lahir dengan Presiden pertama sekaligus Proklamator Bangsa ini. Saya harus merevisi klaim reinkarnasi itu sekarang.
Saya benar-benar tidak ingin menjadi Presiden.
Komentar
Posting Komentar